Mata lelaki bertopi Nike itu mengerling tajam ke sudut kiri, fokus pada sasaran. Tangan kanannya menahan badan pistol FN rakitan, tangan kirinya siap menarik pelatuk. Foto eksklusif bidikan pewarta foto Very dari Xinhua itu kemudian viral di media sosial. Ada yang mengomentari merk topinya, sepatunya, atau sekadar memasangnya sebagai ilustrasi dari status-status yang diposkan pada laman Facebook.
Harus diakui, mimik Afif Sang Penembak sungguh meyakinkan. Ia tak kalah dari ekspresi macho Bruce Willis dalam film Die Hard, misalnya. Melihat foto sinematik itu, kita jadi lupa bahwa film-lah yang sesungguhnya meniru kenyataan, bukan sebaliknya. Afif tak sedang berakting dalam film, ia tak sedang meniru Bruce Willis, dan Sarinah waktu itu bukanlah lokasi syuting.
Peristiwa Sarinah adalah bencana bagi kita semua. Tak ada yang patut menyanggahnya, meskipun kita saat itu bersegera memasang tagar-tagar yang luar biasa hebat. Tetapi, terkait potret Afif, fotografer jurnalistik mana yang tak iri pada sang pembidik yang berhasil mengabadikannya? Saya pun tak punya kata lain selain “wow” saat melihat rangkaian foto-foto itu.
Lalu kita tiba di hari Senin. Potret itu menjadi sampul Tempo English. Sedangkan bingkai lain, yang di dalamnya seorang lelaki berompi dan bertopi hitam menembak polisi dari jarak dekat, dipasang pada sampul majalah Tempo berbahasa Indonesia. Foto ini hasil jepretan fotografer Tempo, Aditia Noviansyah, yang kameranya juga berhasil menguntit para penembak, Ali dan Afif.
“Violence at its best paraded on a cover [of a] magazine,” tulis Uly Siregar di media sosial miliknya, setelah melihat sampul itu. Beberapa orang lain di jejaring media sosial saya juga berpendapat hampir sama. Pendeknya: sampul Tempo melanggar etika. Benarkah demikian?
Saya tak hafal persisnya ukuran salah-benar dalam media. Barangkali asosiasi wartawan atau dewan pers punya panduan lengkap kode etik jurnalistik A-Z. Saya juga bukan juri etika. Tapi bagi saya, kedua sampul itu mengandung masalah.
Kita mafhum ada dua pendapat mayoritas dalam telaah akar terorisme. Pendapat pertama bilang teroris berawal dari keyakinan atas ajaran (agama) yang salah. Pendapat kedua lebih melihat faktor sosial si pelaku, khususnya kemiskinan, sebagai penyebab keterjerumusan ke dalam terorisme.
Bagi saya, ada faktor lain yang juga berperan, dan ini terkait dengan foto-foto dalam sampul Tempo. Faktor itu adalah machismo, meski tentu saja, faktor ini sangat mungkin menempel pada dua latar yang lebih umum tadi.
Bayangkan seorang anak, atau remaja, yang bisa sangat terobsesi menjadi anggota militer setelah menonton film Rambo. Atau mereka yang ingin menjadi pembalap setelah menonton Fast and Furious. Juga dia yang mengkhayalkan diri sebagai agen intelijen setelah menyaksikan laga Jason Bourne di film The Bourne.
Hal sama bisa terjadi dengan foto Afif Sang Penembak yang viral di media sosial—dan diabadikan dalam sampul Tempo kemarin. Belum lagi ditambah foto mayatnya yang sedang tersenyum. Oh wow, dia begitu macho saat beraksi, wajahnya juga tersenyum saat mati. Hidup sebagai pejuang, mati sebagai syuhada. Bukan tak mungkin Afif diidolakan seperti Bruce Willis atau Stallone. Sebab kita punya contoh lain dari radikalisme dan keberanian yang lain pula, dengan disertai unsur machismo serupa. Che Guevara misalnya.
Di sisi lain, kita bisa menilik media-media dengan nilai etika kuat yang selalu mencantumkan nomor (hotline) konsultasi kala memberitakan peristiwa bunuh diri. Pasalnya, psike manusia adalah hal penuh kontradiksi. Pada lapis kesadaran, kita menimbang mana tindakan paling nalar untuk dilakukan. Namun yang terjadi di baliknya: gelap.
Tak jarang kita tiba-tiba dikejutkan oleh berita kriminal tak masuk akal. Manusia dengan riwayat hidup yang dianggap paripurna, misalnya, rela membunuh orang. Padahal risikonya hampir pasti: penjara puluhan tahun. Atau peristiwa-peristiwa bunuh diri di luar bayangan kita, tanpa latar musabab yang mudah dipahami. Inilah yang terjadi pada orang-orang suicidal. Pisau dapur bisa terlihat nyaman untuk dipeluk. Udara dari ketinggian ratusan meter pun bisa tampak asyik diajak menari.
Bayangkan kecenderungan itu menempel pada kesusahan hidup tak tertanggungkan. Atau bayangkan ia merekat dengan iman ideologis, entah untuk menghancurkan kekufuran, atau demi menghancurkan kapitalisme. Selama ideologi yang dianut membenarkan pembunuhan untuk mencapai tujuannya, dorongan kematian adalah teman berdansa paling tepat.
Dorongan itu dimiliki tiap orang dengan tingkatan berbeda-beda. Bahkan pada orang-orang tertentu, dorongan itu serupa api dalam sekam yang menunggu siraman bensin. Murid Freud menyebut api itu—dengan menghidupkan mitos Yunani—sebagai Thanatos. Dan bisa jadi, foto sang penembak dengan mata mengerling tajam itu menjadi bensinnya.[]
Maulida Sri Handayani, adalah seorang Jurnalis dan penulis lepas di pelbagai media. Tinggal di Jakarta.