Hew Wai Weng dalam media Thenewmandala.org pernah mengulas perihal popularitas Felix Siauw dalam sebuah artikel yang cukup panjang. Tulisan Weng menarik, sebab dibanding membahas sisi keustazan Felix Siauw, Weng lebih membahas bagaimana strategi politik dan strategi popularitas Felix hingga akhirnya menjadi top of mind sebagian besar muslim di Indonesia. Felix, menurut Weng, memenuhi syarat untuk menjadi populer dalam standar produk komoditi. Identitasnya yang seorang mualaf, ia manfaatkan dengan baik. Citra gaul dan skill public speaker handal adalah modalnya.
Felix menulis buku populer remaja yang mana hal ini tentu sudah dipersiapkan demikian rupa untuk mendukung kepopulerannya. Felix adalah pebisnis, yang awalnya bergerak di bidang fashion, lalu penerbitan, menyusul media digital secara umum. Pendek kata, Felix mungkin bukan seorang ustadz, tapi banyak penggemarnya memanggilnya sebagai ustadz sebab ia populer.
Seorang teman baik saya pernah bercerita bagaimana Ustaz Abu Bakar Baasyir memberikan ceramah di sebuah lembaga Pemerintahan di Jakarta bertahun-tahun lalu.
“Amat memukau,” lanjutnya,”Bukan soal konten. Akan tetapi, dia memang punya aura. Kalau kau dengar langsung pidatonya yang berapi-api, kau otomatis akan diam dan mendengarkan tiap detail kata-katanya.”
Minggu lalu, saya berjumpa dengan seorang guru di sebuah sekolah yang mengaku sudah sering membayar cukup mahal untuk sebuah pengajian ustaz salafi di hotel. Dari informasi anaknya, ia kemudian mengenal Hanan Attaki. Guru ini bercerita bahwa ia pergi ke Bandung bersama anaknya naik mobil dari rumahnya di Jawa Tengah hanya untuk semacam festival yang menghadirkan Hanan Attaki.
Ketika saya tanya, mengapa mau datang jauh-jauh, ia menjawab dengan alasan yang di luar dugaan, “Setelah pulang berhaji, saya lebih tenang kalau anak saya pergi mengaji daripada ia bergaul dengan yang bukan pengajian.”
Saya mencoba memperluas obrolan dengan menjelaskan perbedaan “warna pengajian”. Tidak, saya sama sekali tidak melakukan kepentingan apa pun, saya murni memancing untuk menggali informasi saja. Dari air mukanya, ia tak tertarik, lalu menjawab, “yang penting damai lah Mbak.”
Ada banyak muslim awam yang berkeputusan untuk menjadi lebih relijius sepulang haji atau sesederhana sebab merasa sudah semakin tua setelah pensiun. Diakui atau tidak, mereka-mereka ini tentu saja tidak akan memilih pesantren untuk belajar kitab Amsilati Tasrifiyah dari awal. Ustadz yang ada di hotel, youtube dan Instagram memberikan solusi praktis untuk pengetahuan halal-haram, kanal sedekah, dan materi moral demi menjemput usia tua yang khusnul khatimah.
Materi agar anak-anak menjadi salih/salihah laku keras, sebab orang tua tentu akan merasa lebih khusnul khatimah kelak jika anaknya menjadi anak yang salih, yang tentu didefinisikan secara sederhana pada tataran syariat yang mudah terlihat.
Dua tokoh yang sedang ramai diperbincangkan sebab kepleset dalam tashrif di linimasa saya dikritik oleh teman-teman dari kalangan pesantren.
Baca juga: Haikal Hassan dan Tengku Zulkarnain Ulama dan Jadi Komentator Amatiran
Akan tetapi, saya tahu bahwa masjid-masjid di Tangerang-Bekasi secara umum adalah mimbar mereka. Teman saya yang bekerja di sebuah BUMN, sering memvideokan Babe itu ketika sedang berceramah di kantornya. Teman saya tidak pernah nyantri sehingga ia mungkin tak peduli Nahwu-Shorof. Yang paling penting baginya adalah doktrin keberpihakan politik-agama yang menjanjikan ketenangan dalam hatinya.
Sedangkan meskipun kikita terus mengejar ketertinggalan medium-medium digital untuk pengajian yang otoritatif dengan mulai menerjemahkan ceramah kiai lokal lewat transliterasi bahasa nasional, misalnya, kita tahu bahwa kita memang mungkin kurang menarik. Tidak gaul, tidak bisa (dan tidak tega) mensimplifikasi ilmu keislaman dengan doktrin halal-haram, dan tidak menguasai kantong-kantong perkotaan. Ketika “tengku” dan “Babe” dibully, ia mungkin akan semakin kesal dan percaya brodcast yang mengatakan bahwa umat Islam sedang kembali diadu domba.
Saya menikmati candaan soal tashrif dan tertawa berkali-kali mengingat memori masa pesantren dulu. Tapi saya sadar betul, bahwa candaan tashrif adalah candaan yang sangat lokal. Sama seperti sebagian Kiai kampung yang dianggap tidak menarik oleh kalangan urban well-educated karena candaannya yang kadang semangat lokal dan nyerempet hal yang kurang layak (saru/seksis).