Film “Kabut Berduri” dan Nasib Masyarakat Adat Hari Ini

Film “Kabut Berduri” dan Nasib Masyarakat Adat Hari Ini

Seperti dikisahkan dalam “Kabut Berduri”, masyarakat adat kita mengalami banyak hal yang membuat mereka resah, mulai perampasan lahan, oligarki, hingga aparat korup.

Film “Kabut Berduri” dan Nasib Masyarakat Adat Hari Ini

Netflix baru saja merilis satu film thriller berjudul “Kabut Berduri”. Dalam film tersebut kita diajak menyusuri jejak kasus pembunuhan berantai di perbatasan Kalimantan, antara Indonesia dan Malaysia. Cerita ini mengikuti perjalanan Sanja (Putri Marino), seorang detektif asal Jakarta yang bekerja sama dengan dua polisi lokal, Panca (Lukman Sardi) dan Thomas (Yoga Pratama).

Di tengah penyelidikannya, mereka menghadapi realitas gelap seperti perdagangan manusia, korupsi, dan krisis kepercayaan dari warga setempat. Di balik horor pembunuhan ini, terselip mitos tentang “Ambong,” makhluk yang diyakini memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam kejahatan di sekitar tanah adat.

Meskipun “Kabut Berduri” berfokus pada kejahatan yang menghantui komunitas perbatasan, ada benang merah yang dapat ditarik dengan nasib masyarakat adat di Kalimantan—atau lebih luas lagi, di seluruh Indonesia—yang menghadapi ancaman nyata dari kekuatan yang sering kali tak terlihat: oligarki sawit dan tambang yang terus menggerus tanah adat mereka.

Film ini juga bisa menjadi refleksi kita sebagai orang yang tinggal di luar tanah adat untuk memahami dan mengerti pusaran masalah yang kini dialami mereka.

Tanah Adat: Pusaran Konflik dan Korupsi

Seperti dalam “Kabut Berduri,” masyarakat adat di Kalimantan dan wilayah lain di Indonesia kerap berhadapan dengan kekuatan besar: oligarki dan korupsi yang mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Tanah adat yang seharusnya menjadi tempat tinggal dan penghidupan, sering kali menjadi objek rebutan bagi perusahaan-perusahaan besar yang didukung oleh oligarki dengan jaringan korup aparat yang kuat. Para pemilik modal ini, seperti halnya ancaman dalam cerita “Kabut Berduri,” bergerak dalam bayang-bayang, menggunakan kekuatan ekonomi dan politik untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Korupsi memainkan peran besar dalam proses ini. Tanah adat yang sebelumnya dilindungi oleh hukum adat sering kali diambil alih melalui manipulasi izin, suap, dan intimidasi. Seperti halnya korupsi yang menggerogoti kepercayaan warga dalam serial tersebut, masyarakat adat juga sering kehilangan harapan ketika mereka melihat hukum yang seharusnya melindungi mereka justru berpihak pada pemilik modal.

Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Alam

“Kabut Berduri” juga menyoroti isu perdagangan manusia. Walaupun kasus ini tampak berbeda dengan isu tanah adat, sebenarnya tidak sepenuhnya terpisah. Di daerah-daerah di mana tanah adat telah diambil alih, banyak masyarakat adat yang kehilangan sumber penghidupan mereka. Tidak jarang, mereka terpaksa pindah ke kota atau daerah lain untuk mencari nafkah. Di sinilah rantai perdagangan manusia mulai membelit mereka, dengan janji pekerjaan atau kehidupan yang lebih baik di tempat lain, sering kali berujung pada eksploitasi.

Selain itu, industri yang merambah tanah adat sering kali memperburuk keadaan lingkungan sekitar, membuat masyarakat adat tidak punya pilihan selain meninggalkan tanah mereka. Keadaan ini menciptakan lingkaran setan, di mana kehilangan tanah berujung pada kerentanan sosial, yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Mitos “Ambong” dan Realitas Kekerasan

Mitos “Ambong” dalam “Kabut Berduri” mencerminkan ketakutan kolektif masyarakat terhadap kejahatan yang tak tersentuh hukum. Dalam konteks masyarakat adat, mitos seperti ini bisa diasosiasikan dengan kekuatan-kekuatan alam atau leluhur yang dipercaya akan melindungi tanah adat dari pihak-pihak yang berniat jahat. Namun, dalam kenyataannya, masyarakat adat sering kali harus berhadapan dengan kekerasan nyata saat berusaha mempertahankan tanah mereka.

Ada banyak kasus di mana masyarakat adat yang mencoba melawan perusahaan besar berakhir dengan kriminalisasi, kekerasan, atau bahkan kematian. Perlawanan terhadap perampasan tanah sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak berwenang yang bersekutu dengan pemilik modal. Di sinilah mitos dan kenyataan bertemu. Kekerasan yang dihadapi oleh masyarakat adat mungkin tidak datang dari makhluk gaib, tetapi dari tangan manusia yang digerakkan oleh kekuatan uang dan kekuasaan.

Ketika hukum yang seharusnya melindungi mereka justru berpihak pada pihak yang lebih kuat, masyarakat adat sering kali merasa terisolasi dan kehilangan kepercayaan pada sistem. Namun, di tengah kegelapan ini, masyarakat adat tetap memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka menggunakan berbagai cara, dari aksi protes, advokasi hukum, hingga kampanye internasional untuk menarik perhatian dunia terhadap masalah yang mereka hadapi. Perjuangan ini bukanlah jalan yang mudah, seperti yang juga terlihat dalam cerita “Kabut Berduri,” di mana para tokoh harus menghadapi ancaman dan bahaya di setiap langkah mereka.

Menuju Masa Depan yang Lebih Adil

“Kabut Berduri” menggambarkan sebuah masyarakat yang terjebak dalam lingkaran kekerasan dan ketakutan, sebuah gambaran yang sayangnya tidak jauh berbeda dari realitas yang dihadapi oleh banyak masyarakat adat di Indonesia. Dalam menghadapi oligarki sawit dan tambang, masyarakat adat tidak hanya berjuang untuk tanah mereka, tetapi juga untuk masa depan mereka sebagai komunitas yang berdaulat dan berdaya.

Masa depan masyarakat adat bergantung pada sejauh mana kita semua, sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, bisa berdiri bersama mereka. Dengan semakin banyaknya kesadaran dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan cerita seperti “Kabut Berduri” tidak lagi menjadi cerminan dari kenyataan, tetapi semoga saja hanya sekadar fiksi yang mengingatkan kita untuk terus berjuang demi keadilan.

Hari ini, tanggal 9 Agustus adalah Hari Masyarakat Adat Sedunia. Kita perlu kembali diingatkan akan pentingnya melindungi dan mendukung kesejahteraan masyarakat adat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hari ini adalah momen refleksi untuk kita semua, untuk melihat kembali bagaimana kebijakan dan tindakan kita memengaruhi hak-hak mereka.

Masyarakat adat tidak hanya membutuhkan pengakuan simbolis, tetapi juga perlindungan nyata terhadap tanah, budaya, dan kehidupan mereka yang sering kali terancam oleh kepentingan ekonomi dan politik. Semoga kita bisa terus memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka, sehingga kisah-kisah kelam seperti yang tergambar dalam “Kabut Berduri” tidak lagi menjadi bagian dari kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari.

(AN)