Sholatnya Para Koruptor

Sholatnya Para Koruptor

Bagaimana sholat para koruptor ini?

Sholatnya Para Koruptor

Meski pun ibadah batin, seperti iman, makrifat, tafakur, tawakal, sabar, rajâ’, rida terhadap kada dan kadar, cinta kepada Allah, taubat, dan membersihkan diri dari sifat-sifat buruk seperti tamak dan sifat buruk lainnya lebih utama dari pada ibadah lahir seperti salat, tetapi salat tetap istimewa dan merupakan ibadah lahir yang paling utama, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawî al-Jâwî dalam Kasyifah as-Sajâ Syarḥ fî Safînah an-Najâ, di mana seluruh umat Islam, menurut Wahbah az-Zuḥailî dalam al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû, sama-sama menyepakati kewajibannya untuk dilaksanakan.

Sehingga setiap orang Islam yang berakal, balig, suci dari haid dan nifas, bukan penyandang disabilitas seperti orang yang terlahir dalam keadaan tuna netra dan tuna rungu, dan sampainya dakwah tentang Islam dan salat wajib melaksanakan salat lima waktu. Begitu juga dengan anak-anak Muslim yang sudah berumur 7 tahun wajib disuruh salat dan dipukul (dalam rangka pendidikan) ketika meninggalkan salat apabila sudah berumur 10 tahun oleh orang tua masing-masing atau guru agama berdasarkan izin dari orang tua mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibrâhîm al-Bâjûrî dalam ḤÂsyiyah al-Bâjûrî ‘alâ Ibn Qâsim.

Kemudian, Sayyid Sâbiq menjelaskan dalam Fiqh as-Sunnah bahwa ibadah yang pertama kali diwajibkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya adalah salat, yang diberikan langsung oleh Allah secara istimewa dan tanpa perantara ketika malam Mikraj. Bahkan wasiat terakhir Nabi saw. sebelum wafat kepada seluruh umat Islam adalah salat. Ditetapkannya malam Mikraj sebagai awal pensyariatan salat, menurut Sayyid Muḥammad Ḥaqî an-Nâzilî dalam Khazînah al-Asrâr Jalîlah al-Ażkâr, karena malam itu merupakan waktu paling utama, keadaan dan munajat paling mulia.

 Secara historis, salat bukan merupakan ibadah baru yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia. Imam Nawawî al-Jâwî menyebutkan dalam Bi aś-Śimâr al-Yâni’ah fî ar-Riyâḍ al-Badî’ah bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad saw. lahir, para Nabi sudah melaksanakan ibadah salat, seperti Subuh yang dilaksanakan oleh Nabi Adam; Zuhur dilaksanakan oleh Nabi Daud (pendapat lain mengatakan Nabi Ibrahim); Asar dilaksanakan oleh Nabi Sulaiman (pendapat lain mengatakan Nabi Yunus; pendapat lain mengatakan Nabi ‘Uzair); Magrib dilaksanakan oleh Nabi Isa (pendapat lain mengatakan Nabi Daud; pendapat lain mengatakan Nabi Ya’qub).

Sementara salat Isya dilaksanakan oleh Nabi Musa (pendapat lain mengatakan Nabi Yunus; pendapat lain mengatakan Nabi Muhammad ‘alaihim aṣ-Ṣalâh wa as-Salâm). Setelah Nabi Muhammad saw. menemui Allah ketika malam Mikraj, maka kelima salat tersebut diwajibkan kepada beliau dan seluruh umat Islam untuk dikerjakan dalam sehari semalam sesuai dengan waktunya masing-masing.

Terkait dengan keutamaan dan kemuliaan salat, Sulaiman al-Jamal menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawî al-Jâwî dalam Mirqâtu Ṣu’ûdi at-Taṣdîq fî Syarḥ Sullam at-Tawfîq ilâ Maḥabbah Allâh ‘alâ at-Taḥqîq, bahwa salat merupakan induk ibadah, mikrajnya orang mukmin dan munajat kepada Tuhan alam semesta. Hal ini tidak lain karena menurut Imam Al-Gazâlî dalam Asrâr aṣ-Ṣalâh wa Muhimmâtuhâ, salat bukan hanya sebagai tiang agama dan buhul keimanan yang hakiki, tetapi juga merupakan sarana paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Selain itu, ia merupakan penenang hati bagi setiap umat Islam yang akan menghilangkan segala kesusahan, kegundahan, kesedihan dan kesempitan. Bahkan seorang hamba akan memperoleh seluruh kemuliaan, kesempurnaan, kegembiraan, keluhuran pangkat dan ketinggian dari penghambaan kepada Allah, di mana dasar penghambaan itu adalah salat, sebagaimana dijelaskan oleh Sa’d Karîm al-Faqî dalam pengantar Asrâr aṣ-Ṣalâh wa Muhimmâtuhâ. Sementara menjadi hamba Allah merupakan suatu kemuliaan yang tidak ternilai harganya, sebagaimana dibangga-banggakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. seraya berkata: kafâ Bî Fakhran an Akûna Laka ‘Abdan, wa Kafâ Bî Syarfan an Takûna Lî Rabban. Allâhumma Innî Wajadtuka Ilâhan Kamâ Aradta, fa Ij’alnî ‘Abdan Kamâ Aradta (kebanggaanku adalah menjadi hamba-Mu dan kemuliaanku adalah Engkau menjadi Tuhanku. Ya Allah, sesungguhnya aku menemukan-Mu sebagai Tuhan, sebagaimana Engkau menghendakinya. Maka dari itu, semoga Engkau menjadikanku sebagai hamba, sebagaimana Engkau menghendakinya).

Oleh karena itu, menurut Wahbah az-Zuḥailî dalam al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû, salat memiliki beberapa faidah, baik dalam hal keagamaan, kepribadian, mau pun kehidupan sosial, seperti sebagai sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya, mewujudkan penghambaan kepada Allah, mendapatkan keamanan, ketenangan, dan keberuntungan, menghapus keburukan dan dosa-dosa, mendekatkan diri kepada Allah, menguatkan jiwa dan kehendak, mendidik akhlak agar senantiasa jujur dan amanah, mencegah diri dari perbuatan buruk dan mungkar, mengukuhkan akidah bersama untuk memperkuat persatuan, menguatkan syiar Islam secara bersama, mengukuhkan persamaan, memperkuat persatuan umat Islam, saling bantu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan lain sebagainya.

Secara spritual, menurut Imam ‘Izz bin ‘Abd as-Salâm dalam Maqâṣid al-‘Ibâdât, salat tidak hanya berkaitan kepada individu saja, tetapi juga berkaitan kepada Allah, Rasulullah dan seluruh orang beriman yang ada di langit dan di bumi—seperti pujian yang berhungan langsung kepada Allah, persaksian akan kerasulan Nabi Muhammad dan pembacaan salawat-salam yang berhubungan kepada Rasulullah, munajat untuk kemaslahatan dunia dan akhirat yang berhubungan kepada diri sendiri (muṣallî), dan permohonan keselamatan yang berhubungan kepada seluruh orang beriman.

Dengan demikian, kurang tepat kiranya apabila salat dianggap sebagai ritual (ibadah) yang hanya berkaitan dengan kepentingan dan kebaikan individu semata. Mengingat ia masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan elemen kehidupan orang-orang beriman yang salih, yang akan mewarnai kehidupan manusia dengan kebenaran, kebajikan dan kedamaian.

Menurut KH. Kholil As’ad Syamsul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo, Situbondo, ketika memberikan ceramah yang diadakan oleh Masjid Nurul Iman di Dusun Rokem, Desa Batukerbuy, Pasean (28/7/2017), salat memiliki hubungan kepada seluruh umat manusia dan alam. Kalimat “Assalâmu ‘Alaikum” yang dibaca ketika mengakhiri salat, bukan hanya doa keselamatan bagi umat manusia yang diucapkan di mulut saja, tetapi harus diwujudkan ke dalam prilaku sehari-hari, di mana muṣallî (orang yang melaksanakan salat) harus memberikan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan kepada umat manusia sesuai dengan kemampuan masing-masing, seperti dimulai dari keluarga, tetangga, kerabat, masyarakat sekitar, baik tingkat Dusun, Desa, Kapubaten mau pun tingkat Negara. Pendek kata, salat bukan hanya memikirkan Allah semata, tetapi juga memikirkan keberadaan umat manusia dan alam semesta agar mereka mendapatkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.

Meresapi beberapa keterangan di atas, alangkah ruginya apabila kita meninggalkan salat hanya karena malas dan sibuk dengan urusan dunia. Alangkah ruginya apabila salat kita tidak diterima oleh Allah karena ada beberapa syarat yang belum terpenuhi. Alangkah ruginya kalau salat kita tidak memberikan pengaruh dan manfaat apa-apa terhadap diri kita dan kehidupan sosial. Alangkah ruginya kalau salat kita tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah. Alangkah rugi kalau salat kita tidak bisa menghapus dosa-dosa kita. Alangkah ruginya kalau salat kita tidak bisa membuat hati kita menjadi bersih dan tenang. Alangkah ruginya kalau salat kita tidak bisa mencegah prilaku-prilaku buruk kita.

Beberapa banyak orang yang melaksanakan salat, tapi masih suka menipu, mencuri dan korupsi. Berapa banyak orang yang melaksanakan salat, tapi masih suka khianat dan berdusta. Berapa banyak orang yang melaksanakan salat, tapi masih suka zalim dan mau menang sendiri. Berapa banyak orang yang melaksanakan salat, tapi masih suka menindas dan menyakiti orang lain. Berapa banyak orang yang melaksanakan salat, tapi masih suka menfitnah dan mengadu-domba. Berapa banyak orang yang melaksanakan salat, tapi masih suka mengkafirkan dan menyesatkan orang lain.

Berapa banyak orang yang melaksanakan salat, tapi masih suka menghalalkan segala cara demi kepentingan sesaat. Hmm… Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menyiramkan rahmat-Nya kepada kita. Sehingga salat kita di terima di sisi-Nya dan menjadi darah yang menggerakkan prilaku-prilaku baik dalam hidup kita. Amin…

Oleh karena itu, agar salat kita diterima oleh Allah dan memberikan manfaat kepada kehidupan pribadi dan sosial, maka penting untuk memperhatikan beberapa syarat sahnya salat yang dijelaskan oleh Muḥammad ad-Dû’ânî dalam Gayâh al-Munâ Syarḥ Safînah an-Najâ, yaitu: suci dari hadas besar dan kecil, suci dari najis, baik pakaian, badan, mau pun tempat yang digunakan salat, menutup aurat, menghadap kiblat, masuk waktu salat, mengetahui kewajiban salat, tidak meyakini suatu yang fardu dalam salat sebagai perbuatan sunah, dan tidak mengerjakan hal-hal yang membatalkan salat, seperti berbicara, makan, minum dan lain sebagainya. Lebih lanjut Imam Nawawî al-Jâwî menjelaskan dalam Syarḥ Sullam at-Tawfîq bahwa selain beberapa syarat yang telah disebutkan, terdapat syarat lain yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh muṣallî, yaitu: melaksanakan salat hanya karena Allah, menjaga diri dari makanan dan minuman haram, tempat yang digunakan harus halal dan harus menghadirkan hatinya ketika salat.

Berkaitan dengan minuman, makanan dan tempat yang didapatkan dengan cara haram, secara detail Imam Nawawî al-Jâwî mengutip beberapa penjelasan para ulama, seperti Imam Sahl yang mengatakan bahwa barang siapa memakan barang haram, maka hijab yang menutupi hatinya tidak akan terbuka dan akan segera mendapatkan siksa, di mana salatnya, puasanya dan sedekahnya tidak bermanfaat; Imam asy-Syâżilî berkata, barang siapa memakan barang halal, maka sesungguhnya hatinya akan lembut dan terang, sedikit tidurnya dan tidak tertutup dari kehadiran Allah.

Barang siapa memakan barang haram, maka hatinya keras, kasar dan gelap, terhijab dari kehadiran Allah dan banyak tidur; ‘Alî al-Khawwâṣ berkata, barang siapa memakan barang haram dan menyibukkan diri dengan ibadah, maka ia seperti merpati yang bersusah payah mengerami telur busuk yang tidak kunjung menetas dan hanya menjadi busuk; dan Sabda Nabi saw., barang siapa salat menggunakan baju yang dibeli seharga 10 Dirham, di mana 1 Dirhamnya merupakan uang haram, maka salatnya tidak diterima. Sehingga tidak heran apabila Ibn Mas’ud berkata, ketika barang halal dan haram bercampur, maka yang halal dikalahkan.

Dengan demikian, kalau 1 Dirham saja tidak diterima, apalagi puluhan juta yang biasa diambil oleh para koruptor, yang secara jelas menghianati amanah Tuhan dan rakyat. Kalau 1 Dirham saja bisa menutupi kehadiran Allah Yang Maha Suci, apalagi ratusan juta yang biasa dicuri oleh para koruptor, yang secara nyata merusak tatanan bernegara. Kalau 1 Dirham saja bisa membuat ibadah, seperti salat dan puasa tidak bermanfaat, apalagi 1 Miliar yang biasa dirampas oleh para koruptor, yang secara terang-terangan menyengsarakan kehidupan rakyat. Hal ini mengingat tidak sedikit para koruptor yang beragama Muslim, di mana tentu akan melaksanakan salat walau hanya sekali dalam setahun. Wa Allâh A’lam wa A’lâ wa Aḥkam…