Beberapa waktu lalu, dalam sebuah obrolan santai dengan sekelompok pegiat budaya seusai acara sastra di Taman Ismail Marzuki, seorang teman yang dikenal anti-Anies Baswedan mengungkapkan pendapatnya bahwa etnis keturunan Arab, baik dari golongan masyaekh maupun golongan Alawiyin (habaib) bersatu mendukung Anies Baswedan sebagai capres 2024. Menurutnya, kedua golongan yang berseberangan secara geneologis (habib dan non-habib) dan keorganisasian (Rabithah Alawiyah dan al-Irsyad) itu, bersatu mendukung Anies Baswedan lantaran didorong oleh perasaan kesamaan etnis.
Saya membantahnya. Saya jelaskan bahwa dukungan terhadap Anies Baswedan (seorang keturunan Arab dari golongan masyaekh) itu, bukan berdasarkan etnisitas melainkan karena kesamaan haluan politik; dalam hal ini Islamisme. Jadi, misalkan Anies Baswedan seorang yang berseberangan dengan kelompok Islam kanan seperti HTI, FPI, dan PKS dan ia diusung oleh PDI-P atau PSI, lalu berlaga di pilpres melawan Ganjar Pranowo yang dekat dengan HTI, FPI dan diusung oleh PKS, maka mayoritas etnis keturunan Arab (baik dari golongan habaib maupun masyaekh) akan memilih Ganjar Pranowo, bukan Anies Baswedan.
Dan bukti bahwa dukungan kepada Anies Baswedan bukan berangkat dari kesamaan etnis, juga bisa diperkuat dengan fakta terbentuknya opini di kalangan etnis keturunan Arab bahwa habaib penganut mazhab Syiah merupakan penentang Anies Baswedan sejak Pilgub 2017 hingga sekarang.
Seorang teman yang lain terheran-heran mendengar keterangan saya soal habaib Syiah. Selama ini ia berpikir bahwa semua habaib merupakan penganut Sunni. Perbincangan itu menunjukkan banyak orang yang tak mengetahui fakta keragaman mazhab dan preferensi politik di kalangan habaib.
Meski tentu saja tidak bisa membuat klasifikasi secara hitam putih mengingat kompleksitas variabel yang saling silang, tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara ringkas soal keragaman tersebut, dan juga kaitannya dengan Anies Baswedan.
Habaib Syiah
Meski tak diketahui secara pasti jumlahnya, namun keberadaan habaib penganut mazhab Syiah di Indonesia merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Beberapa peristiwa yang menggambarkan konflik antar habaib terkait Sunni – Syiah, merupakan bukti bahwa keberadaan mereka nyata.
Antara lain adalah pendirian yayasan al-Bayyinat di Surabaya pada 1980an. Didirikan oleh (alm) Habib Ahmad bin Zein al-Kaff, al-Bayyinat memfokuskan kegiatannya pada upaya pencegahan penyebaran Syiah. Mereka menerbitkan buletin dan siaran televisi dengan konten-konten yang mendiskrediktkan Syiah.
Habib Ahmad bin Zein al-Kaff (kelak ikut mendirikan Aliansi Nasional Anti Syiah di Bandung dengan dukungan gubernur Jabar Ahmad Heriawan) menyeru habaib Sunni agar mengucilkan habaib Syiah, termasuk dengan tidak menghadiri acara pernikahan dan pemakaman mereka.
Sejak saat itu ketegangan antara mayoritas habaib Sunni dan minoritas habaib Syiah terus mengalami peningkatan, terutama di kota-kota di Jawa. Pada 14 April 2000 ponpes al-Hadi yang didirikan oleh Habib Ahmad Baragbah di kabupaten Batang, Pekalongan dibakar massa. Meski tidak jelas siapa dalang di belakang aksi yang mengakibatkan hangusnya 3 bangunan dan 1 mobil itu, namun sebagian habaib Syiah mencurigai sejumlah habaib Sunni yang terafiliasi dengan al-Bayyinat menjadi provokatornya.
Pada 20 April 2007 terjadi aksi unjuk rasa anti-Syiah di Bangil, Jawa Timur. Demonstrasi yang menjadikan ponpes Yayasan Pendidikan Islam (YAPI) sasaran utama itu, melibatkan sekitar 2000 orang di bawah pimpinan seorang habib Sunni bernama Umar Assegaff. Unjuk rasa diwarnai dengan aksi pelemparan batu ke sejumlah rumah habaib Syiah yang terkait dengan ponpes yang didirikan oleh (alm) Habib Husein al-Habsyi itu.
Merespons peristiwa itu, pada 1 Desember 2007 Rabithah Alawiyah (yang kepengurusannya didominasi habaib Sunni) menerbitkan pernyataan sikap, mengimbau agar kedua belah pihak menjaga persatuan dan suasana damai. Rabithah Alawiyah mengkritik segala bentuk dakwah yang “melukai perasaan mayoritas”, namun juga tidak mentolerir aksi anarki.
Pada 8 Agustus 2020, di Solo terjadi aksi persekusi pada acara pernikahan satu keluarga Syiah. Selain merusak sejumlah mobil, massa yang diduga berasal dari kelompok Salafi Wahabi itu juga melukai seorang habib Syiah bernama Umar Abdillah Assegaff.
Perisiwa-peristiwa pengucilan, persekusi, pengusiran, dan pelabelan sesat yang dialami habaib Syiah itu, pada akhirnya membuat sebagian dari mereka berbeda dalam preferensi politik dengan mayoritas habaib Sunni.
Insekuritas Kelompok Minoritas
Sebagaimana anggota kelompok minoritas keagamaan lainnya di Indonesia seperti Ahmadiyah, Kristen, Buddha, Hindu, dan Khonghucu, sebagian habaib Syiah memiliki kecenderungan mendukung partai atau politisi yang berseberangan dengan kelompok Islam kanan. Islam kanan (yang dalam konteks politik Indonesia mutakhir direpresentasikan oleh ormas-ormas seperti FPI, HTI, dan partai politik PKS) dipandang sebagai ancaman bagi keberagaman agama di Indonesia.
Dengan demikian, mencegah berkuasanya kelompok yang dianggap intoleran terhadap perbedaan itu, menjadi dasar pemikiran yang mengarahkan pandangan dan sikap politik sebagian habaib Syiah Indonesia.
Maka, dukungan politik mereka (sebagaimana yang dilakukan oleh anggota kelompok minoritas keagamaan lainnya) terhadap pasangan Ahok – Djarot pada Pilkada DKI 2017 dan Jokowi- Ma’ruf Amin saat Pilpres 2019 adalah dalam kerangka mencegah kelompok Islam kanan naik ke tampuk kekuasaan. Sebagaimana kita ketahui, saat itu Islam kanan berada di gerbong politik Anies Baswedan – Sandiaga Uno dan Prabowo Soebianto – Sandiaga Uno.
Dengan demikian, semakin terbantahkanlah pendapat yang mengatakan bahwa seluruh etnis keturunan Arab mendukung Anies Baswedan.
Namun, tentu alasan di balik dukung mendukung itu tidak semuanya berangkat dari faktor insekuritas kelompok minoritas. Dalam berbagai majelis yang pernah saya ikuti di komunitas itu, saya mendapati banyak individu yang dikenal sebagai habaib Syiah, terutama dari kalangan terpelajar, yang menampik anggapan insekuritas sebagai alasan utama dalam menentukan arah dukungan politik.
Meski tak memungkiri fakta keberadaan psikologi politik semacam itu, khususnya di tingkat akar rumput yang umumnya memang memiliki kecenderungan pada fanatisme primordial, namun mereka menegaskan bahwa proses terbentuknya preferensi politik kalangan terdidik komunitas habaib Syiah—sebagaimana juga terjadi di banyak komunitas lainnya—diwarnai hal-hal yang lebih filosofis ketimbang sekadar persoalan keterancaman.
Internalisasi terhadap nilai-nilai agama, bangsa dan negara, pembacaan data dan analisis, merupakan anasir subyektif lain yang mereka contohkan sebagai faktor-faktor yang ikut berperan.
Habaib dalam Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019
Secara garis besar, pada Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019, habaib bisa dikelompokkan menjadi 5 golongan. Pertama, habaib Sunni 212; mengacu pada gerakan demo besar pada 2 Desember 2016 yang dimotori Habib Rizieq Shihab untuk memenjarakan Ahok terkait penistaan agama (MUI di bawah ketua umumnya saat itu, KH Ma’ruf Amin, menerbitkan fatwa pada 11 Oktober 2016 menyatakan kasus Al Maidah 51 sebagai penodaan dan penistaan agama), dan berlanjut pada kampanye untuk kemenangan Anies – Sandi pada Pilgub 2017 dan atau Prabowo – Sandi pada Pilpres 2019.
Kedua, habaib Sunni 01; habaib dari kalangan Sunni yang mendukung Ahok – Djarot dan atau Jokowi – Ma’ruf Amin. Ketiga, habaib tasawuf Tarekat Alawiyah, yaitu habaib Sunni yang tidak terlibat dalam urusan dukung-mendukung para kontestan pilgub maupun pilpres. Mereka dikenal sebagai habaib yang apolitis dan memfokuskan dakwahnya pada peningkatan akhlak dan amal ibadah.
Keempat, habaib Syiah 01; habaib yang dikenal sebagai penganut mazhab Syiah dan aktif berkampanye untuk kemenangan Ahok – Djarot dan atau Jokowi –Ma’ruf Amin. Kelima, habaib Syiah 02; habaib penganut Syiah yang bergabung dalam barisan 212 dan giat berkampanye mendukung kemenangan Anies – Sandi dan atau Prabowo – Sandi. Sepanjang yang saya amati, perdebatan-perdebatan antar habaib itu, baik di forum online maupun offline, berlangsung sengit.
Meski pada realitasnya pilihan politik habaib—Sunni maupun Syiah—beragam dan ada di semua kubu (terlepas dari jumlah komposisinya), dan tak seorang pun bertindak atas nama mazhab (Ahlul Bait Indonesia, ormas resmi Syiah yang dipimpin oleh Habib Zahir bin Yahya, bersikap netral baik dalam pilkada maupun pilres), namun di kalangan habaib Sunni 212 terbangun satu kesan kuat bernuansa sentimen sektarian: “Syiah mendukung Jokowi”.
Bahkan, dalam salah satu videonya yang direkam saat bermukim di Arab Saudi, dengan nada berang Habib Rizieq Shihab pernah melontarkan tuduhan itu.
Fallacy–fallacy seperti itu memang kerap terjadi. Padahal, jika seseorang mau sedikit lebih cermat dalam menggali data dan mengamati relasi-relasi sosial di lapangan, akan menemukan kenyataan bahwa pilihan politik dalam setiap etnis dan agama/mazhab selalu beragam. Dan preferensi politik individu-individu sama sekali tidak mewakili etnisitas dan agama/mazhab mereka.
Dinamika Politik Habaib Syiah Terkait Anies Baswedan
Keberagaman itu kian berlapis jika kita menilik ke lingkaran yang lebih kecil. Sebagai contohnya adalah dinamika politik yang sedang terjadi kalangan habaib Syiah 01 saat ini, yaitu pergeseran pandangan sebagian dari mereka yang semula menolak Anies Baswedan berbalik menjadi mendukung, dengan berbagai sebab yang menjadi latar belakangnya.
Sebagian berubah lantaran menganggap kebijakan Anies Baswedan selama menjabat sebagai gubernur DKI tidak pernah merugikan kelompok-kelompok minoritas sebagaimana yang mereka khawatirkan selama ini. Sebagian lain karena kecewa dengan kinerja Jokowi pada periode kedua yang mereka nilai hanya terfokus pada pembangunan infrastruktur dan mengabaikan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Ada pula yang berubah akibat backlash dari maraknya rasisme terhadap etnis keturunan Arab dalam rangkaian kampanye anti-Anies Baswedan. Dalam pandangan mereka, narasi rasisme terhadap etnis keturunan Arab yang didengungkan oleh sebagian penentang Anies Baswedan, menunjukkan bahwa intoleransi SARA tidak hanya berada di belakang Anies sebagaimana yang dikesankan selama ini, melainkan juga bercokol di kubu lawannya.
Pandangan seperti itu tentu berbenturan dengan habaib Syiah yang tetap menentang Anies Baswedan. Anies dianggap sebagai ancaman utama selama ia masih bersekutu dengan kelompok-kelompok Islam kanan (terutama dari unsur Salafi Wahabi yang merupakan musuh bebuyutan Syiah). Anies juga dinilai tak bisa bekerja dan miskin prestasi selama 5 tahun menjadi gubernur DKI, berkebalikan dengan Jokowi yang dipandang banyak menorehkan pencapaian selama hampir 2 periode masa kepresidenannya.
Perdebatan sengit antara habaib Syiah yang mengalami perubahan pandangan politik dan habaib Syiah loyalis Jokowi dan Ganjar (yang diasumsikan sebagai penerus Jokowi) ini, terjadi baik di grup-grup WhatsApp keluarga maupun di majelis-majelis komunitas habaib.
Sekali lagi, selain membuktikan bahwa dukungan sebagian besar etnis keturunan Arab kepada Anies Baswedan bukan didasarkan pada faktor etnis melainkan karena haluan politik, fakta-fakta di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada satu pun etnis dan agama yang memiliki warna tunggal. Selalu saja penuh keragaman.
Selain itu, fakta-fakta tersebut memperlihatkan bahwa tak seorang pun yang bisa merepresentasikan keseluruhan dari etnis dan agama/mazhab mereka. Dengan demikian, menghakimi seluruh etnis dan agama berdasarkan apa yang dipilih dan dilakukan sebagian anggotanya, merupakan sebentuk sesat pikir dan ignorance.
Dan lantaran setiap komunitas etnis dan agama selalu memiliki elemen yang beragam, maka perbedaan antar komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya tidak mungkin senantiasa bersifat total, linier, dan biner.
Pun seandainya perbedaan itu bersifat total, tetap saja dalam isu-isu tertentu, komunitas etnis dan agama yang satu bisa bertemu dalam irisan yang sama dengan komunitas etnis dan agama yang lainnya, dan kemudian saling berbagi pandangan. Kasus pro kontra penolakan timnas Israel U-20 belum lama ini, menjadi contoh paling benderang.[]