Ulama Salafi_Wahabi memang terkenal dengan fatwa hukumnya yang lucu-lucu menggemaskan. Salah satu fatwa terlucu dalam abad ini adalah soal hukum sepak bola yang dinilai haram. Bahkan tingkat keharamannya melebihi keharaman minuman keras dan judi. Loh, kok bisa?
Dalam kitab Haqiqah Kurrah al-Qadam karya Dziyab ibn Sa’ad Aalu Hamdan al-Ghamidi dijelaskan secara lengkap bagaimana hukum sepak bola. Ulama Salafi-Wahabi yang juga mengharamkan musik ini berkesimpulan bahwa hukum sepak bola haram. Setidaknya ada 41 alasan mengapa sepak bola dalam kitab tersebut dihukumi haram. Namun, dalam tulisan ini, saya hanya mengulas empat alasan yang saya anggap paling lucu dan menggemaskan.
Pertama, sepak bola dapat memalingkan orang pada cinta selain Allah. Orang yang sudah gila pada sepak bola, ia akan melupakan Allah. Secara otomatis, jika dunia (sepak bola) lebih didahulukan daripada Tuhan, maka orang tersebut sudah nyata berada dalam kesesatan (hal. 229-230).
Argumentasi pertama, dilihat dari permukaan nampaknya benar dan masuk akal. Sebagai Muslim, sudah selayaknya Allah yang didahulukan. Namun demikian, argumentasi ini terlalu dipaksakan dan berlebihan. Sepak bola adalah bagian dari olahraga dan menontonnya termasuk hiburan. Dalam agama, olahraga malah sangat dianjurkan. Bukankah akal yang sehat terdapat pada jiwa (tubuh) yang kuat?
Anggap saja olahraga (sepak bola) masuk dalam kategori tersier (tahsiniyah). Tapi, dalam kajian hukum Islam, antara yang primer, sekunder, dan tersier tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Hubungan ketiganya harus sirkuler, bukan paralel dan linier. Jadi antara kewajiban melaksanakan shalat dan berolahraga harus sama-sama dianggap penting.
Kedua, dalam sepak bola ada tasyabbuh terhadap orang kafir. Dimensi keserupaan dalam sepak bola bukan hanya pada permainannya, tapi juga dalam seragam dan aturan-aturan yang ada di dalamnya (hal. 232).
Argumentasi tasyabbuh sepertinya menjadi favorit bagi kelompok ini untuk sedikit-sedikit mengharamkan sesuatu. Bukan hanya dalam persoalan sepak bola. Banyak praktik keseharian umat Islam yang diharamkan berdasarkan hadis ini.
Untuk argumentasi kedua, saya tidak akan mengulas lebih jauh. Sebab, persoalan kelemahan beragumentasi menggunakan hadis tasyabbuh sudah banyak yang membahas.
Ketiga, sepak bola menghidupkan dakwah Jahiliyah dan melahirkan fanatisme sektoral (hal. 248). Memang tak dapat dipungkiri bahwa sepak bola dapat melahirkan sifat fanatik terhadap tim atau klub yang didukung. Fanatisme, sebagaimana yang diyakini penulis kitab ini, sangat diharamakan dalam agama. Dan, fanatisme dalam sepak bola dianggap sama dengan fanatisme yang dilarang dalam agama.
Salah satu ciri fatwa ulama Salafi-Wahabi adalah terlalu memukul rata setiap persoalan. Apakah semua fanatisme dilarang dalam Islam? Sepak bola adalah olahraga yang menjadikan suporter sebagai basis penting. Suporter fanatik tak dapat disamakan dengan fanatisme yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Jahiliyah. Fanatik dalam sepak bola hanya sekedar kesetiaan dalam mendukung, tak ada hubungannya dengan akidah apalagi soal ta’assub yang diharamkan. Initinya, argumentasi ini juga terlalu dipaksakan.
Keempat, aturan dalam sepak bola mengenyampingkan hukum Allah (hal. 276). Seperti yang sudah maklum, aturan permainan yang digunakan dalam sepak bola adalah aturan FIFA yang tidak punya landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal, sebagaimana dalam ayat yang menjadi favorit kelompok ini, barang siapa menghukumi sesuatu bukan dengan hukum Allah, maka ia termasuk golongan orang-orang kafir.
Salah satu contoh aturan sepak bola yang mengenyampingkan hukum Allah adalah tidak diberlakukannya hukuman sepadan (qisas) jika terjadi pelanggaran. Sering terjadi dalam permainan seorang pemain yang kakinya patah akibat ditackling, disikut sampai berdarah, dan dipukul hingga giginya copot (hal. 278).
Hukuman yang diberikan, berdasarkan aturan permainan hanya dianggap pelanggaran, diberi kartu kuning, dan diberi kartu merah lalu dikeluarkan dari lapangan pertandingan.
Seharusnya, berdasarkan hukuman sepadan, pemain yang mematahkan kaki lawan, hukumannya juga harus sama. Sebab, kaki dibalas kaki dan mata dibalas mata. Argumentasi ini, selain terlalu dipaksakan, juga sangat lucu dan menggemaskan. Saya tak dapat membayangkan jika hukuman sepadan diberlakukan dalam sepak bola.
Rekomendasi
Saya berandai-andai jika hasil pemikiran ini diterima dan dipraktikkan, maka umat Islam seluruh dunia mesti bersatu, membikin federasi baru di luar FIFA. Jika harus tetap menggunakan nama FIFA, maka kepanjangannya bukan lagi Federation Internationale de Football Association, melainkan Federation Islamic de Football Association.
Aturan permainannya pun mesti dirombak. Hukuman sepadan sebagaimana digariskan Al-Qur’an harus diterapkan. Tak boleh ada kartu kuning dan kartu merah, sebab keduanya termasuk perkara bid’ah. Untuk itu, jika nanti ada keinginan untuk membuat federasi yang Islami, saya akan merekomendasikan beberapa hal yang dapat dimasukkan dalam aturan:
- Main sepak bola harus pakai gamis, biar tidak dianggap mengumbar aurat.
- Hukuman sepadan diterapkan dalam setiap terjadi pelanggaran.
- Gamis yang digunakan jangan bermerek Nike atau Adidas, sebab nanti akan dianggap tasyabbuh.
- Harus dibuat aturan tidak boleh mencetak gol ke gawang lawan. Sebab, mencetak gol merupakan perbuatan dzalim pada penjaga gawang. Dan kita tahu bahwa dzalim sangat dilarang dalam Islam.
Namanya juga berandai-andai, terasa lucu dan menggemaskan, yo wes ben!
*Pencinta sepak bola. Kebetulan jadi Dosen di STAIN Kediri.