“Islam Kaffah” dan “Islam Biasa Saja”

“Islam Kaffah” dan “Islam Biasa Saja”

“Islam Kaffah” dan “Islam Biasa Saja”
islam perkotaan dan islam pedesaan

Aktivitas hijrah yang kian hari makin semarak merupakan fenomena yang menarik perhatian para tokoh agama ormas Islam. Sebab fenomena ini hampir tidak pernah ditemukan pada masa Orde Baru atau Orde Lama. Dapat dikatakan fenomena ini baru terjadi pada masa reformasi, itu pun pada sepuluh tahun terakhir (kurang-lebih).

Aktivitas ini merupakan upaya para pendakwah Islam untuk mengajak masyarakat muslim agar merubah prilakunya sesuai dengan ajaran Islam, berusaha memberikan kesadaran bahwa prilaku mereka selama ini sering bertentangan dan jauh dari aturan syari’at. Seperti kualitas ibadah, model berpakaian, gaya hidup, etika moral, dan lain sebagainya. Oleh karenanya aktivitas ini dinamai hijrah; berpindah dari perbuatan yang jauh dari syari’at Islam ke arah yang lebih dekat, beralih dari prilaku buruk menuju ke yang lebih baik.

Pada umumnya, masyarakat muslim yang dijadikan objek untuk mengikuti aktivitas ini ialah mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan, yang rutinitas hidupnya cenderung materialis – hedonis. Dan memang, jika diperhatikan, gaya hidup dan aktifitas sehari-hari mereka yang tampak jauh dari syariat membuat para pendakwah merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk mengajak dan menyadarkan mereka. Ajakan ini merupakan cara untuk mengingatkan akan identitas mereka sebagai seorang muslim, yang sudah seyogyanya mentaati aturan agamanya.

Lebih dari itu, bagi para penyeru hijrah ini, tidak hanya aturan utama dari ajaran agama saja yang mesti dilakukan, tapi juga aturan lain yang bersifat anjuran juga layak dilakukan. Karena pada dasarnya, umat Islam dalam beragama ‘harus mengikuti’ apa yang dilakukan Nabi, meskipun sifatnya sebatas anjuran (sunnah).

Maka dari itu, demi mewujudkan Islam Kaffah (ber-Islam dengan totalitas) bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti model berpakaian, penampilan anggota badan, hingga berlanjut ke seperti membiasakan shalat sunnah, puasa sunnah, menyegerakan shalat jamaah, dan lain sebagainya.

Hal ini merupakan langkah awal strategi para penyeru hijrah untuk menarik minat jamaahnya agar mau beragama dengan totalitas. Dengan pembinaan yang cukup intens berupa pengajian yang sudah dijadwalkan merupakan cara mereka merangkul jamaahnya, sehingga jamaahnya merasa selalu dibimbing dan mendapatkan solusi atas setiap persoalan agama yang dihadapi. Intensitas ini menjadi perekat hubungan mereka sehingga terbentuklah militansi yang cukup kuat.

Maka selanjutnya akan didapati perubahan penampilan dan rutinitas para jamaah tersebut. Jika sebelumnya terbiasa menggunakan pakaian terbuka, misalnya, setelah sering mengikuti pengajian tersebut berubah dengan pakaian tertutup.

Untuk laki-laki mulai membiasakan diri menggunakan pakaian jubah atau koko dengan celana yang panjangnya sampai sebelum mata kaki. Atau biasa dikenal dengan celana cingkrang. Sedangkan bagi perempuan menggunakan kerudung lebar, yang oleh mereka diklaim sebagai ‘hijab syar’i’. Bahkan sebagian ada yang menggunakan cadar, sarung tangan dan kaos kaki juga, walaupun hal ini belum tentu dipraktekkan oleh semua orang kota.

Begitu juga ibadah mereka sudah mulai ditingkatkan, entah yang wajib maupun yang sunnah, entah yang mahdlah maupun yang ghairu mahdlah. Meski masih bertahap, setidaknya antusias mereka terhadap ibadah sudah terbangun. Orientasi mereka terhadap akhirat sudah mulai terbentuk.

Pelan tapi pasti, ekspresi keagamaan mereka mulai berubah dan berbeda dengan komunitas mereka pada umumnya. Demikian pula hubungan mereka dengan komunitas baru yang diprakarsai oleh para penyeru hijrah semakin solid.

Fenomena hijrah yang terjadi ini akan susah (jika bukan mustahil) ditemukan di pedesaan. Bagi masyarakat muslim desa, beragama tidak bisa disimbolkan dengan penampilan luar seperti panjangnya jenggot, style pakaian, rajin tidaknya mengerjakan ajaran agama yang bersifat anjuran.

Yang lebih penting dan diperhatikan dalam beragama adalah kemantapan hati akan keyakinan bahwa Allah itu Esa dan Maha segala-galanya, konsistensi dalam mentaati ajaran agama, serta kehati-hatian akan hal-hal yang belum jelas duduk perkaranya (mutasyabihat).

Oleh karena itu, model pakaian masyarakat muslim yang tinggal di desa biasa-biasa aja, mereka menggunakan pakaian sebagaimana pakaian orang Indonesia pada umumnya. Bagi yang laki-laki, celananya bisa sampai menutup mata kaki.

Sedangkan yang perempuan, menggunakan krudung yang tidak terlalu lebar, asal sudah menutupi rambut dan dadanya. Bahkan ada juga sebagian ibu-ibu yang sekedar menutup kepala, tapi lehernya tetap kelihatan. Apalagi cadar, sarung tangan dan kaos kaki, hampir tidak ditemukan sama sekali perempuan pengguna jenis pakaian tersebut.

Termasuk dalam beribadah, mereka tampak tidak begitu rajin-rajin amat. Dalam artian, ibadah yang dilakukan kebanyakan hanya yang wajib-wajib saja. Sedangkan yang sunnah masih minim yang mengerjakannya. Kecuali berkaitan ibadah sosial baru lah mereka sangat guyub dan kompak, seperti sedekah, tolong-menolong, menjenguk tetangga yang terkena musibah, dan lain sebagainya.

Menurut mereka, justru esensi ibadah mahdlah seperti shalat dan puasa adalah pengejawantahan berupa berprilaku baik terhadap sesama. Ibadah sosial menjadi simbol akan kualitas ibadah mahdlah yang dilakukan.

Uniknya, oleh para tokoh agama di desa, yang biasa disebut kiai, model berpakaian dan kuantitas ibadah yang dilakukan masyarakat muslim di desa itu tidak mendapatkan teguran keras. Para kiai terkesan membiarkan kebiasaan tersebut.

Tentu hal ini dilatari beberapa faktor, di antaranya; bisa jadi, bagi para kiai, beragama cukup sekedarnya saja, asal sudah sesuai dengan aturan dasar agama. Jika konteksnya pakaian, yang penting sudah menutupi aurat. Itu sudah dianggap cukup bagi mereka. Untuk masalah ibadah, asal yang wajib sudah dikerjakan itu sudah bagus. Yang sunnah biarkan bagi yang berminat saja.

Memang, jika mencermati konten ceramah atau pengajian kiai-kiai di desa, secara umum jarang menyinggung hal-hal yang berkaitan aturan normatif agama. Karena hal itu, menurut mereka, sudah diajarkan sejak kecil, sejak sebelum tamyiz, baik oleh orang tuanya sendiri maupun kiai di tempat pengajian seperti musala atau langgar. Penggemblengan sejak dini merupakan cara masyarakat muslim desa untuk membiasakan menjaga dan mentaati ajaran agama.

Maka dari itu, dalam pengajian yang digelar di desa-desa, yang diisi oleh orang-orang dewasa, kontennya cenderung membahas inti kehidupan dunia –seraya membandingkan dengan kehidupan akhirat, hakikat orientasi ibadah, macam-macam penyakit hati, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, wajar kiranya jika kehidupan orang desa amat sederhana, rasa tawakkal mereka sangat tinggi, kepercayaan mereka terhadap Tuhannya begitu totalitas, tidak uring-uringan ketika tertimpa musibah, dan senantiasa bersyukur atas setiap nikmat yang dianugerahkan.

Wallahu a’lam.