Di waktu kecil, saya masih ingat, pernah mendapati keterangan dari guru agama di sekolah ataupun di mushola yang menjelaskan bahwa barang siapa yang marah dan berbohong di waktu puasa, puasanya akan batal.
Sejak SD kelas dua, saya sudah mulai ikut berpuasa sebagaimana orang dewasa lainnya (tahun sebelumnya hanya puasa setengah hari). Saya selalu berfikir terlebih dahulu jika mau marah ketika siang hari selama Ramadhan. Kebetulan, teman sepermainan yang usianya di atas saya suka menggoda, mengejek, mentowel-towel, sering memanggil saya dengan sebutan nama orang tua. Waktu itu, siapa yang tidak emosi jika nama orang tuanya dipanggil dengan sebutan tidak sopan dan ejekan. Saya selalu berfikir, jika saya marah, maka puasa yang saya kerjakan seharian akan batal. Rugi dong.
Setelah beranjak dewasa, sekitar usia SMA, saya baru benar-benar sadar kalau ternyata marah dan berbohong tidak membatalkan puasa. Waktu SMP saya masih ragu antara mempercayai apa yang dikatakan guru agama sewaktu SD. Tetapi, sejak SMA, saya yakin kalau marah dan berbohong hanya akan merusak pahala puasa, tidak akan sampai membatalkannya.
Entah bagaimana awal ceritanya ajaran agama yang seharusnya disandarkan pada dalil kitab suci dan tafsir ulama-ulama menjadi berdiri kokoh di atas rumor-rumor dan khasanah norma sosial yang tidak terpecahkan tujuan penyebarannya. Saat ini saya beranjak dewasa, sudah memasuki Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Di dunia perkuliahan, saya punya banyak teman—yang kalau dalam bahasa Gus Mus—Ia punya otoritas untuk menjawab pertanyaan kegelisahan seputar peribadatan, hal ihwal tentang agama.
Sampai menjelang mau mengakhiri masa-masa menjadi mahasiswa, saya baru sadar kalau ternyata saya diajarkan substansi puasa sejak kecil. Sekarang saya kembali mempercayai apa yang dikatakan oleh Guru Agama saya sewaktu SD, kalau marah dan berbohong itu membatalkan puasa.
Dalam rukun Islam, puasa menduduki derajat ketiga setelah syahadat dan shalat. Puasa bagi orang seperti saya tentu untuk melatih syahwat, terutama syahwat perut dan kemaluan. Dua syahwat ini yang menurut Imam Ghazali berpotensi membuat manusia mudah menyimpang. Puasa adalah sarana melatih jiwa untuk bersabar. Termasuk tidak mudah marah dan berbohong.
Percuma jika kita tadarus al-Qur’an sehari semalam tetapi masih suka marah dan berbohong. Perilaku marah zaman sekarang itu seperti menulis status provokatif yang memancing perseteruan, dan berbohongnya dengan cara membantu menyebarkan berita hoax dan fitnah.
Memang kita tidak ikut aksi bom bunuh diri, tapi bom kebencian dan permusuhan yang kita tanam di sosial media bukankah akan meledak sewaktu-waktu? Bisakah puasa melatih kita bersabar untuk tidak menulis sesuatu yang mengundang kekeruhan di tengah kejernihan Ramadhan?
Puasa tidak hanya bersifat badani, menjaga perut dan menjaga kemaluan. Namun ada puasa bathini, yakni menjaga hati, menjaga pikiran, menjaga lisan, dengan cara tidak mudah melakukan ujaran kebencian, memancing marah, dan berkata bohong. Jika hal ihwal itu masih kita lakukan, sebagaimana penjelasan Guru saya sewaktu SD: Puasanya batal!
Nabi bersabda, banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga. Wallahhu a’lam.
Ahmad Muqsith, Penulis adalah aktif di PMII Kota Semarang