Benarkah Wahabi melakukan pembunuhan kepada sesama umat Islam? Melakukan penghancuran terhadap situs-situs kebudayaan yang menjadi warisan peradaban umat Islam? Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Membaca sejarah Wahabi, terutama pada masa awal sampai dekade kedua abad ke-20, kita seakan disuguhi tentang narasi pemberontakan. Di satu sisi, ada kehendak yang kuat dari Muhammad Ibn Abdul Wahhab untuk melakukan pemurnian ajaran Islam yang berpandangan bahwa takhayul, bid’ah, dan khurafat sebagai penyebab kemunduran peradaban Islam. Di sisi lain, terdapat motif politik kekuasaan yang ingin dicapai oleh Muhammad Ibn Saud.
Dalam hal ini, kita menyaksikan bagaimana paham keagamaan bersekutu, berkolaborasi atau bersenyawa dengan kekuatan politik. Islam kemudian dijadikan legitimasi atas segenap pembunuhan, penjarahan, dan genosida kebudayaan yang dilakukan oleh kaum Wahhabi.
Dalam sejarah Islam klasik pemaksaan terhadap paham keagamaan oleh penguasa ini terjadi pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah. Kita mengenal peristiwa mihnah di mana Imam Ahmad ibn Hanbal dijebloskan ke dalam penjara karena menolak doktrin kemakhlukan Al-Quran sebagaimana yang diyakini Mu’tazilah selaku madzhab resmi Dinasti Abbasiyah kala itu. Bahkan, Ahmad ibn Nashr al-Khaza’i, penerus Imam Ahmad ibn Hanbal, dihukum mati dan banyak pengikutnya dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jamaah dipenjara.
Melalui karya Nur Khalik Ridwan kitaa bisa menyaksikan kolaborasi antara Wahhabisme dan Muhammad ibn Saud yang telah menyatukan antara agama dan kekuasaan. Doktrin jihad dan seruan kepada ajaran tauhid versi Wahhabi dicatat oleh sejarah sebagai salah satu babak kelam dan berdarah di balik berdirinya Kerajaan Saudi Arabia saat ini. Dengan menggunakan kekuatan militer, kelompok Wahhabi melakukan ekspansi militer, menundukkan daerah-daerah di Jazirah Arabia, dan pembunuhan kepada sesama Muslim yang tidak mau tunduk dan mengikuti Islam versi Wahhabi.
Salah satu serangan kaum Wahhabi yang paling mengerikan, kata Ridwan, adalah saat menyerang Karbala. Sebagaimana ditulis Yaroslav Trofimov tentara Wahhabi menghancurkan kubah-kubah di makam Imam Husain, membakar universitas, masjid, dan tidak kurang dari 4.000 nyawa melayang. Mereka juga merampas 4.000 unta untuk dibawa pulang ke Nejd, markas mereka (hlm. 320-321). Pada tahun 1920-an saat melakukan penaklukan terhadap Jazirah Arab dikabarkan telah menewaskan korban tidak kurang dari 400 ribu orang, baik dieksekusi secara publik maupun diamputasi, termasuk wanita dan anak-anak. Mereka merampas harta benda yang dianggap sebagai rampasan perang dan memaksakan paham Wahhabisme kepada penduduk (Wahid, 2009).
Kita tidak cukup membaca tragedi kemanusiaan ini hanya sebagai gerakan reformasi keagamaan semata, tetapi juga sebagai gerakan politik di mana campur tangan asing, terutama Inggris, sangat dominan dalam mendukung gerakan ini. Kemunduran kekhalifahan Turki Usmani, kolonialisme negara-negara Barat atas dunia Islam, dan hasrat untuk menguasai Jazirah Arab oleh Muhammad Ibn Saud saling bertautan satu sama lain.
Membaca serangkaian tragedi berdarah ini, secara tidak sadar pikiran saya langsung diarahkan kepada kekejaman pasukan ISIS yang ramai di laman pemberitaan media kita beberapa tahun terakhir ini. Jika ditarik ke belakang lagi, kita menemukan benang merah antara khawarij, Wahhabi, dan ISIS, baik secara ajaran yang mudah mengkafirkan pihak lain, dan menggunakan kekerasan sebagai bagian dari ajaran jihad mereka.
Apakah Benar Wahabi Sekejam itu?
Apakah benar Wahabi telah melakukan genosida seperti itu? Bukan hanya manusia, terutama umat Islam, yang dihabisi, tetapi juga penghancuran kebudayaan dan peradaban umat manusia? Ya, saya kira ini adalah pertanyaan yang bakal mampir di benak siapa saja yang membaca sejarah di balik berdirinya Kerajaan Saudi Arabia ini. Apalagi jika kita melihatnya dari kaca mata hari ini di mana gerakan Wahabi, terutama di Indonesia, didominasi oleh ustaz-ustaz Salafi yang lebih menekankan kepada sunnah Nabi, bukan ajaran ‘perang’ sebagaimana yang kita bicarakan dalam tulisan ini.
Bagi sebagian kalangan, fakta sejarah semacam ini dianggap sebagai fitnah dan dusta yang besar. Anda juga akan menemui argumentasi semacam ini dari sejumlah ulama Wahabi yang dihadirkan oleh penulis buku Sejarah Lengkap Wahhabi ini. Sang pengarang juga mempersilahkan kepada pembacanya untuk membuat kesimpulan sendiri terkait perdebatan antara pihak pendukung dan pengkritik Wahhabisme.
Terkait hal ini, dalam salah satu penelitian, saya pernah mengikuti kajian yang diampu oleh ustaz Salafi. Pada kesempatan itu, sang ustaz membabarkan kitab at-Tauhid karangan pendiri Wahhabi, yaitu Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Benar saja, selama mengikuti kajian, saya tidak menemukan doktrin takfiri dalam kajian itu. Sang ustaz lebih menekankan pada pentingnya tauhid dan upaya pembersihan diri.
Saya kira ustaz seperti yang saya gambarkan ini lebih mudah untuk kita temui baik di kajian-kajian offline maupun online yang dapat kita cari di kanal YouTube. Setelah saya pelajari lebih jauh, setidaknya gerakan Wahhabi dapat dibagi menjadi dua. Pertama menjelma menjadi Salafi jihadi yang cenderung menggunakan kekerasan dalam menyebarkan ajarannya sebagaimana dapat kita jumpai dalam gerakan Padri, Al-Qaeda, dan ISIS. Kedua, salafi dakwah yang berkembang melalui jaringan alumni LIPIA Jakarta. Gerakan Salafi Dakwah ini menyebarkan paham keagamaan yang cenderung literal, bersifat apolitik, dan tidak disertai kekerasan fisik (Ubaidillah, 2012).
Pembedahan menjadi dua kelompok besar Wahabi ini, tentu saja, untuk memudahkan kita dalam memahami gerakan Wahhabi kontemporer. Kita perlu menelaah lagi sejarah panjang gerakan ini, mulai dari persekutuan antara Wahabi dan Ikhwanul Muslimin, perpecahan yang terjadi dalam madzhab Salafi/Wahhabi, dan faktor politik dan ekonomi yang menyertainya. Membaca Sejarah Lengkap Wahhabi akan memancing kita untuk menelaah lebih jauh gerakan ini agar kita terperangkap dalam generalisasi dalam memandang gerakan ini.