Hadis-hadis Daif dan Palsu Tentang Memakmurkan Masjid Saat Corona

Hadis-hadis Daif dan Palsu Tentang Memakmurkan Masjid Saat Corona

Banyak hadis daif dan palsu tentang memakmurkan masjid saat corona yang tersebar di media sosial dan Whatsapp grup.

Hadis-hadis Daif dan Palsu Tentang Memakmurkan Masjid Saat Corona

Banyak yang salah faham dengan fatwa MUI dan himbauan Dewan Ulama Senior Al-Azhar, Mesir. Mereka yang salah faham mengira bahwa fatwa MUI dan himbauan Dewan Ulama Senior tentang corona bertujuan menggembosi jamaah di masjid. Menurut mereka, justru setan bahagia jika tidak ada yang jamaah di masjid. Musuh Islam menciptakan corona untuk membuat sepi masjid. memakmurkan masjid saat corona

Padahal dalam fatwa-fatwa tersebut sudah dijelaskan bahwa tujuannya adalah mengurangi penularan virus, itu pun bagi daerah yang tergolong sebagai daerah yang rawan dan sulit untuk dikendalikan penyebarannya. Sedangkan bagi daerah yang masih belum tergolong rawan, dianjurkan untuk tetap jamaah di masjid dengan mengindahkan beberapa pencegahan, di antaranya: menggulung karpet masjid, menghimbau jamaah untuk membawa sajadah sendiri, dsb.

Kelompok-kelompok yang masih salah faham ini akhirnya menyebarkan hadis-hadis daif dan palsu tentang anjuran ke masjid walaupun ada penyakit, serta penyakit yang sembuh jika orang yang sakit datang ke masjid. Hadis-hadis seperti ini menyebar di grup-grup Whatsapp keluarga dan perkumpulan. Padahal kesahihannya masih dipertanyakan.

Berikut hadis-hadis tentang kemakmuran masjid yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak sepakat dengan fatwa MUI dan Dewan Ulama Senior Al-Azhar melalui grup-grup WA dan disebarkan juga oleh website hajinews.id.

Hadis pertama tentang Allah menjauhkan penyakit dari orang-orang yang memakmurkan masjid saat corona.

إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ.

“Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid.”

Hadis tersebut dalam pesan siaran disebut berasal dari riwayat Ibnu Asakir (juz 17 hlm 11) dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232). Padahal yang dimaksud Ibn ‘Adi dalam hadis ini adalah masuk dalam kategori hadis daif yang tercantum dalam kitab al-Kamil fid Dhu’afa’ karya Ibn ‘Adi.

Alasan yang menjadikan hadis ini dhaif adalah ada periwayat yang bernama Zafir bin Sulaiman yang disebut sebagai orang yang sering terbalik-balik dalam meriwayatkan hadis, baik sanadnya maupun matannya. Orang yang meriwayatkan hadisnya selalu menyertakan kata “hadis ini daif” setelah meriwayatkannya.

أحاديثه مقلوبة الإسناد مقلوبة المتن وعامة ما يرويه لا يتابع عليه ويكتب حديثه مع ضعفه

“Hadis-hadis yang diriwayatkannya terbalik-balik sanadnya dan matannnya. Secara umum, hadis yang diriwayatkannya tidak memiliki tabi’ dan hadisnya ditulis dengan menyertakan kedaifannya.”

Hadis kedua adalah hadis yang agak bermakna sama,

Dari Anas bin Malik رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذا أرَادَ الله بِقَوْمٍ عاهةً نَظَرَ إِلَى أهْلِ المَساجِدِ فَصَرَفَ عَنْهُمْ

“Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka.”

Dalam pesan di atas disebut bahwa hadis ini berasal dari riwayat Ibnu Adi (juz 3 hlm 233); al-Dailami (al-Ghumari, al-Mudawi juz 1 hlm 292 [220]); Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (juz 1 hlm 159); dan al-Daraquthni dalam al-Afrad (Tafsir Ibn Katsir juz 2 hlm 341).

Namun dalam penjelasan di atas tidak dijelaskan bahwa hadis ini diriwayatkan Ibnu Adi dalam kitab al-Kamil fid Dhuafa’. Imam ad-Daruqutni dalam al-Afrad menjelaskan bahwa hadis ini hadis gharib. Jika hadis ini hadis gharib dan telah dinilai daif oleh ulama, maka kemungkinan naik ke derajat hasan lebih sedikit. Karena tidak akan ditemukan riwayat lain sebagai tabi’. Namun demikian ada juga menilainya hasan, yaitu as-Suyuthi dalam Jami’ as-Saghir, walaupun tidak dijelaskan alasan yang membuat hadis daif ini menjadi hasan.

Hadis memakmurkan masjid saat Corona yang ketiga adalah orang yang meramaikan masjid akan dijauhkan dari azab.

Sahabat Anas bin Malik رضي الله عنه berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ” إِنِّي لَأَهُمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي والْمُتَحَابِّينَ فِيَّ والْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ صَرَفْتُ عَنْهُمْ “

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka. Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman [2946].

Hadis ini dinilai daif oleh para ulama. Muhammad bin Thahir al-Maqdisi dalam Dakhiratul Khuffadz al-Makhraj minal Khuruf wal Alfadz (al-Dakhirah fi Al-Ahadits ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah) menjelaskan bahwa dalam periwayat hadis ini terdapat seorang yang bernama Shalih al-Mariy, yang disebut sebagai orang yang tidak bisa dipercaya dalam hadis (la syai’a fil hadis). Ibn ‘Adi dalam al-Kamil fid Dhuafa bahkan menjelaskan bahwa hadis ini tergolong munkar.

Munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang sering melakukan kesalahan (fahsy al-ghalath) atau rawi yang fasiq, sering melakukan dosa.

Ketiga hadis di atas, memiliki makna yang sama walaupun berbeda redaksi matan, selain itu juga bersumber dari sahabat yang sama. Di sisi lain, jika kita kaji matannya melalui pendekatan naqd matan. Hadis ini bertentangan dengan fakta sejarah.

Beberapa sahabat senior (kibar as-sahabat) ternyata masih tertular penyakit, bahkan sampai meninggal, seperti: Abu Ubaidah al-Jarrah, Surahbil bin Hasanah, Muadz bin Jabal, Khalid bin Walid, dan beberapa sahabat lain. Padahal sahabat-sahabat ini tidak diragukan lagi kecintaannya dengan masjid.

Hadis keempat, hadis yang dimaknai bahwa para sahabat saat ketakutan datang ke masjid.

“كَانُوا إِذَا فَرَغُوا مِنْ شَيْءٍ أَتَوُا الْمَسَاجِدَ “

“Mereka (para sahabat) apabila ketakutan tentang sesuatu, maka mendatangi masjid.”

Ungkapan ini bukanlah hadis, melainkan ungkapan Imam al-Sya’bi. Imam al-Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman sama sekali tidak menyandarkan ungkapan ini sebagai hadis, melainkan hanya ungkapan ulama saja. Maka jika ada pesan siaran (broadcast) yang menyandarkan ungkapan ini sebagai hadis, maka orang itu menyebarkan hadis palsu.

Lalu bagaimana sikap kita saat menerima hadis-hadis daif ini?

Para ulama menyikapi hadis daif dengan cara bermacam-macam. Jika hadis daifnya bukan termasuk hadis daif parah, maka bisa disampaikan dengan diwajibkan menyebutkan kedhaifannya. Lalu, apakah bisa diamalkan? Hadis daif memang masih bisa diamalkan asal tidak berkaitan dengan halal-haram dan akidah.

Nah, hadis daif di atas (kecuali hadis palsu terakhir) memang masih bisa diamalkan, karena tidak berkaitan dengan akidah dan halal-haram, namun jika hadis di atas digunakan untuk tetap bersikap fatalisme dalam menyikapi virus Corona dan tidak mengindahkan fatwa ulama bagi daerah yang terdampak virus secara parah, maka dirasa kurang tepat untuk diamalkan. Karena ada hadis lain yang lebih sahih dan lebih tepat untuk diamalkan. Yaitu kisah Rasulullah SAW yang marah kepada seorang Badui yang tidak mau berusaha terlebih dahulu sebelum tawakkal.

Nah, fatwa ulama bagi daerah yang terdampak virus yang parah adalah bagian dari usaha sebelum tawakkal. Jangan dimaknai sebagai konspirasi untuk membuat masjid sepi, apalagi dilawan dengan menggunakan hadis daif, bahkan palsu. (AN)

Wallahu a’lam.