“Bahaya terbesar bukanlah tidak berbuat apa-apa. Bahaya terbesar adalah ketika para politisi dan CEO membuat seolah-olah mereka berbuat sesuatu – padahal faktanya hampir tidak ada aksi apapun, cuma pekerjaan kreatif akuntan dan Humas (PR).”
Greta Thunberg kembali jadi pembicaraan dunia. Anak muda berusia 16 tahun ini menyerang UN Climate Summit dengan pidatonya, menembak para pemangku kebijakan dan korporasi hanya membual lewat permainan humas dan tidak memberi aksi nyata untuk perubahan iklim. Lebih lanjut, Greta menyindir pembicaraan pemimpin dunia selama 25 tahun – bahkan sebelum dia lahir – ini tidak menghasilkan apa-apa.
Greta menjadi sensasi internasional setelah aksinya seorang diri membolos sekolah untuk merespon perubahan iklim (Skolstrejk för klimatet). Aksinya tanpa diduga mampu menginspirasi jutaan anak muda lain dan mencapai puncaknya pada aksi global perubahan iklim pada September 2019. Aksi ini tercatat sebagai aksi perubahan iklim terbesar sepanjang sejarah manusia, dengan melibatkan total sekitar 4 juta demonstran yang tersebar di berbagai negara. Tidak heran, nama Greta lantas dinobatkan menjadi Person of The Year tahun 2019 versi majalah TIME.
.@GretaThunberg: “I’d like to tell my grandchildren that we did everything we could. And we did it for them—for the generations to come” #TIMEPOY https://t.co/NU4LwOzoSv pic.twitter.com/YHjVjIge2z
— TIME (@TIME) December 15, 2019
Perubahan iklim dan isu lingkungan sudah menjadi ancaman di depan mata. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia tercatat memproduksi sampah hingga 65 juta ton pada 2016, dan meningkat menjadi 67 ton pada 2017.
Sementara itu, data Pusat Oceanografi LIPI menunjukkan, sekitar 35,15% terumbu karang di Indonesia dalam kondisi tidak baik dan hanya 6,39% dalam kondisi yang sangat baik. Belum lagi dengan isu pengalih fungsi hutan oleh korporasi untuk tambang atau perkebunan yang terjadi di mana-mana. Kita masih ingat pula sungai Citarum yang sempat mengemuka di media internasional, setelah warnanya berubah pekat akibat limbah pabrik tekstil.
Kiai Sahal Mahfudz dalam bukunya Nuansa Fiqih Sosial, sudah menyatakan bahwa Islam membawa misi untuk membawa manusia kepada sa’adatud-darain, atau kebahagiaan di dua ‘taman’, yakni taman dunia dan akherat. Dalam mencapai kebahagiaan itu, Kiai Sahal bahkan mendefinisikan istilah shalih sebagai kemampuan mewarisi bumi untuk mengelola, menyeimbangkan dan melestarikan tanpa menyulitkan generasi berikut.
Masih menurut Kiai Sahal, Islam mengenal adanya prioritas dalam kehidupan manusia, yaitu yang bersifat dharuri (primer) atau hajji (mendasar). Baru setelahnya datang kebutuhan yang sekunder. Dalam merumuskan kebutuhan primer ini, Kiai Sahal menekankan, semuanya harus diarahkan pada kepentingan hidup, kepentingan bersama. Kebutuhan yang bersifat primer tadi tidak perlu dibagi-bagi menurut kepentingan ukhrawi, moral, atau akhlak, dan sebagainya, sebab ia adalah kepentingan manusia secara universal.
Bukan berarti kepentingan ukhrawi tidak penting, kepentingan ukhrawi tetap menjadi tujuan utama bagi seorang Muslim dalam mencapai sa’adatud-darain. Akan tetapi, perlu adanya satu pemahaman bahwa kepentingan ukhrawi kita akan lebih mudah dicapai jika kebutuhan primer kita terpenuhi.
Nahdlatul Ulama, melalui Muktamar Cipasung 1994, sudah menyerukan keharaman merusak lingkungan, dengan menyandarkan pada argumen Al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an:
Dalam firman Allah Swt.: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah Swt.) memperbaikinya …” (QS. Al-A’raf: 56). Di dalamnya terdapat satu permasalahan, yaitu bahwa Allah Swt. telah melarang semua tindakan pengrusakan, sedikit ataupun banyak setelah perbaikan, sedikit atau banyak. Menurut pendapat yang sahih, larangan itu berlaku secara umum. Sementara menurut al-Dhahhak artinya yaitu: “Janganlah kalian mencemari air tertentu, dan janganlah memotong pohon yang berbuah.”
Belum lama ini, Yenny Wahid menyeru di forum yang sama dengan Greta Thunberg. Yenny mempertanyakan otoritas agama dalam merespon perubahan iklim: “Mengapa konsep tentang surga dan neraka yang abstrak, mampu memotivasi orang untuk mengikuti cara hidup tertentu? Di sisi lain, kita memiliki pengetahuan dan data faktual tentang perubahan iklim, namun tidak mampu menggerakkan orang untuk memasukkan upaya pencegahan dalam prioritas mereka.”
Energi agama yang begitu besar dalam kehidupan manusia bisa mendorong umatnya untuk melakukan satu pola aktivitas tertentu. Tentu sangat disayangkan jika energi ini hanya berkutat pada persoalan syariatisasi produk dan memperebutkan surga, secara bersamaan mengabaikan kepentingan hajat hidup manusia.
Satu pijakan penting dalam “syariatisasi” adalah bagaimana supaya produk syariah yang dilakukan manusia berada dalam koridor yang didasarkan pada tujuan-tujuan utama adanya syariah (maqasid syariah). Berkutat pada polemik berebut surga akhirnya sama juga mengerdilkan esensi syariah itu sendiri.
Di sisi lain perlu diakui, perdamaian yang kita pahami saat ini hanya berhenti pada konsep negatif “tidak adanya konflik”. Perdamaian belum dimaknai sebagai sebuah inisiatif bersama secara masif untuk membuat bumi menjadi tempat yang layak ditinggali bersama.
Mulai dari generasi Kiai Sahal, Yenny Wahid, sampai anak muda seusia Greta Thunberg, persoalan lingkungan sudah banyak dibicarakan dan masih menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menjadikannya aksi nyata. Artinya, persoalan ini sudah menjadi kegelisahan lintas generasi. Prioritas syariah yang terrumuskan dalam hifdzun-nasl (menjaga kelangsungan generasi) menjadi makin faktual.
Selanjutnya pertanyaan kembali ke diri kita sendiri: apakah kita sudah menjadi orang shalih – yang layak dipercaya mengelola bumi, atau hanya menjadi Muslim yang berbuat kerusakan di bumi? Bagaimana kah dosa generasi ini kita tanggung jika tidak mampu melaksanakan amanah melestarikan lingkungan untuk generasi berikut?
Wallahu a’lam.