Hari-hari ini, kita begitu terteror oleh angka-angka. Ya, angka-angka kenaikan jumlah pasien positif terjangkit pandemi Corona, atau Coronavirus Disease (Covid-19) yang terus bertambah. Di tengah-tengah kecemasan atas teror angka-angka itu, rupanya masih ada secercah harapan untuk bangkit dari situasi ini. Kekuatan masyarakat sipil mampu bangkit untuk memupuk solidaritas sosial.
Di tengah kelambanan sikap pemerintah, antar warga masyarakat saling mengingatkan untuk melakukan pencegahan diri dari pandemi Corona. Antar warga menginisiasi untuk melakukan isolasi diri secara mandiri dari kehidupan publik. Warga diajak untuk menjauhi tempat-tempat kerumunan orang banyak yang memiliki kemungkinan penularan yang tinggi (social distance).
Walaupun ada secercah harapan untuk bangkit, namun tetap saja ada suara-suara sumbang yang membuat penyesatan informasi perihal virus dengan meligitimasinya dengan dalil agama yang serampangan. Penyesatan informasi tersebut berujung kepada pengabaian penanganan secara efektif atas pandemi Corona yang sedang terjadi.
Berbagai penyesatan informasi dengan legitimasi dalil agama tersebut seolah mengingatkan kita kepada perseteruan lama antara agama dengan sains. Pada masa awal geliat perkembangan sains, ia mendapat penolakan dari agamawan yang menganggapnya sebagai sebuah kesesatan dan melawan kehendak Tuhan. Berbagai penemuan sains, misalnya penemuan Heliosentrisme ala Copernicus , dianggap menentang dalil al-Kitab.
Melihat munculnya sikap-sikap yang kontraproduktif yang seperti ini, saya teringat dengan salah satu cerpen maestro sastra fiksi sejarah kita, Iksaka Banu. Dalam cerpen yang berjudul “Variola (2019)”, Banu mengangkat latar peristiwa wabah virus Cacar di Bali pada tahun 1871 yang memangsa ribuan jiwa penduduk.
Pada masa itu, Officer van Gezondheid (petugas Kesehatan) negara Hindia Belanda sedang berjibaku untuk menghentikan penyebaran virus tersebut. Saat itu, para dokter sedang kebingunan memikirkan strategi pengiriman vaksin Cacar dari Jawa ke Bali.
Sebab, dengan modal teknologi zaman itu, pengiriman vaksin dari Jawa ke Bali memakan waktu yang panjang dan akan membuat vaksin kadaluwarsa. Maka harus ada opsi lain. Alternatifnya adalah dengan melakukan inokulasi, menitipkan bakteri Cacar kepada tubuh anak-anak yang sudah kebal dengan virus tersebut. Kemudian, nanti bakteri tersebut akan dipanen dan dijadikan vaksin ketika sudah sampai Bali.
Namun, rupanya solusi tersebut masih mendapat hambatan lanjutan, yakni ketika dokter menemui seorang Pastur untuk izin meminjam salah seorang anak panti asuhan di bawah otoritasnya. Sang Pastur menolak. Menurutnya, hal itu melawan takdir Tuhan.
“Sadarkah, bahwa di sini Tuan sebenarnya sedang berusaha mencampuri urusan Tuhan?” ujar sang Pastur.
Sang Pastur menolak tindakan sains yang bakal dilakukan oleh dokter. Tindakan sains dari dokter tersebut, oleh Pastur dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap kehendak Tuhan. Peristiwa demikian itu, dalam cerpen Iksaka Banu, diceritakan terjadi di negara kolonial Hindia Belanda, negeri dengan spirit memberadabkan warga pribumi dengan medium sains dan menolak klenik.
Namun, rupanya praktik-praktik penolakan terhadap sains di negeri kolonial yang punya spirit peradaban sains modern Barat itu masih tetap ada. Aktornya, lagi-lagi adalah kaum agamawan yang konservatif, membenturkan sains dengan dalil-dalil agama.
Walaupun kisah di cerpen ini sepenuhnya fiksi, namun ini adalah fiksi sejarah. Artinya, ia tetap memiliki pijakan pada fakta sejarah. Ia tak bisa dianggap sepenuhnya rekaan dan tak dapat dianggap sepenuhnya benar.
Setidaknya, dari karya sastra seperti ini dapat kita jadikan bahan untuk refleksi atas situasi kekinian yang sedang kita alami. Bukankah sikap-sikap penolakan akan sains dalam menangani virius seperti Covid-19 juga sedang terjadi belakangan ini?
Bayangkan saja, di hari-hari penuh kegentingan dalam upaya pencegahan terhadap penyebaran virus Covid-19 seperti ini, masih ada saja pernyatan-pernyataan yang menolak ajakan untuk menjauh sejenak terhadap tempat-tempat kerumunan.
Walaupun sudah ada fatwa dari ulama’ al-Azhar dan berbagai otoritas keagamaan lainnya yang menganjurkan supaya salat di rumah masing-masing dan menjauhi kerumunan, namun tetap saja ada pernyataan-pernyataan seperti ini. “Hidup dan mati sudah diatur oleh Allah. Kalau sudah waktunya mati, ya mati. Kalau belum, ya tidak akan mungkin mati.” Atau, “Saya tidak takut Corona, hanya takut kepada Allah.”
Tak hanya itu, namun masih ada pernyataan serupa yang bertebaran. Misalnya, “Corona telah merusak tatanan agama. Sholat di masjid tak boleh lama-lama. Iktikaf atau berdiam diri di masjid tak dianjurkan. Bersilaturrahim harus dihindari. Bersalaman pun harus dijauhi.” Ada pula yang berujar, “Jangan tinggalkan masjid karena takut Corona.”
Benar saja, bentuk-bentuk penolakan terhadap tindakan medis yang berpijak pada sains tersebut masih tetap saja ada. Ya, itu masih terjadi pada masa ini, setelah lebih dari satu abad peristiwa zaman kolonial itu terjadi.
Rupanya, di tengah gegap gempita perubahan dunia yang begitu cepat, ternyata masih saja ada manusia-manusia yang memilih tinggal di belakang sana, tak bergeming dengan kemajuan dan sains, dan abai terhadap bahaya pandemi corona. Mereka hidup bermodalkan klenik dan mitos dari ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Duh Gusti!! Hamba mbrebes mili.