Hari al-Quds di Jumat Terakhir Ramadhan: Lebaran Mustadl’afin yang Melampaui Perselisihan Sunni-Syiah

Hari al-Quds di Jumat Terakhir Ramadhan: Lebaran Mustadl’afin yang Melampaui Perselisihan Sunni-Syiah

Palestina adalah satu alasan yang melampaui perselisihan Sunni dan Syiah.

Hari al-Quds di Jumat Terakhir Ramadhan: Lebaran Mustadl’afin yang Melampaui Perselisihan Sunni-Syiah
Anak Palestina (ilustrasi: www.cmakcerkno.net)

“Bumi bergetar; berguncang; langit meraung-raung

Ini bukan perang; ini adalah pengejawantahan cinta.” Abdul Lathif dari Bhit (1689-1752)

Sekira 20 tahun yang lalu, di sebuah asrama mahasiswa di jalan Bintaran Yogyakarta, saya merasa beruntung memiliki ragam kawan: dari kawan yang aktif di sebuah organisasi kampus beraliran Marxis, hingga kawan yang nyantri di sebuah pondok Syiah, di KM 5 Kaliurang.

Dari mulut kawan santri inilah pertama kali saya mendengar hari al-Quds.

“Sejak revolusi Islam diletupkan pada 1979 oleh Ayatullah Khomeini, sejak itu pula doktrin pertama Iran lahir untuk pembebasan Palestina. Dari sanalah digagas bahwa Jumat terakhir Ramadhan diresmikan sebagai hari al-Quds Internasional,” kira-kira begitulah penjelasan singkat kawan yang mendaku sebagai santri, atau lebih tepatnya santri kalong di sebuah pondok kecil di utara Yogyakarta.

Tak hanya bicara soal al-Quds, kurikulum pondok mereka juga berfokus pada filsafat paripatetik: gagasan yang meminjam cara berpikir Aristoteles serta menyelaraskannya dengan akidah Islam. Sederet nama seperti Ali Syariati, Murtadha Mutahari, Muhammad Baqir Sadr, Ayatullah Ali Khamenei hingga Ayatullah Komeini begitu sering diperbincangkan berikut pemikirannya.

Buku Falsafatuna karya Muhammad Baqir Sadr, misalnya. Dikarang oleh ulama Syiah yang berasal dari Irak, juga dipakai Al-Azhar Kairo yang bercorak Sunni sebagai penguat ilmu aqidah filsafat sarjana muslim. Buku itu meneguhkan keimanan yang logis dengan argumentasi rasional secara kausalitas. Melalui pendekatan epistimelogi, Falsafatuna banyak menemukan kelemahan filsafat Barat yang empiris, juga mengkritik habis pemikiran materialisme, termasuk komunisme.

Di Asrama, kami biasa mempertentangkan konsep sosialisme-komunisme versus republik Islam. Tapi, tak jarang pula kami mencari kesamaan kedua konsep ini. Jika mencari padanan tepat pertemuan dua arus pemikiran di atas, maka hanya ada satu frasa: membela mustadl’afin!

Toh, dalam sejarahnya hanya ada tiga revolusi diakui dunia dan berdampak besar bagi kehidupan manusia hari ini. Revolusi Prancis (1789-1799) oleh gerakan kiri yang membubarkan feodalisme. Revolusi Bolshevik (1917) kaum proletariat yang dipimpin Vladimir Lenin meruntuhkan kaum borjuis dan mendirikan sistem komunisme. Kemudian Revolusi Islam (1979) yang dipimpin Ayatullah Khomeini yang menjungkalkan monarki, menggantinya dengan Wilayatul Faqih (kepemimpinan ulama). Serta, dengan berani mengusir imperealisme Amerika Serikat (AS).

Khomeini, menerapkan kalkulasi yang nekat dalam hitung-hitungan geopolitik. Bertolak belakang dengan dogma diplomatis normal yang diadopsi banyak negara yang ingin menjaga hubungannya dengan AS. Cara berpikir yang tidak biasa sebagai sebuah bangsa yang baru saja berhasil merebut tampuk kekuasaan: mengganti sistem lama (monarki, korupsi, kapitalisme) yang tentu secara faktual butuh pengakuan praktis internasional.

Alih-alih menjalin hubungan baik dengan negara superpower AS, Iran (negara mayoritas Syiah), dengan lantang mengusung permusuhan terhadap pemerintah AS dan menyodorkan proposal pembebasan Palestina! Dampak Revolusi Islam Iran bukan hanya mengubah tatanan monarki menjadi Republik Islam, namun juga komitmen solidaritasnya pada Palestina, yang bukan sekadar retorika, sebagaimana pemimpin negara-negara Islam (mayoritas Sunni) lainnya yang begitu garang di podium membela Palestina tetapi di sisi lain tetap melakukan hubungan normalisasi dengan Israel.

Memang, tidak semua negara dengan penduduk mayoritas Syiah terang-terangan mendukung Palestina. Azerbaijan misalnya, salah satu negara Syiah yang memiliki sumber daya alam dengan cadangan gas alam, punya hubungan baik dengan Israel.

Meski demikian, fakta itu tak bisa menutup mata bahwa faksi muqawammah Hizbullah yang ada di Lebanon, Houthi di Yaman, Islamic Resistance in Iraq (IRI), dan Iran sendiri adalah representasi Syiah yang membela saudara-saudaranya yang mayoritas Sunni di Palestina. Deretan pejuang syahid serta para pemimpinnya: di Hizbullah ada Hassan Nasrallah, Ibrahim Qubaisi, Fuad Shakur, Ibrahim Aqil, Ahmed Wahbi, Muhammed Nasser, Taleb Abdallah dan juga banyaknya Houthi. Atau, syahidnya Jendral Iran, Kepala Pasukan Khusus Brigade al-Quds (divisi militer khusus pembebasan Palestina) Qasem Soleimani. Mustahil meragukan keteguhannya membela Palestina.

Saya sendiri seorang Sunni. Tapi, ketika ada kelompok dengan sepenuh hati menentang kolonialisme dan membela Palestina, sekalipun itu terdiri dari kelompok Syiah, sulit menemukan alasan menafikan kontribusinya.

Perjumpaan Sunni-Syiah bukan hanya ada pada solidaritas politiknya di Palestina. Dalam tradisi esoterisme ilmu tassawuf misalnya, kedua mazhab ini tak saja berjumpa, tapi juga seirama mencari paling puncak dari isi ajaran cinta agama Islam. Tentu kita tidak menyangkal terdapat perbedaan akidah antara Sunni-Syiah. Permasalahan itu dilatarbelakangi oleh politik kekhalifaan setelah wafatnya Rasulullah Saw. Namun, selagi masih mengakui Allah Swt adalah tuhan, Muhammad Saw, rasul, Al-Qur’an ialah kitab suci, dan salatnya mengahadap kiblat, maka tidak ada yang boleh mengkafirkan suatu golongan tersebut.

Kegelisahan ini sedikit-banyak telah dicurahkan oleh Haidar Bagir, yang berupaya dalam buku risalah sederhananya “Inilah Mazhabku, Mazhab di Atas Mazhab”, terbitan Mizan, tahun 2022. Buku itu menerangkan Risalah Aman yang ditandatangani 558 ulama (termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) dari 84 Negara (Juli 2005-Juli 2006), isinya mengusung semangat persatuan umat (khususnya Sunni-Syiah). Namun, lebih dari itu, buku itu memberi kabar bahwa keberagaman mazhab rupanya bisa dijembatani oleh ajaran hakikat cinta.

Akhirnya, hari al-Quds adalah kemenangan solidaritas yang mengalahkan ruang sempit permusuhan Sunni-Syiah. Dia bisa dipahami sebagai hubungan harmonis yang masih sepi dari perhatian ummat, yang menggunakan dalil sesat, kafir, dan “Syiah bukan Islam!”. Dan, memaknai hari al-Quds paling mutakhir ialah ketika ia berhasil menggiring solidaritas Palestina yang bukan sekadar dogma sektarian dan milik kelompok tertentu. Karena bukankah realitas al-Quds dan Palestina hari ini telah dimiliki oleh masyarakat dunia? Masyarakat yang bermazhabkan kemanusiaan, cinta, dan toleransi. Masyarakat yang mau membela kaum tertindas mustadl’afin.

(AN)