Mata air merupakan kekayaan bumi milik seluruh umat manusia. Oleh karenanya, jika terdapat transaksi jual beli wilayah yang terdapat mata air lalu dieksploitasi oleh perusahaan air mineral untuk jualan, hukum transaksinya tidak sah menurut Gus Baha.
Dalam sebuah video pengajiannya, KH. Bahauddin Nursalim mengajukan pendapat tentang kepemilikan mata air. Menurut beliau, mata air dan rumput merupakan milik Allah, sehingga peruntukannya untuk kemaslahatan publik. Tidak bisa dimiliki sebagai properti pribadi.
Gus Baha memulai pengajiannya dengan sebuah maqalah: an-naasu musytarikuuna fi tsalaatsatin: fii al-maaa’, wa al-kalaa’, wa al-‘usybi. Manusia itu bersatu dalam tiga hal: air, rerumputan dan tumbuh-tumbuhan.
Kalau mengikuti maqalah ini, pada dasarnya bisa disimpulkan bahwa meskipun terdapat rumput di ladang orang lain, maka yang punya ladang itu tidak boleh melarang.
“Tapi saya tidak mengajarkan untuk mencuri, ya! Masak ulama menghalalkan mencuri..” Beliau menjelaskan.
Memang jika merujuk pada maqalah di atas, air dan rerumputan itu tidak bisa dimiliki secara pribadi. Lebih spesifik, yang dimaksud adalah ketika orang mengambilnya hanya sekadar kebutuhan, maka tidak boleh dilarang atas nama kepemilikan/penguasaan pribadi.
Begitu pula dengan air. Meski air itu keluar dari mata air atau sumur yang ada di tanah properti kita sendiri, ketika ada orang lain membutuhkan lalu mengambil air sekadarnya, hukumnya boleh. Tidak boleh sumur atau air itu dikuasai sendiri. Menurut Gus Baha, alasannya adalah bahwa kita tidak bisa menjamin air itu murni dari wilayah properti sendiri, karena di bawah tanah, aliran air bisa datang dari berkilometer dari tanah sekelilingnya.
“Kalau diambil hanya sekadar untuk minum, atau kebutuhan sehari-hari, anda (sebagai pemilik sumur) tidak berhak melarang. Lain halnya jika dipompa secara besar-besaran, kemudian dijadikan bisnis. Itu lain persoalan.”
Kyai kharismatik asal Rembang itu melanjutkan, “Anda punya tanah itu paling-paling 20 meter persegi. Kemudian anda gali, keluar air. Siapa yang bisa menjamin kalau air yang keluar dari situ asli hanya dari tanah anda? Mesti (aliran air itu) dari berkilo-kilo tanah di sekitar anda, terus gara-gara anda gali (keluar airnya), itu berarti anda mencuri secara halus.”
Makanya, Rasulullah SAW mengatakan, air itu milik publik. Anda boleh mengambil tapi bi qadri hajat (sesuai kebutuhan saja).
Lebih jauh lagi, Gus Baha menegaskan seandainya ada pabrik air mineral tertentu, lalu menguasai satu wilayah pegunungan, sementara yang menjual wilayah tersebut adalah bupati. Gus baha meyakini bai’ (transaksinya) itu tidak sah. Sekalipun banyak kiai yang menghalalkan praktik transaksi tersebut. Dengan pendapat seperti ini, Gus Baha bercerita pernah didebat oleh seorang pakar, karena tidak sesuai dengan prinsip kepemilikan/properti territorial. Sang pakar juga bersikeras meyakinkan Gus Baha jika perusahaan tetap membayar pajak sesuai aturan pemerintah.
“Tapi banyak kiai yang menghalalkan transaksi itu, bagaimana Gus?”
“Hukum Allah kok dilawan dengan hukumnya kiai.” Jawab Gus Baha.
“Tapi perusahaannya terus membayar pajak, Gus?”
Gus Baha lantas melanjutkan, “Nah,kalau begitu pajaknya jangan 2,5 persen. Kalau pajaknya 50 persen baru sah.”
Gus Baha mengingatkan, bahwa ketika Allah membahas rumput dan membahas air, Allah sama sekali tidak sedang main-main. Ekosistem kehidupan manusia itu sangat bergantung pada ketersediaan rumput dan air. Rumput jadi makanan sapi, sapinya jadi gemuk melahirkan susu, dan katanya susu membuat orang jadi cerdas. Susu yang bergizi, rupanya tidak bisa dilepaskan asal-usulnya dari ketersediaan rumput dan air.
Gus Baha menambahkan, rumput itu makhluk yang tidak mungkin sombong. Seandainya kita coba sirami rumput pakai susu, rumput tidak akan bisa subur. Rumput baru bisa subur setelah kita pupuk dengan kotoran sapi. Begitulah hukum Allah. Barang yang suci seperti rumput, suburnya bergantung pada kotoran sapi yang najis. Betapa kadang sunnatullah sulit sekali kita cerna dengan logika manusia.
“Makanya, manusia jangan dzalim. Itu siklus yang dikehendaki oleh Allah SWT.” ujar Gus Baha.