Niat Zakat Fitrah dilihat Dari Pelakunya
Zakat fitrah merupakan jenis ibadah yang membutuhkan niat. Melihat tatacara pelaksanaan zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain (yang menanggung nafkahnya atau yang mendapat izin dari orang yang dizakati), maka pelaku niat dalam zakat fitrah ada tiga macam :
- Zakat untuk dirinya sendiri. Apabila zakat fitrah atas nama dirinya sendiri (pelaku zakat), maka yang niat adalah pelaku zakat itu sendiri (muzakkî).
- Zakat untuk orang yang ditanggung fitrahnya. Apabila zakat atas nama orang lain, yang fitrahnya menjadi tanggung jawab dari pelaku zakat, maka yang melakukan niat adalah pelaku zakat tanpa harus mendapat izin dari orang yang dizakati. Seperti seorang suami mengeluarkan zakat atas nama istrinya yang taat, anaknya yang masih kecil, orang tua yang tidak mampu.Diperbolehkan bagi muzakki, untuk memberikan zakat tersebut pada orang yang ditanggung fitrahnya (semisal diberikan kepada istrinya)agar dia melakukan niat sendiri.
- Zakat untuk orang yang tidak ditanggug fitrahnya. Apabila zakat atas nama orang lain, yang fitrahnya tidak menjadi tanggung jawab dari muzakki, maka zakat dan niat dari pelaku zakat dihukumi sah dengan syarat sudah mendapat izin dari orang yang dizakati.
Seperti seorang pelaku zakat mengeluarkan zakat atas nama orang lain atau anaknya yang sudah baligh (yang fitrahnya tidak menjadi tanggungan muzakki) Maka zakat dan niat dari pelaku zakat dihukumi sah (bisa menggugurkan kewajiban fitrahnya orang yang dizakati) jika muzakki sudah mendapat izin dari orang yang dizakati. (Fath al-Wahhab, juz.1, hal.115 dan 117).
- Mekanisme Niat
Berikut ini tata cara niat zakat fitrah :
- Zakat untuk dirinya sendiri :
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri,karena Allah SWT “.
- Zakat untuk orang yang fitrahnya menjadi tanggung jawab muzakki
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ/ وَلَدِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk istriku/anakku,karena Allah SWT “.
Zakat untuk orang lain yang tidak menjadi tanggung jawab muzakki atas seizinnya:
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَيْدٍ لِلهِ تَعَالَى
“Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk Zaid,karena Allah SWT “.
Pelaksanaan Niat
Niat zakat fitrah boleh dilakukan pada salah satu tiga kondisi sebagai berikut:
- Saat memisahkan makanan pokok yang digunakan berzakat
- Saat memberikan zakat pada pihak yang berhak menerimanya (mustahiq)
- Saat menyerahkan zakat kepada wakil untuk kemudian diberikan kepada mustahiq Zakat. (al-Taqrirat al-Sadidah, hal.418).
Waktu Menunaikan Zakat Fitrah
Berdasarkan petunjuk hadits Ibnu Umar, zakat fitrah sebaiknya dikeluarkan sebelum manusia keluar menuju tempat shalat Idul Fitri. Secara lebih rinci, waktu mengeluarkan zakat fitrah dapat diklasifikasikan ke dalam 5 waktu sebagai berikut:
- Waktu jawâz (waktu boleh), yaitu sejak awalnya bulan Ramadlan sampai memasuki waktu wajib (malam hari raya). Artinya zakat fitrah boleh dikeluarkan sejak awalnya bulan Ramadlan, bukan sebelum Ramadlan.
- Waktu wajib yaitu, ketika menemui bulan Ramadlan dan menemui sebagaian awalnya bulan syawal. Oleh sebab itu orang yang meninggal setelah magribnya malam satu syawal, wajib dizakati. Sedangkan bayi yang lahir setelah maghribnya malam satu syawal tidak wajib dizakati.
- Waktu sunnah yaitu, sebelum melakukan shalat Idul Fitri. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah saw. dan sesuai dengan hikmah diwajibkannya zakat fitrah “mencukupi kebutuhan fakir miskin di hari raya”.
- Waktu makruh yaitu, setelah selesai shalat Idul Fitri sampai menjelang tenggelamnya matahari pada tanggal 1 syawal.
- Waktu haram yaitu, setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 syawal. Mengakhirkan zakat fitrah hingga waktu tersebut hukumnya haram apabila tidak ada udzur. Jika terdapat udzur, seperti hartanya tidak ada ditempat muzakki atau menunggu orang yang berhak menerima zakat, maka hukumnya tidak haram. Sedangkan status dari zakat yang dikeluarkan setelah tanggal 1 syawal adalah qadlâ’. (al-Taqrirat al-Sadidah, hal.418).
Wallahu a’lam bis shawab
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Pesantren (KLP), tinggal di Kediri