Kartini, Ramadhan, dan Pentingnya Istiqamah

Kartini, Ramadhan, dan Pentingnya Istiqamah

Kartini, Ramadhan, dan Pentingnya Istiqamah

Belum genap seminggu kita memperingati hari Kartini, dan seperti biasa, secara istiqamah hari Kartini dirayakan dengan beramai-ramai memakai kebaya. Memang sudah menjadi kebiasaan kalau sebuah perayaan hanya berakhir dalam sebuah pertunjukan kostum. Tak hanya hari Kartini, bahkan nyaris, untuk tidak mengucapkan semua perayaan akan bermuara di acara pesta kostum.

Sebenarnya, kostum hanyalah salah satu komponen dari sesuatu yang lebih luas. Sesuatu yang lebih luas dan kompleks dari kostum adalah perayaan yang hanya di permukaan. Kita sering kali merayakan suatu peringatan hanya dengan hura-hura, lomba bersolek dan kicau-kicau kosong. Kita terjemahkan perayaan dengan pesta kostum, pesta kata-kata, pesta dansa tanpa menyentuh palung gagasan dari setiap perayaan.

Seperti yang terjadi pada hari Kartini, model perayaan pesta kostum akan segera dipertontonkan pada kita selama sebulan ramadhan ini. Saat saya menulis esai ini, kita telah memasuki tanggal 1 Ramadhan 1441 H. Sudah mulai banyak perayaan permukaan muncul di televisi dan akun-akun public figure di sosial media. Mereka berbondong-bondong menyorotkan spotlight ke sajadah, tasbih dan kegiatan membaca al-Quran.

Mereka juga menjadi gemar mengenakan pakaian ala Timur Tengah dan tiba-tiba memakai kerudung dan kopiah saat disorot kamera. Mereka juga mulai mengurangi kebiasaan menggunakan kata-kata yang selama ini disebut kata keakraban semisal “anjing!” dengan alasan “sedang puasa”

Apakah kegiatan seperti ini baik untuk terus menerus dipertahankan setiap tahun? Kita hanya suka seremonial dan sering terjebak dalam perayaan yang sifatnya hanya merayakan selembar permukaan?

Pada mulanya memang tiada yang salah dengan acara-acara seremonial, apalagi memang pada kenyataannya acara-acara semacam itu bisa memompa semangat dan mengingatkan lagi pada apa yang sedang dirayakan. Namun menjadi sebuah permasalahan ketika kita salah memegang prinsip. Saya menduga, bahwa mereka yang suka perayaan hari Kartini sampai menjalankan puasa Ramadhan sebatas dengan pesta kostum adalah mereka yang tidak jeli memegang apa yang seharusnya dipegang.

Yang selama ini dipegang adalah tampilan luar, yang mana tampilan luar bisa jadi sangat jauh dari nilai-nilai pemikiran yang semestinya dipegang. Semisal, kenapa orang-orang merayakan hari Kartini dengan berkebaya. Barangkali hal ini karena mereka hanya mengenal Kartini sebagai perempuan yang selalu berkebaya. Dimanapun kita bertemu Kartini, Ia adalah perempuan yang selalu mengenakan kebaya, tak sekalipun kita melihat Kartini dalam balutan daster atau mukena. Sehingga orang-orang jaman sekarang meniru cara berpakaian Kartini dan ketika sudah memakai pakaian itu, ia merasa sudah sangat Kartini.

Selain kebaya, Kartini juga selalu diidentikkan dengan jargon habis gelap terbitlah terang. Saya kira saat ini bisa dicek, seberapa banyak orang yang mengenal jargon itu tapi di waktu yang sama betapa sedikit orang yang memahami dari mana dan apa makna kata itu. Saya agak yakin kalau orang yang suka merayakan hari Kartini dengan kebaya pernah membaca secara langsung kutipan itu, mengetahui dari mana kutipan itu berasal dan memahami maksud yang terkandung di baliknya dengan gamblang dan jelas.

Hal ini karena orang-orang pecinta parade ini memang tidak memegang apa prinsip dan nilai perjuangan Kartini. Mereka hanya melihat Kartini dari cara berpakaian. Sehingga saya kira, akan sangat menarik apabila ada sebuah perayaan hari Kartini yang mana dirayakan dengan memakai daster dan pakaian-pakaian yang lain, bukan karena tidak itba’ Kartini, tetapi ia sadar itu adalah pakaian yang nyaman untuknya dan dalam tingkah laku sehari-hari ia mengenakan prinsip dari apa yang diajarkan Kartini. Sungguh menarik!.

Hal senada juga hadir selama sebulan ini, kita dijejali tontonan kostum ala Timur Tengah baik di televisi dan layar gawai. Lantas kemudian kita patut bertanya, apakah cara berpakaian seperti itu memang cara berpakaian yang diajaran Islam? Apakah tidak layak memakai pakaian surjan di bulan puasa ini dan muncul di layar televisi saat ramadhan?

***

Dalam Islam kita mengenal sebuah ajaran yang sangat sederhana tapi amat sangat sulit untuk dilakukan, yakni istiqamah. Bahkan ada jaminan hidup di akhirat pasti akan mulia kalau kita bisa istiqamah dalam beriman pada Tuhan. Terdengar amat ringan tapi sungguh amat berat dilakukan.

Kyai Ahmad Mustofa Bisri sering memberi contoh yang dekat dengan kita perihal iman yang istiqamah ini. Menurut Kyai Ahmad Mustofa Bisri, “kalau kita merasa dekat dan diperhatikan Allah saat shalat, apakah kita juga merasakan hal serupa saat di rumah, saat di kantor, saat di pasar atau saat sendiri di kamar? Apakah kita tetap patuh dan taqwa pada Allah saat sedang sendiri, padahal saat sendiri itu kita punya kesempatan berbuat kemaksiatan, apakah kita akan tetap istiqamah di situasi seperti itu?”

Ini perkara yang tidak mudah meskipun bukan berarti kita tak bisa melaksanakannya. Jadi memang tak mengherankan kalau ada jaminan mulia di hari kemudian pada mereka yang bisa mengamalkan ketaatan yang istiqomah.

Kita Kembali lagi pada soal perayaan. Tadi saya menyebutkan bahwa pada mulanya perayaan itu baik karena pada saat perayaan kita akan “nge-charge”, isi ulang pengetahuan pada apa yang sedang dirayakan. Tidak menutup kemungkinan saat merayakan hari Kartini, yang terjadi tidak hanya memakai kebaya. Tetapi juga mulai ada yang kembali membaca surat atau kutipan-kutipan dari Kartini. Sangat mungkin sekali.

Seperti juga yang akan kita lakukan sebulan ini, saat bulan-bulan biasa kita mungkin hanya 5 menit meluangkan waktu untuk membaca Al-Quran, tetapi dalam bulan ramadhan sangat mungkin sekali kita bisa bercumbu dengan Al-Quran selama berjam-jam. Bahkan tak hanya mengeja Al-Quran, bulan Ramadhan ini kita membaca Al-Quran dengan penuh perhatian dan hati-hati sampai ke makna-makna dibaliknya. Sangat mungkin sekali.

Kita juga berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, bahkan bergunjing pun enggan kita lakukan saat bulan ini. Hal seperti ini ada dan nyata. Namun yang menjadi pertanyaan sekaligus tantangan untuk kita yang memang suka perayaan ini adalah seberapa istiqamah kita mempertahankan kebiasaan baik itu?

Seberapa tahan dan kuat kita tetap menyemai nilai-nilai hidup Kartini dalam tutur dan tindakan dalam hidup? Seberapa tahan dan kuat kita akan tetap bersabar dalam bertindak, ramah dalam tutur dan puasa hawa nafsu setelah Ramadhan kembali meninggalkan kita nantinya?

Saya yakin memang benar apa yang dikatakan Kyai Ahmad Mustofa Bisri, istiqamah ini memang sederhana, tetapi amat sulit dijalankan. Namun bukan berarti kita tidak bisa menjalaninya. Sehingga, lebih baik kita lakukan transformasi dalam diri untuk menjadi lebih baik dengan sedikit demi sedikit agar tubuh tidak kaget. Yang penting adalah selalu ada progres. Mari berlatih menjadi Muslim yang lebih baik, penganut Kartini yang lebih bijaksana dalam Ramadhan yang spesial ini dan di bulan-bulan selanjutnya.

Selamat berpuasa.