Salah satu masalah besar yang masih dihadapi oleh negara kita adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Meskipun kita telah memiliki lembaga khusus yang bertugas sebagai pencegah sekaligus menangani kasus-kasus korupsi (KPK), hal itu tidak serta merta membuat korupsi lenyap dari negara kita. Lembaga KPK justru diperlemah melalui revisi UU KPK. Akibatnya, kasus korupsi mengenai penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR 2019-2024 yang kini sedang ditangani menjadi lambat dan berlarut-larut.
Harun Masiku, seorang politisi PDI Perjuangan (PDIP) yang saat ini menjadi tersangka dalam kasus tersebut belum juga ditangkap karena keberadaannya yang belum diketahui. Kabar yang datang dari Menkumham Yasonna Laoly, Harun Masiku telah meninggalkan Indonesia dan pergi ke Singapura pada tanggal 6 Januari, tetapi Dirjen Imirasi justru mengatakan bahwa yang bersangkutan telah kembali ke Indoesia pada tanggal 7 Januari. Sampai akhirnya Kapolri Jenderal Pol Idham Azis memasukkannya ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
Sementara KPK yang dinilai lamban oleh publik dalam menangani kasus korupsi ini tidak merasa ada kendala apa-apa (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200131072726-12-470345/kpk-tetap-selow-meski-tak-tahu-di-mana-harun-masiku). Bahkan sikap Firli Bahuri yang tidak terbuka ke publik mengenai penanganan kasus korupsi yang menyeret politisi PDI-P ini dianggap mencla-mencle oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramdhana dalam diskusi bertajuk ‘Menakar Legislasi Antikorupsi di Tahun 2020’ di Kantor ICW.
Dengan kondisi yang demikian masihkah dapat kita berharap Indonesia bersih dari korupsi?
Kehidupan bernegara pada dasarnya merupakan implikasi dari keinginan manusia untuk mewujudkan kehidupan bersama “yang baik”. Menurut Aristoteles manusia mengaktualisasi dirinya dan berfungsi optimal dalam kebersamaannya dengan manusia lain di dalam polis. Politik mengikhtiarkan optimalnya kehidupan bersama sehingga aktualisasi diri dan fungsi optimal individu dapat berlangsung serta pencapaian kebahagiaan dapat dilakukan (Bagus Takwin, 2011).
Pengaturan kehidupan bernegara tersebut kemudian memiliki konsekuensi untuk memilih sebagian orang untuk menjadi penanggungjawab tujuan bersama, yang disebut sebagai pemerintah. Namun dalam perjalanannya orang-orang tersebut tak semua dapat dipercaya. KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) seringkali dilakukan oleh mereka guna memperoleh keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu.
Dalam keadaan yang seperti itu tentu saja rakyat yang paling dirugikan, karena uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum malah beralih ke tangan orang-orang tertentu. Atau aturan yang seharusnya ditegakkan justru dilanggar, membuat keadilan jauh panggang dari api. Penegak hukum yang mudah disuap pun membuat kepercayaan publik terhadap para penyelenggara negara menjadi berkurang.
Dalam Islam, perbuatan korupsi merupakan salah satu perbuatan yang dilarang Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Humaid As Sa’idi, Nabi bersabda:
“Demi dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil harta tanpa haknya, selain pada hari kiamat nanti harta itu ia pikul diatas tengkuknya, dan jika unta, ia akan memikulnya dan mengeluarkan suara unta, dan jika sapi, maka sapi itu dipikulnya dan melenguh, dan jika harta yang ia ambil berupa kambing, maka kambing itu akan mengembik. ” (HR. Al-Bukhari).
Allah SWTjuga telah memperingatkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 188:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang makan harta orang lain dengan jalan bathil. “Makan” ialah “mempergunakan atau memanfaatkan”, sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya. Batil ialah cara yang dilakukan tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah.
Kemudian pada ayat bagian kedua atau bagian terakhir yang melarang menyuap hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian harta orang lain dengan cara yang batil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau saksi palsu (Tafsir Lengkap Departemen Agama).
Sistem bernegara yang berbasis demokrasi seperti Indonesia memberikan kesempatan bagi seluruh warga negaranya untuk berpartisipasi dalam mewujudkan negara yang sesuai dengan amanah konstitusi. Warga negara dapat menggunakan ruang publik sebagai sarana politik untuk menyuarakan hak yang harus dipenuhi atau kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Menurut Habermas, dengan mengandalkan ruang publik, khususnya “ruang publik politik”, sebagai wadah komunikasi, kehendak umum dapat diupayakan pencapaiannya. “Ruang publik politis” adalah hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang menjadi tempat berlangsungnya pembentukan opini dan aspirasi diskursif sebuah publik (Bagus Takwin, 2011).
Oleh karena itu, kita sebagai warga negara mestinya turut terlibat aktif dalam mengawal dan memperbaiki jalannya pemerintahan negara kita. Jangan sampai negara ini justru dimanfaatkan oleh para oligarki yang dapat dengan mudah mengendalikan para pejabat politisi melalui jalan suap dan korupsi.