Ketika Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Memberi Hadiah kepada Pembencinya

Ketika Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Memberi Hadiah kepada Pembencinya

Memaafkan kesalahan orang memanglah berat. Namun, bukan berarti hal itu tak bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan Sayyid Muhammad bin Alawi berikut ini

Ketika Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Memberi Hadiah kepada Pembencinya

Memaafkan adalah salah satu hal yang diajarkan Nabi Muhammad Saw, baik melalui sabda, maupun langsung dari apa yang beliau teladankan. Sudah banyak kisah heroik tentang bagaimana Nabi Saw memaafkan orang-orang yang memusuhinya.

Allah Swt berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran [3]: 134)

Ketika menafsirkan ayat ini, Prof. Qurasih Shihab menyebutkan tiga tingkatan seseorang dalam menghadapi kesalahan orang lain.

Pertama, mereka yang mampu menahan amarah. Orang demikian, sebenarnya masih marah dan jengkel kepada engan orang berbuat jahat kepadanya, namun ia bsia menahan dirinya untuk tidak berkata kotor dan melampiaskan kemarahannya dengan perbuatan.

Kedua, memaafkan. Tingkatan ini lebih baik daripada yang pertama di atas. Pada tingkatakn ini, seseorang benar-benar menghapus kesalahan orang lain dari dalam hatinnya. Ia menganggap tidak terjadi apa-apa antara ia dengan orang yang berbuat kejahatan kepadanya itu. Namun, tahapan ini masih tetap kurang karena bisa jadi ia juga merasa bahwa tak pernah terjalin silaturrahim antara keduanya.

Ketiga, mereka yang mampu berbuat baik. Tingkatan ini adalah tingkatan yag terbaik dibanding dua tingkatan sebelumnya. Orang yang pada tingkatan ini, tidak saja ia mampu menahan amarah dan memaafkan orang lain, namun ia mampu berbuat baik kepada mereka yang telah melakukan kejahatan terhadapnya.

Berbicara memaafkan, kisah Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah abad 21, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki (selanjutnya ditulis Sayyid Muhammad), Mekkah al-Mukarramah layak kita jadikan pegangan. Kisah ini diceritakan langsung oleh murid beliau yang saat itu menjadi saksi sejarah, KH. Soleh Muhammad Basalamah.

Ceritanya, suatu ketika, di Madinah, ada seorang yang membencinya. Sang pembenci melampiaskan kebenciannya dalam sebuah buku yang cukup tebal. Buku itu berisi cacian kepada Sayyid Muhammad. Buku itu lantas dibagikan gratis kepada masyarakat luas.

Hingga pada suatu ketika, buku itu dibaca oleh Sayyid Muhammad. Setelah mengetahui isi buku itu, ia langsung mengajak supirnya untuk mendatangi sang penulis buku. Dalam perjalanannya itu, ia membawa uang sebanyak setas.

Sesampainya di alamat yangt dituju, beliau memastikan apakah orang yang ditemui itu adalah benar-benar orang yang menulis buku cacian kepadanya itu. Setelah mendapat jawaban, Sayyid Muhammad memberikan uang setas yang ia bawa itu kepadanya dan langsung pamit untuk pulang.

Sang penulis pun penasaran dan menahan Sayyid Muhammad untuk tidak pulang. Sambil mengejarnya, sang penulis buku itu berkata, “saya yakin engkau pasti Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Sini, saya ingin duduk,”

Tidak. Cukup. Terima saja. Itu uang halal. Jangan khawatir,” jawab Sayyid Muhammad menolak ajakan itu.

Sang penulis meminta maaf dan berkata, “Saya yakin, engkau benar-benar kerutunan Rasulullah.”

***

Memaafkan kesalahan orang lain memanglah hal yang berat. Namun, bukan berarti hal itu tak bisa dilakukan. Sebagaimana dijelaskan di atas, dari ketiga tingkatan menghadapi kesalahan orang lain di atas, yang terkahirlah yang terbaik. Dan Sayyid Muhammd sudah mencapai tingaktan ini, yang oleh Al-Qur’an disebut tingkatan muhsinin (orang-orang yang berbuat baik).

Hari ini, 16 tahun yang lalu, Sayyid Muhammad kembali kepada Allah Swt untuk selama-lamanya. Jasadnya kini telah tiada, namun ajaran dan karya-karyanya tetap bisa kita jadikan pedoman untuk menghadapi setiap lini kehidupan ini. Teruntuk Sayyid Muhammad, lahul al-Fatihah…