Menghargai Kebebasan Beragama di Dunia Modern

Menghargai Kebebasan Beragama di Dunia Modern

Menghargai Kebebasan Beragama di Dunia Modern

Tiga tahun pasca berakhirnya perang dunia kedua, tepatnya pada tahun 1948, PBB mengeluarkan deklarasi tentang Hak Asasi Manusia, salah satunya adalah terjaminnya kebebasan dalam beragama. Sejarah lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sendiri sering dikaitkan dengan munculnya Perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada tahun 1215.

Secara umum, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diumumkan PBB tahun 1948, mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih.

Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi.

Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.

Hak atas kebebasan yang sama juga disebutkan dalam pasal 18 The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan PBB pada 16 Desember 1966. Dukungan spesifik atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sendiri tercantum dalam Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief yang diadopsi PBB pada tahun 1981. Kehadiran deklarasi ini mendesak tiap negara anggota PBB untuk mengambil langkah-langkah sesuai isi deklarasi, dalam rangka memelihara kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable. Hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apapun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer.

Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun. Sejalan dengan itu, fenomena pluralitas keagamaan kemudian mendapat perhatian luar biasa dari kalangan cendikiawan, filosof, teolog, dan akademisi Barat.

Selain itu, kebebasan beragama juga telah dinyatakan dalam dua Deklarasi HAM Islam. Pertama, Deklarasi London/Paris (UIDHR) yang memuat tiga pasal, yaitu pasal 10, 12(e), dan 13. Pasal 10 mengatakan bahwa (a) Prinsip Al-Quran: tidak ada paksaan dalam agama dan mengatur hak-hak agama minoritas non-muslim. (b) Dalam sebuah negara muslim, minoritas keagamaan akan mendapatkan pilihan untuk diperintah dengan menghormati urusan personal dan sipilnya berdasarkan hukum Islam atau dengan hukum mereka sendiri.

Pasal 12 (e) Tak seorangpun boleh merendahkan atau mengejek keyakinan agama orang lain atau memicu permusuhan publik melawan mereka; menghormati perasaan agama orang lain adalah kewajiban semua muslim. Pasal 13 mengatur setiap orang memiliki hak kebebasan hati nurani dan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya.

Kedua, Deklarasi Kairo (CDHRI). Ide kebebasan beragama termuat dalam pasal 10 yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang fitrah. Dilarang menjalankan segala bentuk paksaan pada seseorang atau mengeksploitasi kemiskinannya atau kebodohannya untuk berpindah agama atau menjadi atheis dan pasal 18 (a) Setiap orang berhak untuk hidup dengan aman, baik bagi dirinya, agamanya, keluarganya, kehormatannya dan kekayaannya.

Di Indonesia, kebebasan beragama diatur secara jelas dalam ketentuan UUD NKRI 1945, yakni Pasal 28 E Ayat (1) yang memberikan jaminan bahwa setiap orang yang ada di negeri ini diberikan kebebasan dalam memeluk suatu agama sesuai yang ia yakini.

Hal seirama juga dijelaskan pada ketentuan Pasal 28 E Ayat (2) yang memberikan penegasan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Selain kedua pasal tersebut, jaminan atas kebebasan beragama juga ditemukan pada ketentuan pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang memberikan jaminan kepada setiap penduduk dalam rangka memeluk agama dan menjalankan ritual atau peribadatan sesuai ajaran agama yang diyakininya.

Keberagaman dalam keberagamaan di dunia modern adalah keniscayaan. Oleh karena itulah ia pelihara. Farid Esack misalnya, menggunakan istilah solidaritas antar-agama (interreligious solidarity) untuk melawan penindasan dan menegakkan keadilan lintas agama.

Begitu juga dengan Inayat Khan, melalui gerakan sufinya memberikan pelayanan kegiatan yang disebut Ibadah Universal (The Universal Worship) atau Gereja Untuk Semua (The Chruch for All) yang bertujuan untuk membawa cita-cita penyatuan agama, yakni cita-cita kesatuan dengan melepaskan diri dari sektarianisme dan pandangan terbatas yang melekat dalam komunitas dan kelompok.

Wallahu A’lam.