Ketika penjelasan terhadap Al-Qur’an dalam Bahasa selain Arab ditulis dalam aksara turunan dari Arab (seperti Arab-Melayu atau Pegon), tidak tercatat adanya penolakan berarti. Penjelasan ini juga lebih disebut sebagai tafsir, daripada terjemah. Bisa kita lihat umpamanya pada manuskrip Al-Qur’an di tanah melayu pertama yang pernah ditemukan, memuat surat al-Kahfi, yang saat ini tersimpan di perpustakaan Universitas Cambridge. Begitu pula dengan Tarjumān al-Mustafīd yang ditulis oleh Abd al-Ra’ūf Singkel di abad ke 18 M.
Namun demikian, ketika penjelasan tersebut ditulis dalam aksara selain Arab, penolakan mulai muncul. Ia lebih banyak disebut sebagai terjemah daripada tafsir. Secara tampilan luar, karya semacam ini mempertontonkan sesuatu seperti Al-Qur’an, tetapi tidak berbahasa dan beraksara Arab. Ia ditolak, karena dianggap sebagai ‘bentuk lain’ dari Al-Qur’an, sementara teologi Islam jelas menyatakan bahwa Al-Qur’an otentik tak tersentuh pemalsuan. Di samping itu, model penulisan semacam ini diprakarsai untuk pertama kali oleh apologetik dan polemisis non-Muslim. Penerjemahan yang mereka lakukan, dan persepsi Muslim terkait penerjemahan Bible, menggunung menjadi penolakan keras terhadap praktik penerjemahan Al-Qur’an.
Dengan situasi ini, terjemahan Al-Qur’an merupakan barang langka di dunia Islam hingga penghujung abad 19 dan awal abad 20. Kenyataan ini diperburuk oleh pandangan Belanda yang membatasi ruang gerak para ulama di Indonesia untuk menjaga kekuasaannya. Hasilnya, di luar lingkaran santri, aspek makna Al-Qur’an adalah barang mewah.
Hal ini lah yang kemudian pernah di protes oleh Kartini. Dalam salah satu suratnya kepada Stela Zeehandelaar pada tanggal 6 November 1899, dia menuliskan rasa frustasinya itu, lantaran ia merasa tidak cocok dengan pola pendidikan Al-Qur’an yang ia terima. Ia jengkel karena dimarahi gurunya ketika bertanya tentang makna Al-Qur’an.
“Dan sebenarnya, aku menjadi seorang Muslim hanya karena para pendahuluku Muslim. Bagaimana mungkin aku mencintai doktrin yang tidak (dan mungkin tidak akan pernah) kuketahui? Al-Qur’an itu terlalu suci untuk diterjemahkan ke Bahasa manapun. Di sini tidak ada satu orang pun yang mengerti Bahasa Arab. Kita biasanya membaca Al-Qur’an, tapi apa yang dibaca tidak satu orang pun yang mengerti! Bagiku, menjengkelkan untuk membaca sesuatu tanpa mampu memahaminya. … Jika aku harus mengetahui dan memahami agamaku, aku harus berangkat ke tanah Arab untuk belajar bahasanya.”
Penjelasan tersebut tampaknya perlu ditelaah ulang. Volume pertama Faidh al-Rahmanpertama kali ditulis pada tanggal20 Rajab 1309 H / 19 Februari 1892 M hingga 19 Jumadil Awwal 1310 / 19 December 1892, dan diterbitkan di Percetakan Haji Muhammad Amin di Singapura pada 17 Rabi`ul Awwal 1311 H / 7 November 1893. Volume ini berisi pengantar yang memuat pentingnya memahami Al-Qur’an, sumer rujukan, dan informasi penting terkait buku, terjemahan surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah. Volume kedua berisi surat Ali Imran dan al-Nisa yang diterbitkan di tahun 1312 H / 1894 M. Sementara Kartini menulis protesnya dalam surat tersebut tertanggal 6 November 1899. Dengan demikian, Kyai Shaleh Darat telah memulai penerjemahan Al-Qur’an sebelum bertemu Kartini.
Terlepas dari persoalan tersebut, Kyai Shaleh Darat memberikan terjemahannya kepada Kartini sebagai hadiah pernikahannya. Kartini terkesan dengan surat al-Baqarah 257. Di situ ia menemukan frasa min al-zhulumāt ila al-nūr. Kartini meresapi, frasa ini mewakili pengalaman hidupnya, dari kegelapan menuju cahaya. Berulang kali dalam surat-suratnya selanjutnya ia mengulang-ulang frase tersebut dalam Bahasa Belanda:Door Duisternis Tot Licht. Ketika Mr. Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini untuk diterbitkan, istilah itulah yang ia jadikan sebagai judul. Di tangan Armijn Pane, kumpulan surat Kartini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Door Duisternis Tot Lichtia terjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Habis gelap terbitlah terang adalah min al-zhulumāt ila al-nūr.[]