Eufemisme Efisiensi

Eufemisme Efisiensi

Eufemisme Efisiensi

Hari-hari ini cukup ramai berseliweran istilah “efisiensi” di media sosial dan jadi bahan obrolan.

Baru kemarin sore saya sempat bertemu dengan seseorang di salah satu lembaga penyiaran milik pemerintah, TVRI. Dan sepanjang pertemuan, perihal “efisiensi” atau “efisiensi anggaran” itu porsinya sekitar 50 persen lebih dari pembahasan. Karena “efisiensi” tadi, kontributor daerah jadi tidak diberi honor. Karena “efisiensi” tadi, presenter pun digaji atau dapat jatah setengah dari biasanya. Kira-kira begitu kalimat yang keluar dan saya tangkap penuh dari orang itu.

Saya mbatin, “efisiensi” ini imbasnya kok begitu menyebalkan. Mengkhawatirkan. Yang saya tahu, kesangkilan atau istilah “efisiensi” ini biasanya berdampak positif.

“Efisiensi” punya kata dasar “efisien” yang kita tahu artinya tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya). Cek KBBI, “efisiensi” adalah ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu tanpa buang waktu, tenaga, biaya; ketepatgunaan; kesangkilan. Itu!

Garis-bawahi kata “biaya” dalam definisi “efisiensi” versi KBBI itu. Ya, untuk program MBG yang jadi janji kampanye itu silakan saja para pejabat bilang itu efisien. Tapi apakah efisien untuk “biaya” atau anggaran program kementerian/lembaga pemerintahan yang lain; Kemendikdasmen, Kemensos, Kemenag, BMKG, Komnas HAM, termasuk lembaga penyiaran pemerintah TVRI yang saya sambangi, dan juga Perpusnas yang kemarin viral karena memangkas jam layanan akibat instruksi pemangkasan anggaran.

Ramai jadi perbincangan, tidak lama kemudian informasi pemangkasan jam operasional Perpusnas dibatalkan. Kocak dan menggelikan. Sungguh aneh tapi nyata, kata istri dengan dendang.

Jadi, sudah cukup dengan kata “efisiensi”. Kita gak usah termakan istilah.

Histori Eufemisme dan Politik Bahasa

Tidak perlu eufemisme untuk mengungkapkan “efisiensi anggaran”. Sebut saja PEMANGKASAN ANGGARAN.

Kata KBBI lagi, eufemisme digunakan untuk menghaluskan atau sebagai pengganti ungkapan yang dirasa kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan.

Jika itu “efisiensi” memang dirasa, dipikir, dianggap merugikan hajat hidup banyak orang, masih perlu diperhalus? Tentu tidak! Tidak harus memperhalus diksi atas makna sebenarnya. Apalagi jika itu terlontar dari kerongkongan pejabat. Ungkapan eufemisme atau bahasa eufemistis yang biasanya berputar-putar adalah musuh dari sesuatu yang mestinya jelas tersampaikan; musuh abadi dari orang-orang (rakyat) yang butuh kejelasan. “Efisiensi” ya mesti efesien, jika itu merugikan ya bilang saja “tidak efisien” atau dalam konteks di atas disebut pemangkasan anggaran.

Jadi sebetulnya tidak ada “efisiensi”, yang ada “pemangkasan”. Tidak ada “penyesuaian harga”, yang ada “kenaikan harga”. Tidak ada “rawan pangan”, yang ada “kelaparan”. Tidak ada “pengamanan”, yang ada “penangkapan” atau “penghilangan”. Kita tidak hidup di zaman Soeharto dan Harmoko!

Sementara Gus Dur adalah orang berani. Di era reformasi, ia acap melontarkan pernyataan yang jelas, keras, dan kadang disebut sarkas. Gus Dur berani menjuluki DPR sebagai Taman Kanak-kanak, untuk menegur polah anggotanya. Tidak perlu ada tedeng aling-aling. Saat jadi Presiden, Gus Dur pun pernah mengungkapkan bahwa TNI itu ada yang baik dan ada juga yang maling. Hal itu dituliskan Gus Dur di koran untuk menanggapi kabar soal upaya kudeta dari pihak militer.

Ya, intinya kita tidak perlu ikut-ikutan latah pakai istilah “PHK” atau “dirumahkan” ketika perusahaan melakukan “pemecatan” semena-mena pada buruh, misalnya. Tidak perlu juga menyebut “uang damai” ketika itu memang adalah “uang hasil todong” oknum aparat di jalan pas tugas tilang. Kecuali, ketika “orang meninggal dunia”, itu bisa digunakan untuk memperhalus ungkapan, ketimbang kita menyebut “orang mati”.

Sekali lagi, jangan termakan istilah-istilah dengan maksud eufemisme dan politik bahasa lainnya. Memangnya ini era Orba (?).