Pada abad ke-18, Aufklarung (Abad Pencerahan) menandai dua periode penting peradaban bangsa Eropa; pertama, kebangkitan kebebasan berpikir dan rasionalitas; kedua, kematian institusi agama dan spiritualitas. Bersama dengan lahirnya sekulerisme, agama semakin tersisih, terpinggirkan, dan terlupakan. Terutama bagi bangsa Eropa, agama diletakkan sangat jauh dari ruang publik. Agama menjadi terasing kemudian menghilang.
Namun, di pertengahan abad ke-20, para sosiolog mulai mengkritisi fenomena kematian agama pasca Abad Pencerahan itu. Peter L. Berger, seorang sosiolog, dalam bukunya tahun 1999, mengatakan bahwa di abad modern ini, agama menemukan kembali relevansinya. Agama tidak benar-benar mati namun berubah bentuk dalam wujud-wujud yang lain.
Kebangkitan agama ini, menurut Berger, justru didorong oleh dua faktor yang sama yang sebelumnya menjadi dasar teori sekulerisasi, yaitu demokratisasi politik dan kemajuan teknologi informasi. Di banyak tempat, demokrasi bukannya mengeliminasi politik agama, tetapi justru sebaliknya membuka ruang bagi munculnya gerakan politik berbasis agama, seperti kebangkitan nasionalisme Hindu di India, kemenangan politik Islam di Turki, dan menguatnya kekuatan Kristen sayap kanan di Amerika Serikat.
Itulah bedanya. Agama yang dahulu merupakan domain privat, kini muncul kembali dengan lebih terbuka terhadap praktik politik praktis. Teori ini menarik digunakan untuk melihat geliat partai politik Turki saat ini, terutama menjelang Pemilihan Presiden 2023.
Sejak kursi kekuasaan diduduki oleh Recep Tayyip Erdogan, Turki terlihat semakin Islami. Ia mencabut peraturan larangan jilbab di Turki tahun 2013. Ia juga sedang merencanakan referendum untuk memastikan jilbab boleh digunakan dalam lembaga sipil, sekolah, dan universitas. Hal itu wajar karena partai milik Erdogan merupakan partai berbasis Islam yang mengusung nilai-nilai islamisasi Turki.
Namun, per tahun ini, partai sekuler Turki, Partai Rakyat Republik, atau Cumhuriyet Halk Partisi (CHP), ikut-ikutan mempromosikan aturan mendukung jilbab ini. Partai yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk tersebut menjadi oposisi pemerintahan sejak tahun 1995 karena kalah dari bersaing dengan partai-partai baru, terutama Partai Pembangunan dan Keadilan, atau Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP), partai yang didirikan oleh Erdogan.
Sejak AKP berkuasa, agenda Islam di Turki semakin masif. Aturan pelarangan jilbab dicabut, kegiatan-kegiatan Islam diaktifkan, dan simbol-simbol keislaman dihidupkan kembali. Salah satunya adalah mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid, sebuah katedreal tua yang sebelumnya berfungsi sebagai museum di Istanbul.
Jika dukungan terhadap jilbab dilakukan oleh partai AKP, maka sangat dimaklumi. Namun, jika dukungan itu berangkat dari partai sekuler CHP, maka kita layak bertanya-tanya. Keanehan ini sangat kentara karena secara historis partai sekuler begitu antipati terhadap jilbab. Namun, di sinilah kemudian terlihat peran agama di era modern. Agama menjadi instrumen politik yang efektif. Peluang ini dibaca oleh partai CHP yang sedang membutuhkan suara sebagai bekal amunisi di Pemilu Turki 2023.
Sejak menjadi oposisi tahun 1995, suara CHP relatif stagnan. Saat itu gelombang Islamisme memang sedang besar Turki. Partai sekuler seperti CHP kesulitan untuk membendung semangat keagamaan di Turki yang saat itu begitu masif. Dengan demikian, untuk menarik basis dukungan CHP, salah satu caranya adalah dengan merangkul para suara kelompok religius yang umumnya menggunakan jilbab, atau paling tidak mendukung penggunaan jilbab.
Kemal Kilicdaroglu, Ketua Partai CHP, ingin meluruskan stigma CHP sebagai partai anti-Islam dengan melakukan pendekatan politik kepada kaum religius dengan harapan bisa meraup suara dari kelompok Islam. Kasarnya, CHP ingin merangkul pasar yang selama ini menjadi modal sumber daya partai AKP.
Geliat partai yang menggunakan isu agama untuk kepentingan politik bukan hal tabu lagi di era politik modern. Di Amerika Serikat, agama juga dijadikan sebagai alat legitimasi dan bahkan politisasi dalam pemilu, terutama untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentaslis. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (Islamofobia) dan anti-imigran.
Di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum bahwa para pejabat partai akan berlomba-lomba menjadi tampak religius menjelang tahun pemilu. Para politisi akan keluar masuk masjid, berkampanye, mengharapkan dukungan dari para jamaah. Politisi non-Muslim pun akan ikut-ikutan menggunakan peci dan sorban. Tujuannya jelas, ingin meraup suara Islam.
Di Turki, jilbab bukan hanya sekedar pakaian perempuan, ia adalah simbol politik. Partai Islamis sangat cerdik memainkan simbol ini, membalutnya dengan isu hak asasi manusia dan kebebasan, membuat kelompok sekuler tak berdaya. Seperti yang tercatat dalam sejarah Turki, Ataturk memang pernah mengatakan bahwa jilbab merupakan simbol kemunduran dan pengekangan terhadap perempuan. Meski Ataturk seakan kontra dengan jilbab, ia tidak pernah mengeluarkan peraturan tentang pelarangan jilbab.
Seperti di Indonesia, perempuan berjilbab di Turki dewasa ini sudah menjadi pemandangan umum. Metropoll, sebuah lembaga survei di Turki, mengungkap bahwa tahun 2021, sekitar 83% warga Turki tidak berkeberatan jika perempuan mengenakan jilbab di ruang publik. Dengan data seperti ini, partai politik mau tidak mau harus mengikuti arus. Jika tidak ingin kehilangan eksistensi, partai sekuler seperti CHP harus ikut “jualan” Islam.
Merespon geliat CHP yang masif, AKP tidak tinggal diam. Erdogan dan massanya kini mengusulkan agar regulasi pemakaian jilbab bagi perempuan dimasukkan ke dalam konstitusi. Mirip-mirip dengan aturan jilbab di Iran yang kini sedang diprotes warganya itu. Artinya, partai Islam akan melangkah lebih jauh untuk melampaui apa yang sudah dilakukan oleh partai sekuler.
Turki menjadi satu dari banyak negara demokrasi yang menampilkan bagaimana lembaga-lembaga politik “mengandalkan” agama sebagai basis kampanye politik. Hanya tinggal bagaimana masing-masing parpol mengemas isu itu sekaligus memainkan simbol-simbol agama sebagai instrumen untuk memikat pasar. Di era modern, agama terlahir kembali bukan sebagai identitas personal semata, namun juga sebagai identitas komunal yang bisa didayagunakan oleh institusi-institusi politik untuk mencapai kepentingan tertentu.