Dalam sebuah rekaman pengajiannya, Gus Baha menganjurkan kepada para hadirin untuk hormati istri dan anak-anak mereka. Pasalnya, orang Islam secara umum saja wajib dijaga harga diri dan kehormatannya, apalagi istri dan anak yang mana adalah keluarga sendiri.
Orang Islam haram untuk dibunuh itu karena dia melafalkan kalimat tauhid. Ketika seseorang itu Islam, maka hartanya haram dicuri, haram dibunuh jasadnya, serta haram pula dilecehkan harga dirinya. Maka menjunjung harga diri itu sangat penting dalam memperlakukan sesama muslim.
Bahkan, menurut Gus Baha, jangan sampai kita berbicara soal ilmu dengan bahasa yang terlalu ketinggian di hadapan orang bodoh. Apalagi sampai menyebabkan orang yang kita ajak bicara terlihat bodoh dan bengong karena bahasa kita yang ketinggian.
Maka dari itu, Gus Baha mencontohkan bahwa ulama yang alim ketika bergaul dengan seseorang pasti akan menempatkan dirinya dalam bahasa yang sangat luwes. Kalau perlu bergaya selayaknya orang awam.
Pasalnya, jika memaksakan bicara tentang ilmu di segala tempat, sama saja akan membuat suasana di mana orang itu tampak bodoh dan tidak tahu apa-apa. Oleh sebab itu, ulama yang berilmu tinggi biasanya suka melontarkan guyon jika bertemu dengan orang lain, supaya menciptakan situasi yang akrab, tidak berjarak, sekaligus tidak membuat lawan bicaranya merasa bodoh.
“Tidak boleh menciptakan suasana membuat orang lain tampak bodoh sementara membuat diri sendiri tampak pintar. Itu namanya pelecehan.” Terang Gus Baha. Itu semua berdasarkan anggapan bahwa orang yang kita hadapi sudah berikrar kalimat Tauhid.
Dalam menjunjung harga diri seseorang, termasuk juga dalam hubungan dengan anak istri. Gus Baha berpesan, jangan sampai karena alasan mereka “hanya” anak dan istri, lalu tidak dihormati. Jangan sampai.
Muslim lain yang notabene melafalkan kalimat tauhid kita hormati, tapi kenapa dengan anak sendiri justru kita tidak hormat? Bukankah anak adalah penerus kalimat Tauhid yang kita ajarkan?
Gus Baha mengajak kita untuk mengamati kembali apa yang tertera dalam al-Quran. Secara jelas al-Quran mengabadikan nama Ismail dalam kisah Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah. Padahal saat itu, Ismail masih kecil dan belum tahu tujuan membangun Ka’bah. Sebab Nabi Ibrahim merupakan manusia yang meyakini anak sebagai penerus kalimat Tauhid.
Al-Quran jelas mengabadikan nama Ismail yang masih kecil dalam surat al-Baqarah ayat 127:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
“Ini musibah! Ketika kita menghormati orang lain yang Islam dan saleh, sementara kita tidak hormat dengan anak dan istri hanya karena alasan mereka posisinya ada di bawah.” Tegas Gus Baha.
Mengapa hormati istri itu penting? Karena dia “berstatus ganda”, dalam artian dia yang memberi jalan bagi suaminya ke surga, dia juga yang menemani suaminya tidur, dan dia sebagai sosok yang menghindarkan suaminya dari zina. Seorang istri sudah melafalkan kalimat Tauhid laa ilaaha illallah, plus fungsinya dalam kehidupan seorang suami ada banyak. Kok bisa sampai tidak dihormati hanya karena nasib dan kodratnya sebagai perempuan?
“Sudah lah, makanya dari sekarang dilatih. Tidak usah macam-macam. Istrimu itu orang yang baca kalimat tauhid. Anakmu juga yang kelak akan meneruskan kalimat Tauhid. Itu yang saya pahami dari Qur’an.” Pungkas Gus Baha.