Era digitalisasi media semakin mengaburkan hak-hak anak, terutama dalam keluarga. Hal itu riskan berdampak pada relasi anak dengan lingkungan di sekitarnya. Keluarga merupakan lapis pertama yang akan membentuk karakter anak. Namun, mereka seringkali lalai dalam mengawal tumbuh kembang anaknya karena teralihkan oleh dunia digital.
Meski demikian, kewajiban untuk melindungi hak anak tidak semata dibebankan kepada orang tua, namun juga oleh guru, tokoh agama, dan pihak-pihak lainnya. Di Indonesia, Islam menjadi fondasi nilai yang penting dalam hal ini sebagai agama yang paling banyak dianut. Islam menempatkan kedudukan penting anak-anak di tengah keluarga dan masyarakat.
Dua postulat tersebut menjadi kerangka buku Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam dalam menjabarkan isu-isu yang berkaitan dengan hak anak di Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari buku aslinya yang diterbitkan di Universitas Al-Azhar berjudul Al-Manẓūr Al-Islāmī li Ḥimāyah Al-Aṭfāl min Al-‘Unf wa Al-Mumārasāt Al-Ḍārah.
Sebagian besar isu yang dihadirkan dalam buku ini merupakan tema-tema relevan untuk dikaji lebih jauh dari perspektif Islam. Tentu dengan tetap mengikuti perkembangan zaman.
Buku ini tidak hanya sekedar membahas isu mutakhir dengan konteks kekinian, namun juga disesuaikan dengan karakter masyarakat religius di Indonesia. Pendekatan kontekstual ini menjadi nilai tambah karena isu-isu yang dibincang terasa lebih dekat sehingga lebih mengena di benak pembacanya.
Salah satu data yang turut menegaskan urgensi hadirnya buku ini adalah laporan institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2021 dan 2022, yang menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak berkisar di angka 25 hingga 27 ribu kasus.
Melalui konteks keindonesiaan, buku ini mengidentifikasi tiga bentuk umum kekerasan seksual yang terjadi pada anak; yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran. Tiga bentuk tersebut menjadi payung untuk kasus-kasus spesifik pelanggaran hak-hak anak.
Buku ini menggarisbawahi bahwa tantangan perlindungan anak di Indonesia terdapat pada dua level; level pemerintah dan level masyarakat. Buku ini mengasumsikan bahwa kedua lini itu mengalami defisit informasi dan landasan normatif teologis yang memadai terkait dengan perlindungan hak anak.
Salah satu persoalan yang dibicarakan adalah perkawinan anak usia dini. Kasus ini bisa berdampak pada dua aspek sekaligus, yaitu fisik dan psikis. Tak heran, buku meletakkan isu itu pada bagian pertama dengan judul Perkawinan Anak dan Perkawinan Paksa.
Sesuai dengan judul bukunya, semua isu hak anak dibincang dalam kerangka dalil-dalil keislaman bersanding dengan wacana hak asasi manusia. Tak terkecuali tentang perkawinan anak usia dini. Buku ini mengutip QS. Al-Nisa’: 6 untuk menunjukkan bahwa Islam sebenarnya memberikan perhatian pada usia anak untuk bisa dikatakan siap menapaki jenjang pernikahan.
Hadis Nabi juga digunakan sebagai dalil nash penting dalam kerangka bahasan perlindungan hak anak. Selain itu, diskusi fikih juga dihadirkan dalam buku ini. Untuk mengkaji soal perkawinan anak usia dini saja, buku ini mengurai berbagai pendapat ulama fikih.
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, misalnya, diperbandingkan berbagai riwayatnya untuk mengkaji usia akil balig anak laki-laki untuk siap menikah. Kutipan-kutipan ini tidak hanya menjadikan buku tersebut komprehensif secara bahasan, namun kaya secara literatur.
Meski demikian, buku ini juga sebetulnya menggambarkan dilema soal bagaimana membangun relasi yang seimbang antara kerangka hukum Islam, norma hak asasi manusia, dan hak-hak anak. Buku ini seperti berupaya menyeimbangkan narasi agar tidak terlalu terlihat “islamis”, atau sebaliknya terlalu terlihat “sekuler”. Pada akhirnya, buku ini berhasil mengakomodasi semua narasi tersebut secara proporsional, alih-alih mendikotominya.
Pendekatan akomodatif terhadap banyak wacana itu misalnya juga terlihat pada topik sunat perempuan (female genital mutilation). Dalam konteks HAM, FGM menjadi salah satu praktik yang membatasi kebebasan perempuan terhadap tubuhnya. Secara medis, praktik ini juga dinilai berbahaya bagi perempuan. Dalam kajian Islam, buku ini mengulas secara historis bahwa FGM lebih terkait budaya di masyarakat, dibandingkan ketentuan aspek syariahnya.
Wacana HAM itu kemudian dikombinasikan dengan pendapat Ibn Ḥazm Al-Ẓāhiri, misalnya, yang mewakili ulama Islam tentang masalah khitan perempuan. Dalam kitabnya, Al-Muḥallā, sebagaimana yang dikutip buku ini, Ibn Ḥazm Al-Ẓāhiri bahkan mewajibkan qiṣāṣ terhadap tindakan khitan perempuan yang dilakukan dengan sengaja.
Meski demikian, narasi dan literatur yang megah itu tampak tidak diimbangi dengan uraian yang cukup soal peranan tokoh agama dan institusi keagamaan dalam hal perlindungan hak anak. Padahal, dilansir dari BBC, catatan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2015 -2020 menunjukkan bahwa 19% kasus kekerasan seksual dan diskriminasi terjadi di pondok pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam, urutan kedua setelah universitas.
Pelibatan institusi pendidikan agama sebagai variabel penting dalam kajian harusnya dilakukan jika menggunakan sudut pandang keindonesiaan. Buku ini mestinya sadar bahwa institusi pendidikan agama Islam, seperti pesantren, adalah target audiens utama, mengingat pondok pesantren juga menyumbang angka pelanggaran hak anak yang cukup signifikan.
Namun, terlepas dari hal itu, mengingat situasi genting sekarang ini di mana pelanggaran terhadap hak anak semakin memprihatinkan dan cenderung meningkat, buku ini layak mendapat apresiasi yang luar biasa.
Selain memberikan kesadaran soal hak dan perlindungan anak dalam Islam, buku ini juga memberikan wawasan keilmuan Islam yang progresif untuk semua kalangan, termasuk kepada orang tua dan tokoh agama dalam hal pemenuhan dan perlindungan hak anak di Indonesia.