Beberapa hari lalu, teman saya mengunggah foto di media sosial, yang merekam mereka sedang menyantap sop ayam Banjar di Balikpapan. Dalam foto tersebut terlihat banyak foto ulama terpasang di dinding warung, tempat mereka makan tersebut. Dengan spontan saya mengomentari unggahan tersebut, “Wah, yang punya toko pasti orang Banjar”. Teman saya menjawab komentar saya tersebut dengan emoticon tertawa.
Komentar saya atas unggahan teman saya tersebut bukan sekedar asal. Saya melihat pemasangan foto ulama yang sebagian besar berasal dari Kalimantan Selatan, yakni Guru Sekumpul (KH. Zaini Ghani) atau Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, di dinding warung tersebut. Hal ini yang saya buat yakin bahwa pemilik warung tersebut adalah Urang Banjar.
Keyakinan saya tersebut datang dari sosok ulama yang fotonya dipajang di warung tersebut. Foto dua ulama di atas cukup meyakinkan saya untuk menebak pemilik warung tersebut berasal dari Kalimantan Selatan. Pemasangan foto para ulama bukan tradisi masyarakat Banjar saja. Namun, sosok otoritas agama yang dipasang tersebut adalah pribadi-pribadi yang tumbuh dan berkiprah di tanah Banjar.
Pengetahuan agama Islam yang disebarkan oleh para Ulama atau Kyai memiliki dimensi lain dari sekedar pengajaran ilmu agama. Posisi otoritas agama dengan umat Islam, termasuk masyarakat Banjar, sangat vital. Tidak saja menjadi jalur pendedahan ajaran agama, akan tetapi mereka juga menjadi wadah bertanya hal-hal terkait keseharian umat, seperti rezeki, jogoh, rumah tangga, hingga pilihan politik.
Artinya, relasi antara umat dan otoritas agama tidak dapat dilepaskan dengan perihal wilayah, yang kemudian mengendap dalam ingatan seseorang atau kelompok. Ingatan tersebut kemudian diekspresikan, dijaga, atau dirawat lewat foto yang dipajang, baik di rumah, kamar, hingga warung.
Ekspresi tersebut, di sisi lain, juga dimaknai sebagai bagian dari harapan umat untuk mengharapkan Apuah (baca: berkah atau tuah) dari pemasangan tersebut. Hal ini disebut merupakan bagian dari rasa cinta umat terhadap ulama yang selama ini ada di sekitar kehidupan sehari-harinya, yang ditumbuhkan dengan berbagai narasi dan cerita yang mengelilinginya.
Mungkin, sebagian kita pernah menjumpai atau mendengar langsung narasi tentang foto ulama di tengah bencana, seperti kebakaran. Foto ulama tidak hancur atau terdampak sama sekali dari bencana yang menimpa di sekitarnya. Sepanjang pengetahuan saya, cerita-cerita seperti ini cukup populer di masyarakat Banjar.
Menariknya, beberapa bulan lalu, ketika sarapan pagi di sebuah warung makan, saya mendapati foto Syekh Ali Jaber, sosok ulama asal Timur Tengah yang terkenal dengan anjuran dan nasehatnya dalam mencintai al-Quran. Foto Syekh Ali Jaber disandingkan dengan dua ulama asal Kalimantan Selatan. Kehadiran Syekh Ali Jaber di foto tersebut menarik perhatian saya. Sebab, selama ini, saya hanya mendapati hanya dua model otoritas yang fotonya dipajang oleh masyarakat Banjar.
Pertama, ulama berasal atau pernah mengajar di Kalimantan Selatan. Sosok ulama paling populer yang fotonya paling sering dipajang adalah KH. M. Zaini Ghani atau lebih akrab dengan sebutan Guru Sekumpul. Selain beliau, sosok-sosok ulama dalam kategori ini yang foto dipajang seperti Tuan Guru Zuhdi, Tuan Guru Bakri, Tuan Guru Zhofaruddin, hingga Tuan Guru Bakhiet.
Para ulama yang masuk dalam kategori ini sudah tidak diragukan lagi perannya dalam mendedahkan ajaran agama Islam di masyarakat. Ditambah, peran besar mereka dalam kehidupan sehari-hari masyarakat juga tidak dapat disangkal. Wajar, jika kemudian memori atau imaji yang ingin dijaga masyarakat lewat memajang foto mereka. Ya, peran narasi “berkah” atau “tuah” juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam ekspresi masyarakat tersebut.
Kedua, otoritas agama yang memiliki genealogi atau hubungan keilmuan dengan ulama asal Banjar. Dalam kategori ini terdapat otoritas yang tidak berasal dari Kalimantan Selatan, namun memiliki relasi atau genealogi keilmuan dengan ulama dari Banjar. Nama-nama seperti Habib Umar bin Hafidz, Syekh Samman al-Madani adalah ulama yang fotonya juga dipajang oleh masyarakat Banjar.
Mungkin masih diperdebatkan, sosok Syekh Ali Jaber menjadi cukup tenar di Nusantara, termasuk Kalimantan Selatan, sangat didorong oleh kemajuan teknologi televisi. Dakwah melalui televisi mempunyai pengaruh yang efektif. Agama dan media menyentuh manusia sebagai individu maupun bagian dari masyarakat.
Di sisi lain, media memiliki peran cukup besar dalam terjadinya konstruksi sosial atas realitas sosial di masyarakat. Selain hubungan guru-murid hari ini dapat terjadi lewat bantuan media, termasuk televisi dan media sosial, teknologi media juga di saat bersamaan juga rentan membuat otoritas agama hari ini menjadi selebriti tampil hanya bermodal kemahiran bermedia.
“Mereka menjadi agamawan yang diakui publik luas sebagai konsekuensi teknologi komunikasi” tulis Sunarwoto, dosen UIN Sunan Kalijaga. Walaupun, Sunarwoto juga menegaskan bahwa media tidak menjadi faktor penentu melahirkan ustaz-ustaz selebriti tersebut. Namun, peran media tidak bisa juga dibilang kecil yang membuat mereka terkenal dan berpengaruh di masyarakat.
Kemuncul sosok Syekh Ali Jaber dalam foto yang dipajang masyarakat Banjar merupakan bagian dari dampak kehadiran media dalam dunia dakwah. Beliau menjadi bagian dalam ingatan atau memori kelompok, dalam hal ini masyarakat Banjar, di luar dari dua kategori yang sudah saya ulas di atas. Walaupun, sebagian kita masih bisa mengklaim sudah menjadi murid beliau lewat kajian-kajian televisi, media sosial, atau seminar yang diadakan oleh beliau.
Karena bukan berasal atau pernah tinggal di tanah Banjar, tentu genealogi keilmuan adalah faktor yang menjadikan sosok Syekh Ali Jaber masuk dalam ingatan atau memori kelompok, termasuk masyarakat Banjar. Namun, teknologi media menjembatani antara sosok ulama yang bisa saja tidak memiliki ikatan genealogis keilmuan yang kuat, dapat masuk dan bertahan dalam imaji masyarakat.
Oleh sebab itu, bukan hal yang mustahil jika di kemudian hari, sosok ustaz-ustaz selebriti menjadi foto pajangan di rumah-rumah kita. Hari ini, mereka sudah cukup sering tampil di media sosial kita. Jika memang begitu, apakah narasi soal berkah dan Apuah di masyarakat masih melekat dalam foto ulama yang hadir lewat bantuan teknologi? Wallahu’alam
Fatahallahualaina futuh al-arifin