Rasulullah SAW memiliki kepribadian yang luhur. Setiap ucapan dan perbuatan beliau selalu memancarkan kebaikan dan penuh kasih sayang. Setiap muslim dianjurkan untuk senantiasa mengikuti sunnah Rasul (ittiba’ as-sunnah) dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari hal-hal kecil seperti makan, minum, berpakaian, dan sebagainya.
Sebagai orang Arab, kebiasaan Rasulullah tentu dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi yang berlaku di daerahnya. Misalnya, kebiasaan memakan kurma, mengenakan gamis, mengendarai unta, dan semacamnya. Lalu, bagaimana dengan seorang muslim, yang tinggal di daerah lain dengan kebiasaan dan tradisi yang berbeda dengan kebiasaan di Arab, untuk dapat mengikuti sunnah Rasul?
Dalam acara Daurah Ilmiyyah yang diselenggarakan oleh Yayasan Al-Fachriyah, K.H. Bahauddin Nur Salim, mengutip penjelasan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitab Manhaj as-Salaf fi Fahmi an-Nusus, menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah melakukan kebiasaan sebagaimana yang beliau jumpai di sekitarnya. Penjelasan yang dikutip adalah:
وكانت سنة رسول الله أنه يطعم ما يجده في أرضه, ويلبس ما يجده, ويركب ما يجده مما أباحه الله تعالى
Kebiasaan (sunnah) Rasulullah adalah beliau makan, berpakaian, serta berkendara dengan apapun yang beliau jumpai di sekitarnya, yang berasal dari hal-hal yang tidak dilarang oleh Allah SWT.
“Lalu beliau (Sayyid al-Maliki) bercerita, ’Siapapun yang makan makanan yang ia jumpai di daerahnya, maka dia mengikuti sunnah Rasul’,” jelas kyai yang akrab disapa Gus Baha ini.
Itu artinya, seorang muslim tetap dikatakan mengikuti sunnah Rasul ketika melakukan kebiasaan baik yang berlaku di daerahnya, sekalipun berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di Arab.
Menurut ulama asal Rembang, Jawa Tengah ini, penjelasan tersebut penting untuk diketahui. Tujuannya adalah agar umat Islam yang tidak tinggal di Arab, khususnya di Indonesia, tidak perlu mengkhawatirkan pakaian yang dikenakan. Meski mengenakan kemeja, sarung, atau peci, mereka tetap bisa berniat untuk mengikuti sunnah Rasul. Sepanjang pakaian tersebut sesuai dengan ketentuan syari’at.
“Sehingga, jangan sampai umat Islam (di Indonesia) yang perilaku kesehariannya sudah baik, merasa tercerabut dari sunnah Rasulillah SAW,” lanjut beliau.
Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia, bukan dikhususkan untuk orang Arab. Sehingga, untuk hal-hal yang tidak menyangkut masalah akidah, umat Islam diberi kelonggaran untuk mengadopsi nilai-nilai yang ada di daerahnya. Sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama.
“Karena Islam ini Kaffatan linnas. Makanya, yang ahli Nahwu itu Imam Sibawaih, padahal beliau orang Persia. Imam Al-Ghazali juga bukan orang Arab, tapi ‘alim, Hujjatul Islam. Karena Allah ingin memaklumatkan bahwa agama ini (Islam) Kaffatan linnas, bukan hanya milik orang Arab saja,” tegas beliau.
Allah SWT menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dalam melakukan kebaikan. Oleh karena itu, kita yang hanya sebagai hamba seharusnya tidak mempersulit saudara kita yang ingin melakukan kebaikan. (AN)