Saya terkadang membayangkan, andai saja setiap kritik al-Quran terhadap keyakinan atau komunitas di luarnya kita pahami dalam situasi ceng-cengan penuh keakraban, pastilah itu sangat menyenangkan. Bentuk keakraban yang saya maksud di sini adalah serupa dengan bagaimana akun-akun Garis Lucu (GL) di Twitter membingkai perbedaan mereka dalam bauran yang memaksa kita tertawa cerdas.
Tentang akun-akun GL nanti akan saya bicarakan lebih jauh, tetapi sekarang saya ingin membahas betapa al-Quran pada dasarnya membuka peluang untuk dibaca dalam konteks yang lebih cair dan mungkin lucu. Ya, tidak saja karena sejumlah ayat al-Quran sendiri hadir dalam redaksi yang demikian rileks, tetapi Islam (sebagai institusi agama) adalah yang paling bungsu dari trah abrahamik.
Kiblat umat Muslim yang sedianya berada di al-Aqsa Yerusalem, umpamanya, bisa kita baca sebagai upaya untuk meneguhkan posisi politisnya: bahwa Islam adalah masih satu gen dengan kedua kakaknya, Yahudi dan Kristen. Ini menjadi penting karena Islam, seperti kita tahu, lahir di tengah peradaban pagan. Lalu, sejurus setelah posisi politiknya semakin kuat, kiblat kembali ke Ka’bah.
Terus terang, saya cukup tertegun dengan cara al-Quran menyentil pengkultusan al-Masih d/a Maryam. Diduga, terdapat salah satu sekte pemuja Maryam (Collyridians/Maryamiyyun) di Jazirah Arab. Lebih dari itu, keberadaan Isa sendiri adalah cukup penting dalam tatanan teologi Kristen.
Dan, al-Quran ternyata punya caranya sendiri untuk membantah sekaligus memparodikan topik sensitif itu. Kaana ya’kulani tho’am, baik al-Masih maupun Maryam nyatanya juga butuh makan kok (Q.S. al-Maidah [5]: 75). Begitu kira-kira. Jelas, ungkapan itu adalah sarkas. Makan adalah kebutuhan paling basic dari setiap makhluk hidup. Kata “makan” memiliki asosiasi dengan kata lain, seperti “minum”, dan tentu saja “buang air”. Sehingga, mafhum mawafaqohnya adalah: mana ada Tuhan butuh makan, minum, apalagi buang air?
Saya tidak mengerti bagaimana kejadian persisnya saat ayat itu turun, atau paling tidak, dalam kondisi dan mimik wajah seperti apa Nabi Muhammad pertama kali mebacakan ayat itu. Yang jelas, menurut catatan jumhur ulama, ayat tersebut berkaitan dengan komunitas Kristen. Artinya, ada persoalan identitas yang hendak ditegaskan di sini. Dan, ungkapan itu roman-romannya mustahil keluar dalam suasana tegang. Sebaliknya, ini justru akan lebih masuk akal jika hadir dalam situasi dialog penuh keakraban.
Di lain tempat, al-Quran sendiri bilang kalau Islam di satu pihak lebih akrab dengan komunitas Kristen, sedangkan ini tidak terjadi dengan Yahudi (al-Maidah [5]: 82). Tapi, sekali lagi, ayat itu sangat politis dan tidak lahir dari ruang hampa. Menurut sebagian ulama seperti Imam al-Suyuti, ayat tersebut berkaitan dengan kelompok Kristen dari Ethiopia. Tapi ada juga yang bilang kalau ayat itu adalah sehubungan dengan perutusan Kristen Najran (daerah Yaman) yang berkunjung ke Madinah dan malah dipersilakan menyelenggarakan misa di satu sudut Masjid oleh Nabi.
Lalu, al-Quran juga menggarisbawahi kalau baik Yahudi maupun Kristen pada dasarnya memiliki titik temu, yaitu di altar keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Hari Kiamat, dan berbuat kebajikan. Atas dasar itulah mereka berhak mendapat pahala yang setimpal dari Tuhan (Q.S. al-Baqarah [2]: 62).
Jadi, persinggungan Islam dengan komunitas agama lain sebetulnya biasa-biasa saja. Bahwa kemudian terdapat dinamika sehari-hari baik di level ajaran maupun umat, itu tidak berarti mereka tidak bisa hidup rukun.
Poinnya, interaksi antar umat beragama sebetulnya memiliki peluang untuk terjalin dalam suasana cair. Kendati mereka berbeda satu sama lain, faktanya itu tidak menghalangi orang buat saling kerja sama menyuarakan keakraban. Dan, inilah yang dilakukan akun-akun Garis Lucu. Sebagai sample, saya hanya akan membatasi dua, atau paling jauh, tiga akun: @NUgarislucu (2015); @KatolikG (2019); dan @MuhammadiyinGL (2019).
Dari ketiga akun tersebut, NU Garis Lucu adalah yang paling sulung dan yang paling punya alasan historis. Pada mulanya, ia adalah bentuk respon dari upaya purifikasi sebagian orang yang mengatasnamakan NU dengan imbuhan adjektiva “Garis Lurus”.
NU Garis Lucu, dengan demikian, adalah pelesetan atau bentuk parodi dari gerakan yang menganggap bahwa Ormas NU telah melenceng dari ajaran inti sehingga perlu diluruskan. Lebih dari itu, hadirnya ikon mendiang Gus Dur juga menjadi karakter yang khas dari keberadaan NU Garis Lucu. Tidak saja karena terbukti secara sah pernah menjabat Ketua Umum NU, tetapi Gus Dur dalam kesehariannya juga terkenal sebagai orang dengan segudang jokes segar.
Terkadang, dalam melempar guyonannya, Gus Dur menghadirkan subjek lain untuk kemudian ditertawakan bersama. Salah satunya adalah kejadian ketika mantan Presiden RI 32 tahun, Pak Harto, request imam salat tarawih. Gus Dur menukas, mau ala NU atau Muhammadiyah? Ini musti jelas dulu di awal. Soalnya, kalau NU itu pakainya 23 rakaat plus witir, sedangkan Muhammadiyah diskon 50%.
Lain cerita, Gus Dur ternyata juga pernah menjadikan pemimpin rohaniawan Katolik sedunia, Paus Yohannes Paulus sebagai bahan candaan. Kabarnya, Paus Paulus diundang menghadiri sebuah acara di New York. Setiba di sana Paus ingin melihat-lihat keindahan kota tersebut.
Segera setelah mobil berjalan, Paus meminta sopirnya menghentikan laju mobil, lalu berkata: “Saya ingin menyetir!!!”. Sang sopir pun bingung, mau nggak mau permintaan itu harus dituruti karena yang meminta adalah seorang Paus. Walhasil, Paus pun pegang kendali mobil dan sang sopir diminta duduk di belakang. Tak lama kemudian, tiba-tiba mobil itu terperosok ke dalam lubang saluran air.
Polisi pun kebingungan. Mereka melapor ke atasan kalau telah terjadi laka lalu lintas yang melibatkan orang penting. Tapi Pak Polisi mengaku kesulitan untuk mengenali siapa orang penting yang sesungguhnya sedang duduk di belakang dan menjadi korban. Soalnya sopirnya saja seorang Paus.
Tentu saja, itu tidak lebih dari sekadar humor, atau jokes, atau bisa juga ceng-cengan untuk menegaskan situasi bahwa perbedaan bukanlah alasan yang bisa menghalangi orang untuk saling kenal dan saling akrab. Dalam bentuk lain, kasus yang hampir serupa bisa kita lihat dari percakapan tiga akun Garis Lucu.
“Pagi-pagi dibangunin @NUgarislucu agak kaget ternyata diingetin untuk ke Gereja. Yowes siap-siap misa terpagi. Enaknya rumah deket masjid,” cuit @KatolikG.
Sejurus kemudian, Muhammadiyah Garis Lucu membalas, “Kok tahu kalo yang bangunin @NUgarislucu, emang adzan shubuhnya gimana?”
“Nada azannya ada langgam jawanya,” tukas @KatolikG.
“Ah bisa aja. Coba gimana bunyi adzan bait kedua?” sambar @NUgarislucu.
Suasana keakraban itu sudah tentu akan sulit diupayakan dalam ruang ketegangan atau penuh konflik. Sebaliknya, ia bisa terjadi dalam sebuah ekosistem yang memang memungkinkannya terjadi.
Kiwari, ruang untuk menciptakan ekosistem keakraban itu rupanya semakin terbuka lebar setelah jangkauan internet semakin merata, kendati hal sebaliknya juga berlaku. Artinya, ruang internet kita senyatanya tidak saja dihuni oleh suara yang mendorong terciptanya kerukunan, tetapi juga oleh mereka yang mengumandangkan kekakuan sekaligus kebencian.
Malahan, tidak jarang khutbah kebencian di ruang maya itu satu ranjang dengan kepentingan politik kekuasaan. Maka, suara alternatif yang ditawarkan akun Garis Lucu ini menjadi relevan karena sedikitnya tiga alasan.
Pertama, jika keberadaan akun Garis Lucu bisa disebut sebagai aktivitas politik yang tidak praktis, maka logika yang berlaku di sini adalah konektivitas digital (connective action). Ini meminjam konsep yang ditawarkan W. Lance Bennet dan Alexandra Segerberg (2013) dalam buku The Logic of Connective Action: Digital Media and the Personalization of Contentious Politics.
Alasannya, aktivisme politik di ruang maya itu bersifat cair, fleksibel, dan tidak mengikat karena dilakukan secara personal. Setiap orang atau pengguna akan terkoneksi satu sama lain oleh kepedulian bersama terhadap isu tertentu. Dalam kasus akun-akun Garis Lucu, mereka terhubung oleh isu toleransi, kerukunan antar-umat beragama, dan terkadang memparodikan kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan publik atau isu-isu mutakhir.
Israel menyatakan Gencatan senjata persis sehari setelah para dukun santet mengirimkan paketannya.
Tak ada kebenaran eh kebetulan di dunia ini. 😎
— NU Garis Lucu (@NUgarislucu) May 21, 2021
Kedua, dalam media digital, partisipasi politik lebih menyerupai ekspresi personal ketimbang aksi kelompok. Meski akun-akun Garis Lucu melibatkan nama institusi tertentu, mereka bukanlah suara resmi atau bisa dibilang tidak mewakili institusi yang bersangkutan. Di titik ini, unsur anonimitas justru hadir dalam wajah yang ramah lingkungan, kontras dengan umumnya akun anonim yang pada satu titik berisiko menunjukkan sisi monsternya di ruang digital.
Ketiga, jejaring komunikasi menjadi inti pengorganisasian dalam ruang digital, menggantikan peran hierarki pimpinan dan keanggotaan.
Juga, orang tidak perlu bertemu, tidak perlu saling kenal terlebih dahulu untuk bisa berpartisipasi. Partisipasi tak eksklusif pada anggota inti organisasi, tapi juga menarik simpatisan dan orang luar yang membantu menyebarkan gagasan.
Atau praktisnya, orang tidak perlu menggadai iman, misalnya, untuk menjadi followers Katolik Garis Lucu. Sebaliknya, orang juga tidak perlu memiliki Kartanu, atau ikut tahlilan, atau membaca qunut, atau tarawih 23 rakaat plus witir jika berkenan menjadi pengikut NU Garis Lucu.
*Artikel ini adalah kerjasama Islami.co dengan PUSAD Paramadina-Guyub UNDP