Maraknya ustaz-ustaz malpraktik, yang memanipulasi teks agama untuk meligitimasi pemikirannya adalah salah satu fenomena yang terjadi di era modern saat ini. Ya, belakangan ini tampak semakin meriah saja ustaz-ustaz atau pendakwah baru yang dibesarkan oleh media, dengan kualitas keilmuannya yang tidak seberapa.
Bahkan dalam mengartikan kata berbahasa Arab saja mereka seringkali keliru, apalagi mengartikan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka yang disebut ustaz bahkan disebut ulama, ternyata belajarnya belum selesai, tetapi keburu pengen tampil ke ruang publik. Padahal Ibnu Atho’illah as-Sakandary sudah berpesan;
إدفن وجوداك في أرض الخمول فما نبت مما لم يدفن لايتم نتاجه
“Tanamkanlah kewujudanmu di dalam bumi ketersembunyian (yang tidak dikenali orang), karena segala yang tumbuh dari yang tidak ditanam, pertumbuhannya tidak akan menjadi sempuna.”
Munculnya fenomenya ustaz-ustaz pintar baru ini, kemudian memunculkan pertanyaan: di mana gerangan orang-orang yang sudah belajar di pesantren bertahun-tahun, dan membaca kitab dalam jumlah ratusan bahkan ribuan, juga paham bahasa Arab dengan baik, plus kuliah di Timur Tengah bertahun-tahun dan ngaji dengan ulama yang ada di sana?
Lalu, bagaimana bisa media sosial kita banyak dipenuhi orang-orang seperti Maher at-Thuawilibi, Sugik Nur, dan kawan-kawannya yang isi pidatonya hanyalah umpatan dan kebencian kepada sesama, disertai dengan manipulasi dan pemerkosaan terhadap dalil agama?
Bukankah ajaran Islam adalah ajaran yang penuh dengan kasih sayang, kelembutan, toleransi dan keluhuran budi pekerti sebagaimana diajarkan oleh Nabi Saw?
Merebaknya para pendakwah atau penceramah yang tidak menguasai ilmu tentang Islam menunjukkan bahwa ada sebuah tantangan besar yang menanti, yaitu: mereka yang kompeten dan mempunyai ilmu untuk memahami teks-teks agama sudah saatnya untuk keluar dari jalan ninja ketersembunyiannya, lalu muncul ke permukaan, dan mengikrarkan diri sebagai orang yang mempunyai ilmu dan berilmu.
Hal ini tidak lain supaya perihal urusan agama ini benar-benar dipegang oleh ahlinya. Bukan sebaliknya, malah diampu oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan memahami agama Islam, namun tiba-tiba berbicara tentang Islam semaunya sendiri.
Karena menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tinggal menunggu kehancurannya. Dan Nabi Saw berabad-abad yang lalu sudah memperingatkan tentang hal ini:
إذا وسد (أسند) الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
“Jika sebuah urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”
Mengikrarkan diri sebagai orang yang berilmu, dengan demikian, selain bagian dari upaya tidak menyerahkan urusan agama ke yang bukan ahlinya, juga merupakan upaya agar ilmu yang dimiliki benar-benar menjadi bermanfaat untuk semua.
Bukankah ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang diamalkan?
Dan, ya, praktek pengamalan itu bukan hanya sekedar menerapkan dan melakukannya ke dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menyebarkan, serta mendakwahkannya kepada mereka yang tidak tahu. Karena ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak berbuah, yaitu tidak bisa diambil manfaatnya.
Meski begitu, ada berbagai hal yang menjadikan orang-orang ragu untuk menonjolkan dan menampakkan keilmuan yang dimilikinya. Beberapa di antaranya adalah rasa tidak percaya diri, takut salah, dan tawadhu kepada para gurunya atau mereka yang lebih senior.
Perihal tidak percaya diri mungkin tergolong sesuatu yang wajar belaka, sehingga hanya butuh sedikit keberanian untuk menghilangkannya. Adapun jika takut salah, kita semua bukanlah Nabi Muhammad saw yang ma’shum dan terjaga dari kesalahan, jadi kenapa musti takut salah? Bukankah manusia memang tempatnya salah dan lupa?
Lagi pula, yang menjadi soal bukanlah takut salah, tetapi ketika orang-orang yang mengerti agama membiarkan mereka yang serampangan dalam menafsirkan teks agama, dan menyebarkan kefatalan itu dengan berbagai kengeyelan dan merasa paling benar, bahkan menganggap yang tidak sepaham adalah salah dan kafir. Itulah yang seharusnya menjadi rasa takut dalam diri setiap orang yang berilmu.
Lalu, problem lain yang dihadapi oleh orang-orang yang mempunyai ilmu adalah menjaga ketawadhuan kepada para gurunya, sehingga merasa ragu untuk menunjukkan keilmuannya di depan orang banyak.
Padahal, rasa tawadhu tersebut seharusnya ditempatkan pada tempat yang sesuai. Karena jika melihat orang-orang yang mendakwahkan agama adalah mereka yang tidak berilmu, yang tidak paham teks-teks keagamaan, yang tidak bisa bahasa Arab dengan benar dan sederet kesalahan dalam memahami dan mendakwahkan Islam, masih pantaskah kita mendahulukan rasa ketawadhuan dii tengah merebaknya orang-orang seperti itu?
Inilah yang seharusnya kembali direnungkan, bahwasanya tawadhu itu ada tempatnya. Bukan melakukannya di semua keadaan dan tempat.
Dari sini, sangat penting sekali mengikrarkan diri sebagai orang yang mempunyai ilmu, dengan catatan memang mempunyai keilmuan yang mumpuni dan mempunyai akhlak. Sebuah dosa besar dan kriminalitas tingkat tinggi, jika hal ini tidak dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keilmuan yang mumpuni, untuk mengikrarkan diri sebagai orang yang berilmu, kemudian mengajarkan dan menyebarkannya kepada masyarakat umum.
Pasalnya, hal tersebut sama saja membiarkan masyarakat yang masih awam dijejali ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi ajaran-ajaran tersebut, bersumber dari malpraktik memahami teks agama, yang saat ini tidak hanya disebarkan melalui pengajian-kajian keagamaan, tetapi juga telah menyusup ke dalam industri perfilman dan berbagai acara televisi, yang tidak hanya ditonton oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak.
Ringkasnya, mereka yang tidak berakhlak dalam mendakwah Islam, sejatinya bukan sedang mendakwahkan syari’at Islam, sebab, sekali lagi, mendakwahkan syari’at Islam tidak hanya membutuhkan ilmu, tetapi juga membutuhkan akhlak.
Sebagaimana Rasulullah Saw yang diutus tidak hanya untuk mendakwahkan Islam, tetapi juga menyempurnakan akhlak. Sekali lagi, sangat penting untuk mengikrarkan diri sebagai orang berilmu. Ini tentu saja bukan berarti sombong karena punya banyak ilmu, tetapi karena menyombong kepada orang-orang sombong yang tidak berilmu, dan kepada yang merasa paling benar adalah bagian dari sedekah.
BACA JUGA Hafalan Qur’an Ustaz Maaher At-Thuwailibi dan Alarm Bagi Warga Pesantren Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini