Pekan ini di Beijing, 14 faksi Palestina, termasuk Fatah dan Hamas, duduk bersama dalam sebuah pertemuan bersejarah.
Di tengah ketegangan dan agresi Israel di Jalur Gaza, mereka mencapai kesepakatan untuk “mengakhiri perpecahan dan memperkuat persatuan Palestina.”
China, sebagai tuan rumah, memediasi pertemuan ini. Menteri Luar Negeri Wang Yi menyatakan bahwa perjanjian ini didedikasikan untuk rekonsiliasi dan persatuan besar dari semua faksi.
“Hasil intinya adalah bahwa PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) adalah satu-satunya perwakilan sah dari semua rakyat Palestina,” kata Wang Yi, seperti yang dilansir oleh CNN.
Musa Abu Marzuk, pejabat senior Hamas, mengumumkan bahwa partainya telah menandatangani perjanjian rekonsiliasi. Termasuk dengan Fatah dan beberapa faksi lainnya.
“Hari ini kami menandatangani perjanjian untuk persatuan nasional dan mengatakan bahwa jalan untuk menyelesaikan perjalanan ini adalah persatuan nasional,” ujarnya kepada kantor berita AFP.
Mengapa rekonsiliasi ini begitu penting?
Apa yang membuat Fatah dan Hamas tak pernah akur sebelumnya?
Fatah dan Hamas adalah dua dari belasan faksi yang ada di Palestina. Fatah mendominasi Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat, sementara Hamas menguasai Jalur Gaza.
Konflik antara keduanya memanas setelah Intifada Kedua, ketika Fatah menolak mengakui kemenangan Hamas dalam pemilihan umum 2006 di Palestinian National Authority (PNA). Sejak itu, Hamas menjadi penguasa de facto di Gaza, setelah mengalahkan Fatah yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas.
Pertempuran Gaza pada 2007 memperparah perpecahan ini, ketika Hamas mengusir Fatah dari Gaza karena menolak mengakui hasil pemilu. Meski keduanya sama-sama menginginkan kedaulatan negara Palestina, mereka berbeda pandangan soal cara mencapainya. Hamas memilih perlawanan bersenjata, sementara Fatah lebih condong pada negosiasi dengan Israel.
Perpecahan ini telah mengakar kuat. Gaza dan Tepi Barat kini berkembang menjadi entitas yang sangat berbeda. Di satu pihak Fatah mendapatkan dukungan internasional. Hamas, di pihak lain, dianggap sebagai organisasi teroris oleh Barat, sehingga semakin terisolasi.
Upaya rekonsiliasi sebelumnya selalu gagal. Pada 2014, mereka mencoba membentuk Pemerintahan Kesepakatan Nasional, tetapi gagal. Tiga tahun kemudian, kesepakatan rekonsiliasi lain juga terhalang oleh perselisihan soal perlucutan senjata.
Tahun ini, saat agresi Israel meningkat sejak Oktober 2023, perbedaan sikap Hamas dan Fatah kembali terlihat.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas sempat menyalahkan Hamas atas genosida di Gaza. Katanya, Hamas turut bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi di Gaza.
Sebaliknya, Hamas mengecam pernyataan ini, dengan Sami Abu Zuhri menyebut Otoritas Palestina “berada di parit yang sama dengan pendudukan (Israel).”
Yah, meskipun begitu, ada harapan baru dengan perjanjian di Beijing ini. Apakah kali ini mereka bisa benar-benar bersatu dan mengakhiri perpecahan yang telah berlangsung lama? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, tetapi satu hal yang pasti, rakyat Palestina berharap kali ini bisa mendapat pengakuan dunia atas kemerdekaannya.