Farag Fouda merupakan seorang pemikir berpengaruh, penulis, aktivis Hak Asasi Manusia dan kolumnis berpengaruh di Mesir. Beliau lahir di Danietta dekat Delta Niel pada 20 Agustus 1945 M. Perjalanan pendidikannya sama sekali tidak bersinggungan dengan dunia studi keislaman, akan tetapi dalam dunia pendidikan umum.
Hal ini bisa kita lihat dari beberapa gelar akademiknya, yaitu dengan mendapatkan gelar Bachelor di bidang pertanian, kemudian Master of Science bidang pertanian dan Ph.D di bidang ekonomi pertanian dari Universitas Ain Syams.
Dalam kesehariannya, Farag Fouda merupakan politisi, aktivis sosial, dan HAM. Yang selalu menyuarakan tentang kebebasan berfikir, dan berekspresi. Seumur hidupnya juga digunakan untuk menolak formalisasi hukum Islam dan pendirian khilafah yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis di Mesir waktu itu.
Pada tahun 1984, Farag Fouda meninggalkan partai Al-Wafd, karena partai tersebut berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin dalam pemilihan parlemen. Pada waktu itu, Farag Fouda berseberangan dengan Syekh Shalah Abu Ismail yang merupakan ayah dari pemimpin kelompok Salafi Mesir yaitu Hazem Abu Ismail.
Aktivitas Farag Fouda dalam lembaga swadaya masyarakat khusus HAM, yaitu The Egyptian Society for Enlightenment, membawanya terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan politik Islam, khususnya tentang diskursus pemisahan agama dan negara.
Munculnya Farag Fouda dan para pemikir Islam lain yang berlatarbelakang bidang keilmuan umum, tidak lain adalah efek dari kekalahan Arab dalam perang enam hari melawan Israel pada tahun 1967. Pasca perang tersebut, gejala para pemikir liberal yang membawa semangat pembaharuan dan sekularisme mulai bermunculan.
Kubu yang mengklaim sebagai kelompok Islamis selalu menyederhanakan faktor kekalahan karena factor agama. Hal ini menjadi motivasi bagi Farag Fouda untuk memperdebatkan Islam dan modernitas. Fouda memberikan sebuah tafsir baru atas Islam, sekaligus menawarkan sebuah jalan bagaimana seharusnya umat Islam melihat masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Para pemikir pembaharu Islam seperti Farag Fouda, dalam tulisan-tulisannya melontarkan kritik atas kelemahan cara pandang kaum Islamis, yang menurutnya tidak mau mendialogkan antara agama dan modernitas.
Pemikiran-pemikiran kritis Farag Fouda bisa kita lihat dalam karya-karyanya, seperti Al-Haqiqah Al-Ghaibah, Qabla al-Suquth, Hiwar Hawla al-Almaniyah dan lainnya. Dalam bukunya Al-Haqiqah Al-Ghaibah, Farag Fouda menuliskan pemikiran kritisnya terhadap sejarah kelam kekhalifahan Islam, dari zaman sahabat hingga daulah abbasiyah.
Buku Al-Haqiqah Al-Ghaibah disebut sebagai salah satu buku, yang menjadi dasar terhadap pembunuhan Farag Fouda oleh kelompok fundamentalis Islam, Al-Jama’ah Al-Islamiyah. Dalam buku-bukunya, Farag Fouda banyak mengkritik dunia politik Islam masa lalu. Bisa dibilang, Farag Fouda adalah salah satu kritikus yang paling berani mengkritik kelompok-kelompok fundamental Islam.
Dalam mengkritik kaum Islamis, Farag Fouda menggunakan fakta sejarah yang sudah hilang dalam otak para kaum Islamis. Beliau sering menggunakan fakta tersebut untuk menunjukkan keadaan yang bertolak belakang dari pemahaman lawan debatnya, dengan menggunakan selera humor yang begitu tajam.
Kritik-kritik yang dikeluarkan oleh Farag Fouda, juga bersumber dari kitab-kitab klasik yang tentu saja bisa diakses dan dibaca oleh kaum Islami Fundamental. Kerinduan para kaum Islami Fundamental akan kegemilangan Islam, di zaman sahabat Nabi dan Khulafa’ ar-Rasyidin dijawab dengan sebuah pandangan bahwa zaman tersebut merupakan zaman biasa.
Bahkan Farag Fouda menganggap, pada zaman tersebut banyak jejak memalukan, karena tiga dari empat Khulafa’ ar-Rasyidin, justru wafat karena pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi di antara para pengikut Nabi.
Farag Fouda juga mengungkapkan pandangan yang tentu saja memicu kemarahan kelompok Islam Fundamental, yang memang tidak mau membaca dan belajar tentang sejarah Islam.
Kelompok Islamis ini dikritik dengan sebuah pandangan bahwa di zaman Dinasti Umayyah dan Abbasiyah banyak khalifah yang brutal, brengsek dan biadab. Farag Fouda mengungkap kebiasaan para khalifah yang hidup hedonis, main perempuan dan lain sebagainya, bahkan ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa pendiri Dinasti Abbasiyah adalah seorang penjagal, karena mengundang 90 anggota keluarga Dinasti Umayyah makan malam dan menyiksa mereka sebelum membunuhnya.
Keberanian Farag Fouda melontarkan kritik dan mengungkap sisi kelam dunia politik Islam dianggap oleh para ulama kelompok Islam Fundamental sebagai sebuah pelecehan terhadap Islam. Sehingga pada tahun 1992 tepatnya 8 Juni, Farag Fouda ditembak oleh dua orang bertopeng yang merupakan simpatisan Jama’ah Islamiyah.
Sehari sebelum dibunuh, Jamaah Islamiyah telah menyatakan bahwa Farag Fouda telah murtad, karena pemikirannya dan mendukung sistem hukum yang sudah ada di Mesir daripada menerapkan syariat Islam.
Sebelumnya, sekelompok ulama di Mesir telah mengeluarkan pernyataan bahwa Farag Fouda telah menghujat, bahkan dianggap telah keluar dari Islam Islam karena pemikiran dan tulisan-tulisannya.
Syekh Muhammad Al-Ghazali yang merupakan anggota Al-Azhar’s Islamic Research Council, yang juga merupakan salah satu ulama yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Ketika menjadi saksi ahli di pengadilan terhadap dua pembunuh Farag Fouda juga memberikan pembelaan.
Syekh Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa itu adalah tugas pemerintah untuk menghukum mati mereka yang dinilai murtad dari Islam, jika pemerintah tidak mampu melakukannya, maka orang lain memiliki hak untuk melakukannya.
Ketika salah satu pembunuh Farag Fouda ditanya alasannya membunuh, sang pembunuh menjawab karena buku-buku karyanya. Ketika ditanya buku yang dianggap bermasalah, ia menjawab, “saya tidak tahu bagaimana membaca.”
Para pembunuh Farag Fouda merupakan korban doktrin dari kelompok radikal yang tidak tahu sama sekali tentang Islam yang dimanipulasi dengan janji surga dengan bidadarinya.