Indonesia sebagai negara-bangsa yang besar memiliki sebuah pijakan. Para pendiri bangsa sedari awal sudah mengetahui keberagaman yang ada di Indonesia. Maka dari itu, founding father kita tidak serta merta memilih ideologi guna dijadikan sebagai ideologi bangsa. Karena ideologi bangsa harus mencakupi seluruh keberagaman. Agama, suku, bahasa, ras, dan sebagainya harus menjadi acuan untuk membangun sebuah ideologi bangsa.
Pancasila yang ditawarkan oleh Soekarno menjadi alternatif bagi terbentuknya ideologi bangsa. Pancasila disarikan dari seluruh unsur yang ada di Indonesia. Bahkan Pancasila sudah terbukti bisa mempersatukan nusantara pada masa kerajaan Majapahit. Maka dari itu, Pancasila tidak lahir dari zaman yang kosong. Pancasila lahir dari rahim nusantara sendiri.
Akan tetapi, kelahiran Pancasila dipenuhi dengan perdebatan. Pada awalnya, Pancasila yang digunakan adalah hasil dari sidang BPUPKI pertama pada tanggal 22 Juni 1945 melahirkan Piagam Jakarta. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus, sehari seteleh Indonesia merdeka, sidang PPKI dilaksanakan dan menghasilkan pergantian pada Piagam Jakarta ke hasil sidang PPKI.
Sesungguhnya perubahan dari Piagam Jakarta ke rumusan PPKI hanya terletak pada redaksi sila pertama. Pada mulanya, di Piagam Jakarta pada sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Pergantian ini sangatlah penting dilakukan. Sebab pencantuman Islam dalam ideologi bangsa sangat tidak mencerminkan keberagaman agama yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, maka pergantian ini dimaksudkan untuk mendudukkan seluruh agama dalam porsi yang sama dihadapan hukum Indonesia.
Akan tetapi, perdebatan untuk mengganti hasil PPKI ke Piagam Jakarta saat ini masih terus terjadi. Salah satu ormas yang terus memperjuangkan diberlakukannya Piagam Jakarta adalah Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin oleh Habib Rizieq Syihab. Perjuangan ini sesungguhnya untuk memasukkan syariat Islam pada hukum Indonesia.
Perjuangan FPI dan ormas-ormas lainnya terlihat sangat jelas pada tahun 2000. Mereka mendapat momentum pada sidang MPR pada tahun 2000 untuk memasukkan agenda Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, namun gagal di tengah jalan. Akan tetapi, perjuangannya tidak berhenti di situ saja. Ketika FPI gagal menerapkan Piagam Jakarta, FPI mencoba cara lain seperti tidak memilih pemimpin non muslim, tidak memilih pemimpin perempuan, memilih pemimpin yang kuat agamanya.
Proyek syariat Islam yang coba diperjuangkan di tingkat nasional dialihkan ke tingkat daerah. Logikanya, jika semua daerah nantinya banyak yang menerapkan syariat Islam, maka untuk mewujudkan syariat Islam ditingkat nasional akan lebih mudah dilakukan. Jadi, pada akhirnya proses syariatisasi ini akan berujung untuk menjadikan Piagam Jakarta sebagai ideologi bangsa.
Pergantian arah gerak FPI didasarkan atas Munas di bogor pada tahun 2012. Pada saat itu FPI mengevaluasi gerakannya yang pernah dilakukan dan hasilnya tidak signifikan. Maka dari itu, FPI mencoba cara lain dengan cara memilih pemimpin seperti di atas. Dalam konteks kepartaian, FPI mengajak kadernya untuk memilih partai Islam seperti PKB, PPP, PKS, PBB. Cara gerak seperti masih jarang diketahui oleh orang di luar FPI. Sampai saat ini gerakan seperti ini masih terus dilakukan.
Setelah pemimpin yang mereka pilih menjadi kepala daerah, maka langkah selanjutnya adalah mendekati pemimpin tersebut. Ketika kedekatan tersebut sudah terjalin, FPI akan mencoba menawarkan agenda-agendanya supaya menjadi undang-undang di daerah.
Seperti contoh pada kasus pemilihan kepala daerah Jakarta. Tentu dibenak kita fenomena 212 tidak bisa dilupakan begitu saja. Meskipun di situ ada isu yang jelas, akan tetapi fenomena 212 memperlihatkan bahwa ada penolakan dari Habib Rizieq untuk menjadikan Ahok gubernur karena dari non muslim. Ketika berhasil menjatuhkan Ahok, agenda selanjutnya yang coba dibangun ialah mendekati pemimpin yang terpilih, lalu kemudian memasukkan agenda-agenda politiknya FPI di pemerintahan.
Menitipkan cita-cita FPI di pemerintahan daerah dirasa cukup mudah. Desentralisasi daerah menjadi peluang untuk menitipkan cita-cita politik FPI. Dalam proses desentralisasi ini, daerah diberi kewenangan untuk menentukan peraturan seperti apa yang cocok untuk diterapkan. Peluang ini yang coba dimanfaatkan oleh FPI untuk memasukkan ide syariat Islam di pemerintahan.
Itulah cita-cita yang ingin dicapai oleh FPI yang dipimpin oleh Habib Rizieq. Sudah banyak kasus di daerah yang menerapkan syariat Islam. Tidak sedikit dari daerah tersebut yang pada akhirnya mendiskriminasi agama minoritas. Bahkan ruang-ruang publik, seperti pusat pemerintahan daerah, sekolah, dan sebagainya, ‘di Islamkan’. Hal tersebut justru memperlihatkan bahwa adanya syariat Islam justru digunakan untuk mendiskriminasi kelompok lain, dan bukan menjadi jawaban atas problematika yang dihadapi di daerah tersebut. Wallahhu a’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.