Gus Dur, Ricklefs, dan Islam Indonesia

Gus Dur, Ricklefs, dan Islam Indonesia

Gus Dur, Ricklefs, dan Islam Indonesia

Dua tokoh besar dalam panggung Islam Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur, 1940-2009) dan Merle Calvin Ricklefs (1943-2019), pantas kita kenang dengan penghormatan tinggi. Keduanya mangkat di bulan Desember. Keduanya mencurahkan perhatian kepada kebudayaan nusantara dan Islamisasi Jawa. Keduanya juga bersahabat baik. Dalam Islamisation and Its Opponents in Java (2012) Ricklefs mengenang bahwa ia mulai mengenal Gus Dur sejak 1977, berdiskusi dan terus menjalin persahabatan hingga Gus Dur mangkat pada 2009.

Ricklefs terkesan dengan Gus Dur dalam banyak hal, termasuk soal sejarah pra-kolonial dan wawasan Gus Dur tentang dunia mistik Jawa, yang ia “menyelam” di kedalamannya. Selain A History of Modern Indonesia (2001), Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792 (1974), dan Soul Catcher: Java’s Fiery Prince Mangkunagara I, 1726-1795 (2018), Ricklefs menulis tiga volume Islamisasi Jawa, Mystic Synthesis in Java (2006), Polarising Javanese Society (2007), dan Islamisation and Its Opponents in Java (2012). Tiga volume Magnum opus sebagai lukisan besar dan kronologi panjang Islamisasi Jawa, membuat Ricklef, seperti disanjung oleh kolega juniornya, Peter Carey,  sebagai “salah satu sejarawan Jawa paling cemerlang pasca perang dunia”.

Ketika saya bertanya kepada Profesor Edwin Paul Wieringa, Gurubesar Filologi dan Kebudayaan Islam Indonesia Universitas Köln-Jerman, “Apakah ada sejarawan Indonesia (orang Indonesia), dalam hal sejarah agama dan politik di Jawa, yang dapat menandingi kehebatan Ricklefs”? Dengan ungkapan yang tidak berlebihan Pak Edwin menjawab “Menurut saya, di seluruh dunia, tidak ada yang dapat menandingi Ricklefs sebagai sejarawan Indonesia”. Ricklefs adalah sejarawan-akademisi, apakah dalam pengertian modernis-positivistik, atau post-modernis atau label apa pun. Tak ada yang menyangsikan.

Tetapi, jangan lupa, Gus Dur juga pemerhati sejarah dan menulis puluhan artikel tentang sejarah Islam Indonesia, khususnya Jawa. Puluhan artikelnya tentang itu diterbitkan dengan judul Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur (LKiS, 2010). Yang menarik, sebagai seorang tradisionalis, dalam arti tumbuh besar dalam lingkungan pesantren tradisional, Gus Dur—dalam buku di atas–“mengingatkan” pembacanya, terutama Muslim di Nusantara, untuk tidak melakukan mistifikasi sejarah, suatu proses yang sering terjadi dalam perjalanan panjang suatu bangsa. Misalnya ungkapan seorang sejarawan bahwa bendera merah putih telah berkibar di lautan nusantara 6000 tahun yang lalu, atau mitos tentang beberapa raja Jawa yang melakukan “hubungan intim” dengan Nyi Ratu Kidul, satu malam sebelum raja-raja itu dilantik menjadi penguasa politik Jawa, dan mitos-mitos lain yang berlebihan tentang Majapahit dan Islam Jawa.

Menurut Gus Dur, tugas sejarawan adalah memisahkan fakta atau kenyataan sejarah dari unsur-unsur mitos dan legenda. Jika sejarawan gagal bersikap kritis dan tidak melakukan pemisahan itu, akibatnya akan fatal bagi satu penafsiran tentang sejarah. Di sisi lain, Gus Dur juga menyayangkan penghancuran bangunan fisik atau situs-situs bersejarah amat penting. Misalnya, keputusan untuk membumihanguskan Keraton Majapahit setelah pasukan Islam mengalahkan Prabu Brawijaya VI. Penghancurkan situs paling bersejarah oleh Kesultanan Demak itu, kata Gus Dur, adalah kerugian besar data sejarah tertulis, karena kompensasi yang muncul adalah “cerita tutur” atau “sejarah oral”, yang menurut Gus Dur, sangat diragukan kebenaran dan otentisitasnya.

Pandangan Gus Dur ini, bisa dibaca sebagai “kritik” terhadap sebagian Muslim Jawa yang gemar pada cerita-cerita tutur daripada data historis. Dan Ricklefs, sejak awal karirnya sebagai sejarawan non-Belanda, sudah tenggelam dengan catatan-catatan berbahasa Belanda dari VOC dan birokrat kolonial yang umumnya menggambarkan kehidupan Keraton. Di sisi lain, dalam ketekunan yang luar biasa, Ricklefs harus menyelam ke dalam sastra Jawa kuno: Babad, Serat, Carita, Suluk, Primbon, dan Wulang untuk memahami bagaimana orang Jawa “menggambarkan diri mereka sendiri”. Satu keahlian yang kini hanya dimiliki oleh segelintir filolog dan sejarawan, baik di dalam dan luar negeri.

Sebagai sejarawan Jawa dengan spesialisasi abad ke-18, Ricklefs sesungguhnya diuntungkan dengan catatan sastra Jawa di atas, baik yang ditulis oleh para pujangga istana seperti Yasadipura I yang menulis banyak karya sastra (Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci, Tasawuf Jawa Yasadipoura I, 2009) maupun yang ditulis oleh para elit kraton sendiri, seperti Sultan Hamengkubuwana II dan Ratu Pakubuwana yang menulis Babad dan Carita. Abad ke-18 sendiri memang dikenang sebagai masa keemasan sastra Jawa, yang oleh Pigeaud melalui karyanya Literature of Java (1967) disebut sebagai “Renaissance of classical literature of the Courts of Central Java”. Karya-karya Ricklefs ditulis dalam cahaya terang warisan masa keemasan itu.

Sintesis Mistik dan Kosmopolitanisme Islam

Ricklefs (2006) mengajukan satu teori tentang “sintesis mistik” dalam Islam Jawa sejak abad 14 hingga abad ke-19 Masehi. Melalui penelusuran manuskrip kuno, Ricklefs menunjukkan bahwa banyak raja dan elit Keraton Jawa mempraktikkan sintesis mistik: menjadi Muslim sekaligus masih mempercayai dan mempraktikkan budaya mistik Jawa. Ricklefs menggambarkan Sultan Agung (1593-1645) sebagai raja terbesar Jawa paska Majapahit, yang taat menjalankan syariat Islam tetapi tetap menjalin hubungan mistik dengan penguasa supranatural tertinggi Jawa, Nyi Ratu Kidul. Melalui tirakat-tirakatnya, Sultan Agung dipercayai mendapat ilmu-ilmu mistik rahasia Jawa-Islam.

Setelah Sultan Agung, Raden Mas Said Pangeran Adipati Mangkunagara I (1726-1795) yang memiliki julukan “Pangeran Samber Nyawa”, adalah salah satu Raja Jawa terkemuka juga adalah Muslim sintesis mistik. Peter Carey, melalui tiga volume Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2012) juga menggambarkan Pangeran Diponegoro  (1785-1855) sebagai ningrat keraton, putera Hamengkubuwono III, dan pemimpin politik Muslim Jawa yang mempraktikkan sintesis mistik.

Gus Dur, yang pernah dijuluki “satu cermin sejuta wajah”: tradisionalis, modernis, neo-modernis, post-tradisionalis atau apa pun namanya, rupanya juga seorang Muslim Jawa yang mempraktikkan sintesis mistik. Tidak hanya dikenang sebagai santri yang sering melakukan “tirakat” di makam-makam keramat para wali Jawa sejak remaja, bahkan pada Juni 1999, menjelang pemilihan Presiden, Gus Dur dan beberapa tokoh agama melakukan ritual ruwatan di Pantai Parangtritis Yogyakarta memohon kepada Tuhan keselamatan bangsa. Pada 2006, di alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta, Gus Dur kembali menggelar Ruwatan Bumi Nusantara dengan pagelaran wayang kulit dan berdoa agar Indonesia terbebas dari sial dan malapetaka.

Ricklefs mengidealisir sintesis mistik tidak semata deskripsi akademik tentang kekayaan kebudayaan dan keagamaan, tetapi juga “peta jalan” bagi orang-orang beragama di Indonesia, apa pun agama mereka, untuk terus mempertimbangkan kearifan budaya mereka dalam beragama. Gus Dur mengamini Ricklefs sepenuhnya.

Pertama, sebagai budayawan dan pemikir Islam cemerlang, Gus Dur memandang sintesis mistik bukan soal Nyi Ratu Kidul atau kepercayaan kepada roh-roh lokal nusantara, tetapi soal dialektika agama dan budaya. Bagi Gus Dur, dalam karyanya Islam Kosmopolitan (2007) dua entitas itu bukan perkara yang harus dikonfrontasikan. Agama dan budaya tidak boleh dibuat konflik. Mempraktikkan agama tidak harus memutuskan ikatan kebudayaan masa lalu sang pemeluk agama. Gus Dur mengajukan tesis “pribumisasi Islam”: bahwa Islam Jawa, Islam Sunda, Islam Bugis, atau Islam Melayu adalah kekuatan integratif dari agama dan budaya yang siap bergumul dengan tuntutan zaman dan perubahan sosial.

Kedua, integrasi Islam sebagai agama dan kebudayaan lokal, menurut Gus Dur, telah terbukti melahirkan masa keemasan “kosmopolitanisme Islam” di Baghdad dan Spanyol misalnya. Islam berinteraksi secara kreatif dengan Hellenisme dan sistem filosofis lainnya: India, Zoroaster, Yahudi, Yakobit, Nestorian dan lainnya, hingga melahirkan ilmu-ilmu besar dalam bidang teologi, filsafat, bahasa, sastra, dan hukum Islam. Gus Dur menantang kaum Muslim modern untuk tidak semata taklid kepada inovasi-inovasi Al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, Ibn Rusyd, Al-Asy’ari, Ibn Muqaffa, Ibn Khaldun, dan al-Ghazali, tetapi melakukan “pembaharuan penafsiran” atas temuan-temuan para ilmuwan tersebut untuk dikontekstualisasikan dengan kebutuhan dunia modern yang lebih rumit. Menurut Gus Dur, tugas ini jauh lebih berat dari apa yang telah ditemukan oleh para ilmuwan Muslim di atas. Dalam konteks ini, telah sejak lama Gus Dur meminta kepada para pengikut mazhab Syafi’i untuk bermazhab secara metodologis (madzhaban manhajiyyan), bukan semata secara pasif mengikuti sepenuhnya produk hukum Imam Syafi’i (madzhaban qawliyyan).

Akhir Hayat dan Kegelisahan

Gus Dur dan Ricklefs bertemu dalam narasi besar: kebudayaan dan keagamaan. Ricklefs memperjuangkannya melalui kajian akademik serius yang tebal-tebal. Gus Dur melalui ratusan artikel populer dan aktif dalam ormas dan partai politik. Di usia senja, mereka gelisah dengan model keagamaan eksklusif yang hendak “menggulung” kekayaan kebudayaan nusantara. Dalam Islamisasi Jawa (2012), Ricklefs seperti gundah ketika menulis bahwa Islamisasi Jawa yang semakin mendalam, dengan model Wahabi, telah sampai pada tahap yang signifikan dan pada titik point of no return. Setahun sebelum mangkat pada 2019, Ricklefs menerbitkan buku terakhirnya tentang Pangeran Samber Nyawa (Soul Catcher, 2018) yang ia gambarkan sebagai pangeran Jawa dengan contoh terbaik sintesis mistik. Raden Mas Said Mangkunagara I adalah pangeran yang “Islami” dengan tetap mempraktikkan banyak aspek budaya Jawa. Sang pangeran menjalankan syariat Islam dan senang menyalin Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa sembari pasukannya menari diiringi alunan gamelan.

Ricklefs seolah mengajak pembaca Muslim Indonesia untuk tidak melupakan “Islam Jawa”: berislam tapi tetap sebagai orang Jawa. Dalam kegelisahan yang sama, sekitar delapan bulan sebelum mangkat pada Desember 2009, melalui buku terakhirnya, Ilusi Negara Islam (April 2009), Gus Dur mengkritik kelompok keagamaan eksklusif yang berusaha keras menolak budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia. Sebagai gantinya, mereka mengkampanyekan budaya dan tradisi asing Timur Tengah. Dengan mengidentikkan diri mereka sebagai “Islam asli”, kata Gus Dur, maka siapa pun yang mengkritik mereka akan dianggap sebagai musuh Islam. Padahal bagi Gus Dur, mereka tak lebih sebagai para pengusung ideologi politik tertentu yang kerdil, yang bertentangan dengan semangat Islam itu sendiri dan—tentu saja–dengan keindonesiaan.

Warisan dua tokoh besar, Gus Dur dan Ricklefs, dalam mengkampanyekan kebudayaan dan keagamaan, menjadi tanggung jawab yang tidak mudah bagi generasi sesudah mereka.

 

Media Zainul Bahri, Gurubesar Pemikiran Islam, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta