Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا / رواه الشيخان
Maknanya:
“Hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun”(H.R. al Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa hak Allah yang paling agung atas para hamba-Nya adalah agar mereka men-tauhid-kan-Nya; menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya (syirik) dengan sesuatu-pun.
Tauhid التوحيد adalah mashdar dari وحد يوحد (wahhada-yuwahhidu): mengesakan.
Jika dikatakan وحدت الله maksudnya adalah اعتقدته منفردا بذاته وصفاته لا نظيـر له ولا شبيه; Anda meyakini bahwa Allah esa pada Dzat dan sifat-sifat-Nya, tidak ada bandingan dan serupa bagi-Nya atau علمتـه واحدا ; Anda mengetahui-Nya esa. Tauhid juga diartikan sebagai الإيمـان بالله وحـده لا شريك له ; beriman kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan.
Jadi, beriman kepada Allah dengan cara yang benar itulah yang dinamakan tauhid. Karenanya pengajaran tentang beriman kepada Allah dengan cara yang benar menjadi prioritas Ta’lim Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn ‘Umar dan sahabat Jundub,
كُنَّا وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعَلّمْنَا الإيْمَانَ وَلَمْ نَتَعَلّمِ القرْءَانَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا القُرْءَانَ فَازْدَدْنَا بِهِ إيْمَانًا / رَوَاهُ ابن ماجه وصححه الحافظ البُوْصِيْرِيّ
Maknanya:
“Kami –selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami”. (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafizh al-Bushiri).
Abu Hanifah menamakan ilmu ini (tauhid) dengan nama al-Fiqh al-Akbar (Fiqh Nan Agung). Ini artinya mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain.
Definisi Tauhid
Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan:
وأما أهل السنة ففسروا التوحيد بنفي التشبيه والتعطيل
“Sedangkan Ahlussunnah menafsirkan bahwa tauhid adalah menafikan tasybih (keyakinan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan ta’thil (keyakinan yang menafikan adanya Allah atau salah satu sifat-Nya)”.
Jadi, tauhid dalam penafsiran Ahlussunnah adalah meyakini bahwa Allah ada dan memiliki sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya, Allah esa pada Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Sementara Imam al Junaid al Baghdadi berkata,
التوحيد إفراد القديم من المحدث / رواه الخطيب البغدادي وغيـره
“Tauhid adalah mensucikan (Allah) yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya” (diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi)
Dan inilah makna nama Allah al Ahad dan al Wahid. Al Imam al Halimi mengatakan:
الأحد هو الذي لا شبيه له ولا نظيـر ، كما أن الواحد هو الذي لا شريك له ولا عديد
“Al Ahad ialah yang tiada serupa dan bandingan bagi-Nya, sebagaimana al Wahid maknanya adalah yang tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang menduai –Nya (dalam sifat ketuhanan)”
Imam Abu Hanifah berkata,
والله واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق أنه لاشريك له
“Allah satu bukan dari segi bilangan tetapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya”.
Al Ahad juga ditafsirkan yaitu yang tidak menerima pembagian, yakni bukan jisim karena secara akal jisim (benda) bisa dibagi-bagi, sedangkan Allah bukanlah jisim. Allah berfirman ketika mencela orang-orang kafir:
وجعلوا له من عباده جزءا / سورة الزخرف : 15
Maknanya,
“Dan mereka (orang-orang kafir) menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian dari pada-Nya”
(Q.S. az-Zukhruf : 15)
Al Imam Abu Hasan al Asy’ari berkata dalam kitab an-Nawadir :
من اعتقد أن الله جسم فهو غير عارف بربه وإنه كافر به
“Barang siapa yang meyakini bahwa Allah adalah jisim, maka dia tidak tahu tentang tuhannya dan sesungguhnya dia kufur terhadap-Nya”.
Ini semua adalah bantahan terhadap orang-orang yang membagi tauhid menjadi tiga macam; Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid al Asma’ wa ash-Shifat. Pembagian tauhid yang digagas oleh Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh para pengikutnya ini menyalahi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Maksud dan tujuan dari pembagian ini adalah untuk mengkafirkan orang-orang mukmin yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengkafirkan orang-orang mukmin yang mentakwil ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat Allah dan mengembalikan penafsirannya kepada ayat-ayat muhkamat. Ini berarti pengkafiran terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merupakan kelompok mayoritas di kalangan umat Muhammad.
Kita katakan kepada mereka:
“Siapakah di antara ulama’ salaf yang membagi tauhid menjadi tiga ini?”
Jawabannya:
Tidak ada. Apakah ummat Islam seluruhnya tidak memahami لا إله إلا الله sebelum munculnya Ibnu Taimiyah !!! Lalu apa komentar Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya terhadap para sahabat, tabi’in dan para ulama salaf yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat sifat !!!
Terakhir, sebagian ulama Ahlussunnah mengatakan:
من أعطي الايمان ولم يعط الدّنيا فكأنّما ما منع شيئا ، ومن أعطي الدّنيا ولم يعط الايمان فكأنّما لم يعط شيئا
“Barang siapa dianugrahi (oleh Allah) keimanan, dan ia tidak diberi dunia (harta benda) maka seolah-olah ia tidak tercegah untuk mendapatkan apapun (karena ia akan masuk surga dengan keimanannya tersebut). Dan barang siapa diberi dunia dan tidak diberi keimanan maka seolah-olah ia tidak diberi apapun (karena bila mati nanti ia akan meninggalkan harta bendanya tersebut dan akan masuk neraka serta kekal di dalamnya selamanya).”