Beberapa tempo lalu, seorang wartawan melempar pertanyaan lewat pesan whatsapp. Banyak dari gerakan Islam eksklusif berkembang di institusi pendidikan, seperti Perguruan Tinggi Negeri. Mengapa PTN menjadi target mereka, dalam hal ini gerakan tarbiyah, untuk mengembangkan ideologi mereka?
Menjawab ini, saya berusaha hati-hati dan memahami beberapa kata kunci. Setidaknya ada dua kata kunci, tapi saya akan fokus pada satu saja: “gerakan tarbiyah”. Jika membaca beberapa literatur studi gerakan keislaman, enteng-entenganya gerakan tarbiyah ini adalah gerakan yang pada akhirnya berkaitan dengan Partai Keadilan Sejahtera. Itu bukan kata saya. Itu misalnya disebut Yon Machmudi, orang Jombang yang menulis buku Islamising Indonesia: the Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (2008). Lainnya, ada juga. Jadi kalau saya dituntut, itu salah alamat. Tuntutlah pada orang-orang yang menyebut pertama kali. Ini cara mengelak yang saya kira cukup strategis.
Setahu saya pada umumnya kelompok tarbiyah adalah kelompok yang pada mulanya berasal dari latar belakang yang tidak tumbuh dalam tradisi agama yang kuat dan berasal dari menengah atas. Mereka kebanyakan memilih kampus-kampus umum ketimbang agama. Tentu saja kita tak bisa mengabaikan sebagian kecil dari mereka berasal dari keluarga NU atau organisasi lainnya. Tapi ini bukan fenomena umum.
Sebagai sebuah gerakan baru, gerakan ini tidak sama dengan NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini bukan organisasi ekpansionis. Keduanya justru lebih banyak berhasrat bagaimana mengelola dan melayani anggotanya. Pekerjaan ini tidak mudah dan membuat mereka sudah sibuk hingga hari ini. Sedang tarbiyah sebaliknya, mereka perlu melakukan perluasan kader. NU dan Muhammadiyah sudah “sibuk” dengan lembaga pendidikan masing-masing seperti pesantren, madrasah, rumah sakit, kampus-kampus mereka.
Sementara sekolah-sekolah negeri dan kampus-kampus menjadi “wilayah tak bertuan” yang kemudian mulai digarap kelompok-kelompok baru seperti tarbiyah sejak era 80-an. Misalanya melalui Rohis. Jadi kepada teman yang tampak pesimis dengan kekalahan kelompok moderat, saya mengatakan jika kita sebetulnya tidak kalah, sebab kita memang tak pernah berkompetisi. Prinsipnya sederhana saja, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh dia peroleh. Itulah yang kemudian dipetik gerakan tarbiyah ini setelah reformasi dan hingga sekarang ini, meski sekarang cukup mengalami perlawanan agak sengit setidaknya dari NU.
Tapi, kepada wartawan ini saya juga bilang ada faktor lain pula yang juga tidak semata-mata dipengaruhi kemampuan ekspansionis mereka. Kadang-kadang struktur kampus atau birokrasi memberi dukungan gairah keislaman semacam itu semata-mata karena keislamannya. Pimpinan yang dari kalangan Islam berpikir sebagai umat Islam harus saling memperkuat. Belakangan, situasi ini berubah.
Memang saya mendapat kesan, ada harapan yang besar pada NU dan Muhammadiyah untuk berkiprah memperkuat paham moderat mereka di kalangan menengah kota yang tidak merasa terafiliasi dengan mereka. Tapi bagi saya itu tidak mudah. Dua organisasi ini harus mampu menjawab dahaga keagamaan berikut dengan gaya hidup mereka. Di sini tantangannya.
Menariknya, menurut Survei Wahid Foundation 2017, dibanding mereka yang merasa terafiliasi dengan ormas keagamaaan, mereka yang mengaku tidak terafiliasi jumlahnya mayoritas 46 % setara 75 juta orang jika diproyeksikan kepada 164 juta pemilih muslim Indonesia. Jumlah ini kemungkinan termasuk kelompok tarbiyah, salafi, abangan, atau yang tak peduli pada agama. Sementara yang mengaku terafiliasi NU sebanyak 41 % setara 67 juta orang. Sisanya tersebar ke organisasi lain seperti Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Boleh dibilang terlalu berlebihan juga jika megharapkan hanya pada NU dan Muhammadiyah. Jawaban ini kelak harus dipikirkan bersama.