Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia

Menurut laporan USCIRF, Indonesia terlalu mengekang kebebasan beragama karena terlalu mengacu pada prinisp monoteisme dalam Pancasila.

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikalisme menuai pujian dari The US Commission on International Religious Freedom (USCIRF). Salah satu komisioner USCIRF, Johnnie Moore, menyebut bahwa upaya presiden Jokowi dalam mempromosikan kehidupan plural yang damai dalam masyarakat dan sekaligus melestarikan Islam wasatiyyah patut diapresiasi. Johnnie Moore menambahkan bahwa presiden Jokowi melakukan hal yang benar dengan tidak menyalahgunakan hak kebebasan beragama dan hak asasi manusia untuk melindungi gerakan ekstremisme.

Rupanya, agama memainkan peran yang sangat besar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Islam merupakan agama yang sangat berpengaruh dalam pertimbangan dan pengambilan kebijakan publik di Indonesia. Yang menarik adalah bahwa Joko Widodo mengangkat KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden yang muncul dari Islam poros tengah sekaligus sebagai indikasi keberpihakan pemerintah kepada Islam moderat.

Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar terus memberdayakan dan mendukung kaum moderat yang banyak mempromosikan sikap toleran dalam bernegara. Yang juga patut disyukuri, Indonesia masih menjadi rumah bagi banyak cendekiawan dan pemimpin Islam yang moderat dan kredibel di dunia. Sehingga nilai-nilai religiusitas di Indonesia masih terjaga dengan baik dalam koridor yang tepat.

Meski begitu, laporan tahunan tentang kebebasan beragama internasional yang dirilis oleh The US Commission on International Religious Freedom pada bulan April 2021 ternyata agak sedikit berbeda. Ternyata, Indonesia disebut sebagai negara yang masih bermasalah dengan kebebasan beragama. Menurut laporan USCIRF, Indonesia terlalu mengekang kebebasan beragama karena terlalu mengacu pada prinisp monoteisme dalam Pancasila. Kekuatan Islam poros tengah yang didukung oleh pemerintah juga turut melanggengkan pengekangan ini karena segala kelompok agama yang bertentangan dengan ideologi Islam dominan (sunni) akan dipersekusi, seperti kasus HTI, Syiah, Ahmadiyyah, dan FPI.

USCIRF juga merekam bagaimana gubernur Sumatera Barat berhasil mengajukan petisi untuk penghapusan aplikasi Alkitab Kristen dalam bahasa Minangkabau dari Google Play Store karena kekhawatiran akan dakwah Kristen kepada mayoritas Muslim di sana. Kasus yang sama juga terjadi di Aceh, ketika penjabat gubernur,Aceh, Nova Iriansya juga berhasil menghapus aplikasi Aceh Holy Bible dari Google Play store. Kecurigaan oleh umat mayoritas di Sumatera Barat dan Aceh ini turut berkontribusi dalam permasalahan kebebasan beragama di Indonesia.

Menurut saya, banyaknya pelanggaran atas nama agama itu memang layak untuk dikutuk. Seperti aksi persekusi brutal Ahmadiyyah di Jawa Barat dan kekerasan Syiah di Madura. Pertarungan ideologi melalui lisan dan pena masih bisa dimaklumi karena memang seperti itu mekanisme yang baik. Namun menjadi tidak bisa ditolerir ketika perbedaan pendapat tersebut tereskalasi menjadi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa, karena jika demikian, apa lalu perbedaan Islam Indonesia dengan para ekstremis yang berusaha kita basmi bersama-sama.

Pun dengan sikap para pejabat di Sumatera Barat dan Aceh yang sangat berlebihan dalam menyikapi aktifitas keagamaan orang Kristen. Kebijakan mereka justru merusak citra Islam sebagai agama yang toleran terhadap pluralisme. Bagaimana jika petisi-petisi mereka ternyata menyulitkan proses beragama para pemeluk Kristen di Sumatera Barat. Kecurigaan yang berlebihan tersebut akan menjadi tidak berarti jika ternyata motif adanya Aceh Holy Bible itu adalah sebagai media edukasi dan kebutuhan spiritual para pemeluk Kristen di Aceh, bukan upaya kristenisasi seperti yang mereka tuduhkan.

Kita selaku umat Islam dan warga negara Indonesia yang berpihak pada sikap toleransi dan plurasime perlu melihat kasus-kasus tersebut sebagai bahan evaluasi bersama. Memang benar, Indonesia tidak mengenal term mayoritas dan minoritas. Akan tetapi, dua kata tersebut bisa saja muncul dari dalam diri kita masing-masing. Sikap “mentang-mentang” menjadi umat terbesar secara kuantitas di Indonesia sehingga merasa bisa berbuat seenaknya terhadap umat agama lain merupakan sikap yang salah dan menyalahi nilai-nilai Islam dan Pancasila. Kita harus memupuk sikap egaliterian dan toleransi sehingga citra negatif kebebasan beragama di Indonesia bisa diperbaiki. Citra positif Indonesia sebagai negara dengan kebebasan beragama yang baik akan menjadi percontohan di seluruh dunia sekaligus mengangkat martabat Indonesia sebagai negara yang pluralis dan demokratis.