Beberapa hari ini timbul kontroversi terkait acara Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU) ke-94 di Masjid Gedhe Kauman Keraton Yogyakarta. Pimpinan Daerah (PD) Pemuda Muhammadiyah menolak acara itu. Pangkal soalnya, Kauman adalah basis Muhammadiyah. Juga terkait Gus Muwafiq, pemberi mauidhah hasanah. Padahal, panitia Harlah sudah mengantongi izin dan mengurus semua proses administrasinya. Berdasarkan informasi terakhir, para kyai dan ulama NU Yogyakarta memilih untuk memindahkan acara Harlah NU ini.
Peristiwa ini mengagetkan karena selama ini komunikasi antara NU dan Muhammadiyah sudah begitu lancar. Di tingkat akar rumput, sependek pengetahuan saya, sejak tahun 2000-an hampir tidak ada lagi perdebatan keras terkait amaliyah fiqih antara NU dan Muhammadiyah. Sudah dianggap sebagai pilihan masing-masing organisasi. Ini tentu tidak menafikan masih adanya guyonan atau ada yang mengarah kepada ledekan tentang amaliyah kedua organisasi ini.
Tetapi, poin saya adalah perbedaan antara NU-Muhammadiyah ini tidak pernah lagi menjadi problem sosial yang serius. Sampai kemudian penolakan Harlah NU oleh PD Pemuda Muhammadiyah di Masjid Gedhe Kauman Keraton Yogyakarta ini.
Ini tentu jauh dari bayangan mereka yang termasuk ikut mendirikan Muhammadiyah ini. Salah satunya adalah Haji Bilal. Haji Bilal adalah saudagar batik terbesar dari Yogyakarta pada masa kolonial. Dia mendapatkan julukan sebagai Raja Batik dari Yogyakarta. Batiknya tak hanya tersebar di Hindia Belanda, tetapi juga di luar negeri. Haji Bilal juga, melalui firmanya, menjadi distributor utama pewarna batik dari Jerman, Bayer. Itu berkat kongsi dagangnya dengan The Big Five, BUMN milik Pemerintah Belanda.
Haji Bilal mendirikan Firma Haji Bilal, perusahaan batik bumiputera pertama di Yogyakarta, pada 1912. Itu adalah tahun saat KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah; pada tahun itu juga Haji Bilal dikaruniai putri pertama, Siti Amronah.
Haji Bilal tercatat sebagai salah satu mukhlishin Muhammadiyah. Haji Bilal mengenal dekat KH Ahmad Dahlan berkat mertuanya, Haji Ibrahim. Haji Ibrahim merupakan saudagar batik Kauman Yogyakarta. Haji Bilal bersama Haji Ibrahim bahu-membahu membantu Muhammadiyah dari segi kegiatan dan dana. Karena mereka tertarik kepada kepribadian dan jalan dakwah KH Ahmad Dahlan.
Bisa dibilang, bagi Haji Bilal mendukung dan membesarkan Muhammadiyah adalah jalan yang dia ambil sebagai saudagar muslim untuk turut menyiarkan Islam.
Meski demikian, dalam hal memberikan bantuan Haji Bilal tak pernah memandang latar belakang. Apalagi untuk kepentingan agama dan negara.
Ketika Yogyakarta menjadi ibukota Indonesia, Haji Bilal membukakan kompleks perumahan mewah miliknya di bilangan Malioboro untuk ditempati para tokoh Islam dan bangsa. Taman Joewana namanya. Secara cuma-cuma.
Selain itu, Haji Bilal juga memberikan bantuan kantornya untuk tokoh muslim, dua di antaranya adalah tokoh utama NU pada masa revolusi Indonesia: KH. Wahid Hasyim dan KH. Saifudin Zuhri.
Kantornya yang berada di Jalan Ngabean nomor 25 (sekarang Jl. KH. Ahmad Dahlan) itu memang strategis. Sepelembaran batu dari Gedung Agung dan dekat dengan keraton. Selain memberikan kantornya untuk sekadar istirahat dan untuk dijadikan tempat rapat, Haji Bilal juga menyiapkan petugas khusus untuk mengurus semua kebutuhan mereka yang menggunakan kantor tersebut untuk kepentingan negara.
Pada masa revolusi, kita tahu tugas KH. Wahid Hasyim dan KH. Saifuddin Zuhri yang cukup berat. Saat itu, KH. Wahid Hasyim adalah menjadi penasihat bagi Jenderal Soedirman; sementara KH. Saifuddin Zuhri memastikan kekompakan setiap komponen warga NU untuk tetap mendukung kemerdekaan Indonesia. Di kantor Haji Bilal itulah mereka rehat untuk menenangkan pikiran dan mereka diperlakukan dengan baik.
Di balik kantor Haji Bilal itu adalah Kauman. Haji Bilal dan Haji Ibrahim mengembangkan batik, termasuk batik Kauman. Dan mereka mendukung penuh KH Ahmad Dahlan, Penghulu Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta.
Haji Bilal wafat pada 1948. Tetapi, inspirasi dan jejak hidupnya patut menjadi teladan bagi kita, terutama dalam melihat hubungan Muhammadiyah dan NU di Yogyakarta, lebih spesifik lagi di Kauman, sekarang ini.