
Sudah nonton Home Sweet Loan? Sebuah film yang mengisahkan kehidupan seorang perempuan bermama Kaluna. Ia terpaksa harus tinggal berdesak-desakan dengan keluarga kakak-kakaknya dalam satu rumah karena mereka kesulitan mencari rumah. Itulah yang membuatnya bercita-cita memiliki rumah sendiri. Karena tekadnya itu, ia menjadi pemudi yang sederhana, memilih menabung dari pada ikut-ikutan gaya hidup yang hedon. Ia lebih memilih makan siang di warteg saat teman-teman kantornya jajan di gerai restoran mahal, berdesak-desakan naik transportasi umum walaupun teman-temannya pamer kendaraan.
Karena gaya hidupnya yang sederhana itu, ia sempat bertengkar dengan pacarnya soal mobil jadul yang ia gunakan. Kaluna memiliki prinsip untuk mendahulukan kebutuhan dari pada keinginan. Alih-alih mendukung, pacarnya, bahkan keluarga sang pacar menentang keras gaya hidup sederhana Kaluna. Ketidaksamaan visi membuatnya untuk memutuskan hubungan percintaan yang telah lama dijalin. Kaluna sadar, bahwa pernikahan adalah kesamaan visi. Jika tak sejalan, buat apa dilanjutkan?
Ditemani besti satu kantornya, Kaluna menjelajah rumah demi rumah, dari yang baru hingga yang berhantu, dari yang jalannya penuh kemacetan hingga yang dekat kuburan. Hampir semua bentuk rumah sudah ia datangi. Tibalah saat ia menemukan rumah pujaan hatinya. Rumahnya indah, harganya pun ramah dengan susunan angka di tabungannya, meski agak jauh dari tempatnya bekerja, namun Kaluna tak mempermasalahkannya. Gayung pun bersambut, KPR yang diajukan melalui HRD kantornya mulai disetujui. Kaluna bahagia bukan main. Cita-citanya selama ini untuk memiliki rumah sendiri, dan dari tabungan sendiri akan segera terwujud.
Namun nahas rasa bahagia yang dialami Kaluna tidak bertahan lama, kakak laki-lakinya tertipu penjual tanah. SHM rumah yang akan dibeli ternyata ganda. Padahal belinya dari uang pensiun ayahnya dan hutang pinjol. Sebelumnya, kakak perempuannya mendapatkan pengalaman yang hampir sama, ditipu developer apartemen. Kaluna dilanda dilema, antara menolong keluarganya atau membiarkan mereka kehilangan rumah peninggalan engkongnya. Kaluna ternyata tak mau egois, ia yang sedari dulu mengalah demi kakaknya, harus kembali mengalah. Ia merelakan tabungannya untuk beli rumah demi menolong jerat hutang yang dialami keluarganya.
Kita, Generasi Muda Indonesia adalah Kaluna yang Tak Tersorot Kamera
Kaluna dan keluarganya mungkin tak sendirian. Ada banyak kaluna-kaluna atau kakak kaluna kakak kaluna lain yang ada di luaran sana. Kaluna mungkin seperti kita, anak millenial atau Gen Z yang sekarang nampaknya perlu menimang-nimang kalau punya mimpi mimiliki rumah. Kejadian-kejadian yang dialami Kaluna, termasuk keluarganya, benar-benar terjadi di dunia nyata warga +62.
Saya sendiri mengalami bagaimana susahnya bermimpi punya rumah di dekat tempat kerja. Jika pun ada, harganya pasti tak ketolong mahalnya, kalau pun murah, biasanya perlu dipertanyakan, entah dokumen legalnya, bangunannya, atau aksesnya yang bermasalah. Ada juga rumah murah, tapi ternyata bekas lokasi pembunuhan, sama seperti cerita Kaluna yang ternyata pemilik rumahnya dibunuh di rumahnya sendiri. Mengerikan, bukan?
Jangankan mimpi, sudah punya rumah saja ujuk-ujuk hilang tergusur. Di Tambun Bekasi misalnya, penghuni perumahan Cluster Setia Mekar Regency 2 harus rela tergusur dari rumah yang dibeli karena ternyata tanah di sana bermasalah. Padahal sudah sejak 30 tahun lalu ditempati. Bayangkan, sudah 30 tahun tinggal, bayar pajak, punya SHM, tapi ternyata tetap tergusur. Usut punya usut ternyata tanah itu bermasalah sejak sebelum dibangun menjadi perumahan. Kejadian seperti ini tentu sangat disayangkan, bagaimana bisa lembaga negara seperti BPN, kecolongan membuatkan SHM atas tanah yang masih bermasalah.
Ini menandakan bahwa para pemangku jabatan yang berwenang terkait tanah dan rumah ini tidak baik-baik saja. Perlu reformasi secara menyeluruh sistem pertanahan kita mulai dari hulu ke hilir. Dari mulai pejabat di teras bawah hingga yang paling atas, termasuk para pengembang dan masyarakat. Sebagai contoh, seorang teman bercerita, saat ia akan mengurus pemecahan sertifikat tanah di salah satu kota di Provinsi Banten, ada pejabat-pejabat dari mulai RT, Kelurahan, Kecamatan, hingga bagian pertanahan sendiri yang maunya dapat untung dari proses tanda tangan. Mereka memang tidak secara langsung minta-minta, tapi dengan hal-hal yang sifatnya tersirat. Kalau nggak ‘ngasih’ ya prosesnya bakal diperlambat. Bahkan ada pejabat tertentu dari mulai pejabat bawah sampai ke atas yang sudah terang-terangan menyebut nominal untuk satu tanda tangan.
Hal-hal seperti ini tentu sangat merugikan masyarakat. Negara seharusnya mengatur proses ini dari hulu ke hilir. Jika pun harus membayar tanda tangan pejabat-pejabat rakus itu, tentukan saja nominalnya dan prosesnya, tentu dengan nominal yang tidak memberatkan, dong. Satu lagi, berapa lama prosesnya. Dengan demikian dapat menutup pintu-pintu pungli yang nominalnya lebih besar dari pada gaji pokok pejabat-pejabat itu. Jangan sampai malah dijadikan ajang aji mumpung menambah pundi-pundi kekayaan.
Negara juga seharusnya dapat memberikan akses kepada masyarakat dengan mudah untuk mengecek secara live time, tanah yang akan dibeli, milik siapa, berapa luasnya, dan apakah tanah tersebut bermasalah, sengketa atau tidak. Selama ini yang ada hanya sekedar tanah yang terdaftar dan berapa luasnya. Sedangkan pemiliknya tak bisa dilacak. Bahkan dalam kasus Cluster Setia Mekar, tanah yang ternyata bermasalah juga tak ada pembedanya. Dengan demikian, ketika ada mafia-mafia tanah yang hendak menjual tanah secara ilegal, masyarakat bisa terhindar. Meskipun cuma 100-200 meter tanah, tapi masyarakat membelinya dengan menabung bertahun-tahun, loh.
Rakusnya Pengembang Kapitalis
Sementara di belahan bumi yang lain, satu orang kaya bisa mengapling laut seenaknya, memagari laut, menghambat nelayan mencari nafkah demi keuntungannya sendiri.Giliran tertangkap basah, masih sempat menyewa buzzer, menyewa lawyer, yang mungkin buat kami-kami yang masih mimpi punya rumah, harganya bisa jadi satu rumah sendiri. Jika ada yang perlu disalahkan, kenapa masyarakat khususnya generasi muda tak bisa membeli rumah, ya, para pengembang rakus ini. Merekalah yang tiba-tiba menaikkan harga tanah dan rumah seenaknya sendiri hanya karena di area tersebut direncanakan akan dibangun fasilitas A atau B. Mereka juga yang memonopoli tanah yang ada di negeri ini dengan berbagai konsesi dan hak guna yang diberikan pemerintah.
Maka jika negara mau membantu kami-kami yang masih muda untuk membeli rumah, negara bisa memperbaiki sistem tersebut, dengan memangkas sebanyak mungkin saluran-saluran yang membuat kelompok-kelompok rakus menggigit para pemimpi home sweet home ini. Rumah subsidi yang lokasinya jauh dari antah berantah, pembangunan rusunawa, hingga diskon KPR, tak akan membantu kalau sistem dari hulu ke hilirnya tidak diperbaiki.
(AN)