Genitnya Dubes Saudi dan Gerakan 212 Yang Sektarian
Cuitan Duta Besar Saudi yang menyokong aksi 212 di Monas berbuntut panjang. Cuitannya kembali menyinggung persoalan pembakaran bendera di Limbangan lalu. Meski tidak menyebut secara eksplisit, namun cuitannya yang menyatakan bahwa pembakaran itu dilakukan “organisasi menyimpang” membuat marah banyak pihak. PBNU bereaksi keras dengan mengirimkan protes ke pihak Kedubes Saudi ini.
Peristiwa Limbangan sudah lewat dan demikian pula Peristiwa Poso dan Samarinda. Namun, sebagai momen yang ikonik, dua peristiwa ini patut kita ulas dan perdalam. Bagi pendukung dan simpatisan Gerakan 212, acara Reuni mereka yang baru lalu dianggap sebagai katarsis terhadap Peristiwa Limbangan. Menarik dicatat bahwa dalam konteks ini Duta Besar Arab Saudi ternyata sangat berminat terhadap politik praktis di Indonesia. Dia tak mampu menahan hasratnya untuk turut berpolitik di negara di mana semestinya dia menjaga etika diplomatik.
Keterlibatan Osamah al-Utaibi dimulai persis setelah heboh penempelan bendera Tauhid di kediaman Rizieq di Arab Saudi. Merasa gerah karena Dubes Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel yang menyatakan bahwa bendera hitam itu dilarang di Saudi, Osamah saat berada di Gedung Muhammadiyah memberikan pernyataan yang menyayangkan adanya pembakaran bendera HTI ini.
Yang sangat menarik perhatian, ketika beberapa kali jurnalis bertanya tentang bendera yang sama apakah dilarang di Saudi dia bergeming. Sama sekali tak mau menjawab pertanyaan ini. Bahkan menurutnya adanya bendera tersebut tidak mesti menjadikan Habib Rizieq bersalah. Ini tentu menarik, sebab tampaknya sang Dubes sudah mengambil posisi sebagai “pengacara” yang membela Rizieq. Dan, fakta bahwa bendera hitam berlafaz Tauhid senyatanya dilarang di Arab Saudi berusaha disingkirkan dengan tidak membicarakannya sama sekali.
Siapa pun tentu tahu bahwa bendera Arab Saudi memuat lafaz Tauhid juga dengan latar belakang warna hijau disertai pedang di bawahnya. Sebuah gambaran semiotis bahwa negara Wahabi ini bersifat maskulin dan macho. Tak perlu ditambahkan bahwa tari pedang yang merupakan tarian nasional Saudi lebih jauh menegaskan tentang kemaskulinan ini. Patut dipertanyakan, mengapa Saudi mengambil warna hijau sebagai warna benderanya, mengapa tidak hitam juga sekalian?
Reuni 212 edisi 2018 menampilkan permainan warna bendera yang baru. Bila sebelumnya hanya warna hitam-putih yang dominan mengkeliri warna panji-panji Tauhid yang dikibarkan, maka sekarang beraneka warna. Meski demikian, tetap saja warna hitam yang dominan. Ini terlihat dari kenampakan udara saat mereka mengibarkan secara horizontal benderanya yang terbesar.
Peristiwa Limbangan bagi Gerakan 212 dijadikan trigger untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa. Namun, yang terpenting, saat menyebut Limbangan, maka ia tak bisa dilepaskan dengan Peristiwa Poso-Samarinda. Dua peristiwa ini sangat berkait dan berkelindan.
Sekedar mengingatkan, Peristiwa Poso-Samarinda yang dimaksud adalah Penurunan Bendera Merah-Putih dan Pengibaran Bendera Hitam-Putih berlafaz tahlil. Sang Dwi Warna diganti denga Duo Warna.
Bagi sejumlah pihak, penurunan bendera dan penaikan bendera kontroversial itu dianggap hal wajar sebagai pelampiasan kemarahan kalangan 212. Namun, peristiwa ikonik ini sebenarnya merupakan manifestasi logis dari upaya kalangan yang memperjuangkan digantinya ideologi dan bentuk negara RI menjadi khilafah atau minimal yang berbendera hitam dan putih. Mengapa disebut manifestasi logis, sebab ini adalah cita-cita atau ideal dari kelompok yang memperjuangkan NKRI Bersyariah atau Negara Khilafah Republik Indonesia.
Kembali ke ihwal Dubes Saudi yang agak genit dan sedikit gatal untuk berpolitik di Indonesia. Pertemuan akrabnya dengan beberapa petinggi partai politik nasional seperti yang tersebar di sejumlah media sosial, beberapa mungkin menganggapnya wajar. Namun, melihat bahwa ada kepentingan yang terselubung di balik pertemuan tersebut juga sama wajarnya.
Posisi Indonesia yang lumayan berpengaruh baik di dunia global maupun dunia Islam, tentu tak bisa dipandang sebelah mata oleh Saudi. Sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pun gerbang untuk menghegemoni Asia Tenggara, maka Indonesia sangat berarti bagi Saudi. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, bukanlah perhatian Saudi.
Bagi Saudi persoalan utama adalah kelangsungan hegemoninya. Menariknya, sangat mungkin, pandangan subyektif dari Osamah, sang Dubes Saudi era kiwari, merasa bahwa visi politiknya memiliki afinitas dengan Gerakan 212.
Gerakan 212 sejatinya memiliki cacat parah dalam salah satu praksisnya saat melakukan penolakan menshalatkan sesama muslim.
Memang, hal ini terjadi saat heboh pengadilan penistaan agama terhadap Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Namun, persis Peristiwa Poso-Samarinda, momen takfir jenazah muslim ini tidak bisa dianggap terlepas dari semesta wacana Gerakan 212. Artinya hampir setiap muslim berada dalam todongan takfir oleh Gerakan 212 apabila tidak mengikuti isu yang mereka mainkan. Persoalan bahwa ada friksi dalam Gerakan 212 tidak menutupi fakta praksis yang telah dimainkan gerakan ini.
Mungkin terlalu kasar untuk mengucapkan dua peristiwa ikonik Gerakan 212 di atas (peristiwa Poso-Samarinda dan takfir jenazah muslim) merupakan pertanda dari fanatisme hipokrit, namun fakta bahwa ini merupakan gejala dari sektarianismenya boleh jadi sukar dibantah.
Arkian, arus sektarianisme inilah yang kini makin menggejala terkait dengan prosesi Pilpres 2019 ke depan. Karenanya, saat sekarang terasa urgen mendiskusikan tentang sektarianisme yang bakal mengoyak-koyakkan negeri ini ketimbang hanya persoalan Pilpres yang berulang per lima tahunan. [ ]