Pada abad kedua hijriah, ada seorang perempuan berlarian di tengah kota Baghdad dengan menenteng ember berisi air di tangan kanan dan memegang obor menyala di tangan kiri. Ia hendak membakar surga dengan apinya dan memadamkan neraka dengan airnya, supaya orang tidak lagi mengharap surga dan menakutkan neraka dalam setiap ibadahnya.
Perempuan itu adalah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang terkenal akan keikhlasannya dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Rabiah bergelar Syahidatul ‘Isyqil Ilahi (perempuan yang syahid oleh kerinduan ilahi). Keikhlasan ibadahnya adalah bukti bahwa kerinduan dan cintanya pada Ilahi sudah tak bisa lagi diukur oleh tendensi pamrih atau hukuman. Rabiah telah sampai pada tataran sadar dan memahami cara bertuhan, tidak sekadar menjadi seorang beragama yang penuh perhitungan matematis.
Kini, kita hidup beribu tahun setelah masa Sang Sufi. Zaman berubah, pemahaman manusia pada agama terus berkembang. Selisih paham yang menimbulkan konflik, perang, dan segala bentuk kekerasan seakan tak pernah menjadi pelajaran berharga bagi setiap generasi mendatang. Lebih sakit lagi, semua dilakukan atas nama agama, kehormatan, dan surga yang sangat paradoks dengan cara-cara untuk meraihnya.
Belum lagi, di generasi kita selalu muncul orang-orang dengan pemahaman agama dangkal tapi percaya diri, mendaku sebagai agamawan yang otoritatif, menjual “kulit-kulit agama” dengan mengabaikan esensi dan konteks yang sangat penting. Kelompok seperti ini nyata. Mereka ada di sekitar kita.
Dari sinilah sebenarnya masalah yang lebih besar muncul. Ketika orang-orang beragama, para umat Islam yang tulus ingin mendalami agamanya itu, dalam satu titik salah melangkah dan terjerumus dalam lingkungan religius yang ilusif, maka gelombang “Islam permukaan” akan menjadi fenomena yang sulit dibendung. Masalahnya, ketika gelombang pemahaman Islam tak dipahami sampai intinya dan didukung oleh perangkat keilmuan yang memadai, sangat rawan diseret untuk kepentingan tertentu (politik, komoditas ekonomi, sumber daya sosial), bahkan bisa berujung pada tindak kekerasan mengatasnamakan agama.
Apa yang saya sebut sebagai kulit atau permukaan agama sebenarnya sangat mudah ditemui dalam relasi sosial kita. Atau kalau mau melihatnya sebagai suatu fenomena riil banyak juga contoh-contohnya.
Sebut saja para muslim yang gemar memakai campuran bahasa Arab dalam perbincangan sehari-hari. Kita sering menemukan seseorang menyebut ana, antum, akhi, ukhti, syukron, afwan, liqo, ta’aruf, dan kata-kata lain yang sebenarnya sangat mungkin diucapkan dengan bahasa Indonesia.
Apakah itu salah? Tidak juga. Hal ini sama saja dengan kalau kita mencampur bahasa Inggris atau bahasa daerah masing-masing dalam percakapan bahasa Indonesia. Yang membedakan adalah motif. Anak-anak muda Jakarta Selatan barangkali sebatas terbiasa karena lingkungan yang selalu mencampur bahasa Inggris. Anak-anak dari daerah yang merantau ke kota sekali dua kali pasti keceplosan menggunakan bahasa daerahnya saat refleks yang tak disadari, atau ketika tidak menemukan padanan kosakata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Sedangkan para muslim pengguna bahasa Arab seringkali berangkat dari pemikiran bahwa bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an dan bahasa mulia yang diucapkan Nabi Muhammad.
Lalu apa yang membuatnya menjadi dangkal? Absennya ilmu dan akhlak. Dua hal yang sangat penting dalam agama. Seorang muslim yang mencintai bahasa Arab, dilengkapi dengan keilmuan yang mumpuni, tidak akan naik pitam ketika melihat tulisan Arab di baju Agnes Monica bertuliskan al-muttahidah karena dianggap menistakan al-Qur’an. Sebab jika mereka tahu arti sebenarnya adalah kesatuan. Atau mendadak arogan kepada sandal jepit cuma karena bertuliskan yamin dan syimal yang artinya kanan dan kiri. Orang-orang seperti ini tidak bisa membedakan mana bahasa sebagai budaya dan sebagai pedoman agama.
Menyangkut akhlak lebih genting lagi. Saya menyadari bahwa penggunaan bahasa Arab dalam lingkungan muslim Indonesia adalah bagian dari semangat religiusitas yang tinggi, yang bermuara pada semangat positif dalam kehidupan. Tapi apa gunanya kalau kita sering berujar afwan untuk meminta maaf, tapi suka memaksakan kebenaran sendiri dan berujung menyakiti perasaan orang lain? Apa pula guna mengucap ta’aruf untuk mengganti diksi saling mengenal dengan lawan jenis, tapi memandang perempuan hanya sebagai pemuas nafsu belaka, atau ringan tangan pada istri sendiri karena marasa superior sebagai imam rumah tangga?
Menyangkut hubungan rumah tangga ini, saya jadi ingat kalau belakangan sering berseliweran poster seminar poligami. Seminar ini juga tidak jauh-jauh dari gejala “Islam permukaan” yang akut. Mereka yang menamakan diri praktisi ini sepertinya memang hobi sekali memoles sesuatu yang mereka anggap sunnah menjadi produk yang terlihat penting dan perlu dilakukan oleh semua lelaki muslim dewasa.
Mereka menampik sejarah poligami pada masa Nabi yang sebenarnya berawal dari semangat membatasi, bukan menambah jumlah istri. Lagi pula kalaupun poligami adalah syariat, seharusnya Nabi sudah melakukannya sejak bersama Siti Khadijah. Nabi juga akan memerintah Sahabat Ali untuk mempoligami putrinya, Fatimah. Tapi kenyataannya tidak. Nabi melarang Ali memadu Fatimah. Nabi juga baru menikah lagi setelah Khadijah wafat, itu pun secara periode jangka monogami Nabi lebih lama daripada poligaminya.
Gelombang orang-orang mendadak religius ini sedikit banyak dipengaruhi oleh para agamawan yang superfisial pula. Masyarakat kita masih gemar sekali mengelu-elukan pendakwah berlatar belakang mualaf, motivator, artis, hingga bekas napi. Bukan dari latar belakang keilmuan agama yang telah ditimba sejak lama dari guru-guru yang menjaga sanad keilmuannya. Para ustadz berpenampilan rapi ini sering sekali melakukan blunder, bahkan untuk hal-hal fundamental dalam ceramahnya: mulai dari rusaknya bacaan tajwid al-Qur’an, menafsirkan ayat tanpa landasan ilmu, hingga hasutan halus untuk membenci sesama. Hal ini menandakan bahwa kemampuan ilmu agama mereka hanya sebatas itu, hanya saja modal percaya diri dan kemampuan berbicara di depan publik yang baik membuatnya di-panggung-kan.
Ekses dari segala ajaran “Islam permukaan” di atas barangkali tidaklah fatal. Meski kalau dibiarkan terus menerus masyarakat kita akan semakin bebal, mengagungkan simbol daripada substansi, dan terpecah belah karena tak mengakomodir heterogenitas. Dalam tataran ekstrem, Islam permukaan ini bisa menempatkan pemahaman pada Islam yang belum tentu benar, di atas nilai-nilai universal seperti kemanusiaan dan keadilan..
Aksi-aksi kekerasan oleh kelompok pembela Islam, persekusi pada kelompok rentan dengan dalih sesat, pengeboman oleh para teroris pengatasnama jihad, semua semakin menebali bahwa pemahaman kita masih belum bisa sampai pada level inti agama yang penuh cinta kasih, memuliakan derajat manusia, dan menegakkan keadilan di atas moralitas semu yang kita ciptakan sendiri.
Sebagaimana Rabiah al-Adawiyah yang telah berhasil melepas ego keagamaannya, seharusnya kita juga mampu menyelami ajaran Islam semakin dalam lagi. Semakin dalam kita menyelam, semakin tercermin pula sifat kita oleh sifat-sifat mulia Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semakin mendekat pula kita pada cinta Ilahi yang seharusnya menjadi titik akhir peraduan manusia.