Ketika masyarakat sipil di seluruh Indonesia bersatu menolak revisi undang-undang pemilihan kepala daerah (22/08) yang dianggap sebagai ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, para pemimpin NU terlibat dalam diskusi yang jauh dari hiruk-pikuk publik. Pada 22 Agustus 2024, saat berbagai kelompok menggelar aksi protes di bawah bendera “Indonesia dalam Keadaan Darurat” di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf justru berada di Istana Kepresidenan membicarakan konsesi tambang dan investasi dengan Presiden Joko Widodo, yang menyoroti perbedaan prioritas yang mencolok.
Kontras antara ketidakpuasan publik dan keterlibatan NU dengan pemerintah ini mengungkapkan pergeseran yang mengkhawatirkan dalam peran organisasi tersebut di masyarakat Indonesia. Secara historis, NU di bawah kepemimpinan tokoh seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), merupakan kekuatan masyarakat sipil yang tangguh, mampu menantang penyalahgunaan kekuasaan pemerintah dan memperjuangkan kepentingan publik.
Era Gus Dur ditandai oleh komitmen NU terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, yang sering kali menempatkan organisasi ini dalam posisi berseberangan dengan otoritas yang berkuasa.
Namun, tindakan NU belakangan ini mencerminkan penyimpangan signifikan dari warisan tersebut. NU tetap terlihat bungkam terkait revisi undang-undang pemilihan kepala daerah yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, dalam mendukung proyek-proyek strategis nasional yang berisiko menggusur komunitas lokal, NU mengambil sikap yang tidak jelas, seringkali berpihak pada pemerintah.
Alih-alih menggunakan pengaruhnya, yang didasarkan pada jaringan hampir 100 juta masyarakat Indonesia, untuk membela integritas demokrasi, NU tampaknya lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi daripada advokasi publik.
Baca juga; Satu Abad Nahdlatul Ulama; Peluang dan Tantangan
Tantangan yang dihadapi NU saat ini berbeda dari yang dihadapi pada masa kepemimpinan Gus Dur. Lanskap politik, metode pemerintahan, dan ancaman terhadap demokrasi telah berkembang. Namun, terlepas dari perbedaan ini, prinsip-prinsip yang menuntun NU di bawah Gus Dur—komitmen terhadap demokrasi, keadilan sosial, dan hak asasi manusia—tetap relevan dan krusial.
Konsistensi NU dalam memegang dan menjalankan prinsip-prinsip ini menentukan perannya dalam masyarakat Indonesia.
Pergeseran ini dapat dianalisis melalui teori hegemoni budaya Gramsci, di mana kelas penguasa memanipulasi sistem nilai masyarakat sehingga pandangan mereka tentang dunia menjadi norma budaya yang diterima.
Tindakan NU baru-baru ini mencerminkan penerimaan yang lebih luas terhadap status quo politik, mungkin karena kepentingan yang saling terkait antara kepemimpinannya dan otoritas pemerintah. Konsesi tambang yang dibahas dalam pertemuan dengan Jokowi menjadi bukti nyata.
Alih-alih menggunakan otoritas moral dan sosialnya untuk memperjuangkan integritas demokrasi, NU tampaknya telah memilih jalur keterlibatan ekonomi yang erat dengan agenda pemerintah.
Mengingat besarnya jumlah anggota yang dimiliki, NU seharusnya menjadi kekuatan yang lebih kuat dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, tindakan terbaru menunjukkan keterlibatan yang dalam dengan politik praktis, yang mengorbankan kemampuannya untuk bertindak sebagai kekuatan independen yang mampu menentang pemerintah jika diperlukan.
Nahdlatul Ulama, dengan pengaruh yang substansial dan akar yang dalam di masyarakat Indonesia, secara historis dilihat sebagai penjaga norma-norma masyarakat dan advokat bagi mereka yang kurang terwakili.
Baca juga: Jawa Timur Provinsi Paling Intoleran dan Catatan Kecil Untuk Nahdlatul Ulama
Di masa kepemimpinan Gus Dur, NU menjadi contoh potensial masyarakat sipil dalam diskursus politik, seringkali menempatkan diri sebagai suara kritis terhadap penyimpangan pemerintah. Dalam buku Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, Robert Hefner membahas bagaimana Gus Dur menggunakan NU sebagai platform untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, menjadikannya kekuatan moral yang mampu menghadapi negara ketika diperlukan.
Namun, sikap pasif NU baru-baru ini dalam menghadapi manipulasi konstitusional menandai penyimpangan signifikan dari peran historisnya.
Alih-alih menentang manuver semacam itu, kepemimpinan NU tampaknya lebih peduli dengan mengamankan konsesi tambang dan berinvestasi di ibu kota baru, Nusantara. Pergeseran ini dari peran NU yang waspada sebagai kekuatan masyarakat sipil di bawah Gus Dur sangat mengkhawatirkan.
Dalam buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner mengeksplorasi bagaimana organisasi masyarakat sipil seperti NU sangat penting dalam mendukung transisi demokrasi Indonesia. Mereka mencatat bahwa kekuatan masyarakat sipil dalam menantang kekuasaan negara sangat penting bagi keberhasilan reformasi di era pasca-Suharto.
Kepasifan NU saat ini menandai penyimpangan signifikan dari peran historisnya sebagai penjaga demokrasi.
Implikasi bagi Demokrasi Indonesia
Arah NU saat ini memiliki implikasi mendalam bagi demokrasi Indonesia. Sikap pasif organisasi yang sangat penting ini di hadapan pelanggaran konstitusional menunjukkan melemahnya pertahanan demokrasi.
Keheningan NU berkontribusi pada preseden berbahaya di mana pemain utama masyarakat sipil diambil alih atau terlibat dalam erosi norma-norma demokrasi. Situasi ini memiliki kesamaan dengan kekhawatiran yang diangkat oleh Robert Putnam dalam Bowling Alone, di mana ia mengaitkan penurunan partisipasi sipil dengan erosi kualitas partisipatif demokratis.
Penting untuk membedakan antara loyalitas kepada negara dan rezim.
Baca juga: NU dalam Pusaran Tambang: Untung atau Buntung?
Kepemimpinan NU saat ini harus menyadari bahwa loyalitas kepada bangsa tidak harus berarti dukungan tanpa syarat terhadap pemerintah yang berkuasa, terutama ketika tindakan pemerintah tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Para pendiri dan pemimpin NU masa lalu, khususnya Gus Dur, memahami perbedaan ini dengan baik. Mereka menyadari bahwa kekuatan NU terletak pada kemampuannya untuk mendukung pemerintah ketika sejalan dengan kepentingan rakyat dan menentangnya ketika kepentingan tersebut terancam.
Untuk merebut kembali perannya sebagai pembela demokrasi dan perwakilan sejati dari kepentingan konstituennya, NU harus mengkalibrasi ulang prioritas dan fokus operasionalnya.
Kalibrasi ulang ini melibatkan keterlibatan kembali dengan basis akar rumputnya dan introspeksi kelembagaan untuk menyelaraskan kembali tindakannya dengan prinsip-prinsip dasarnya tentang keadilan dan kesejahteraan sosial. Kepemimpinan NU perlu merenungkan posisinya yang unik dalam masyarakat Indonesia—bukan hanya sebagai pendukung negara tetapi juga sebagai suara kritis yang membimbing bangsa menuju prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi.
Lebih dari itu, masyarakat sipil yang lebih luas di Indonesia harus menyadari persimpangan kritis ini. Mendukung atau mengabaikan pergeseran menuju praktik otoriter dengan dalih manuver legalistik mengancam jalinan demokrasi Indonesia. Seperti yang diutarakan oleh Arendt dalam On Violence, di mana kekuasaan beralih dari banyak orang ke sedikit orang, benih-benih tirani potensial ditanam.
Ketika Indonesia menghadapi arus politik yang bergejolak ini, organisasi seperti NU akan menjadi kunci dalam menentukan arah kesehatan demokrasinya. Sangat penting bagi NU dan entitas serupa untuk secara aktif berpartisipasi dalam membangun lingkungan politik di mana supremasi hukum berlaku atas hukum yang menindas. Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kewaspadaan masyarakat sipil terhadap kompromi politik yang mengancam integritas konstitusional.
Warisan Gus Dur sebagai pembela prinsip-prinsip demokrasi mengingatkan kita akan kekuatan masyarakat sipil.
Kepemimpinan NU saat ini harus merenungkan warisan ini dan menyelaraskan tindakannya dengan prinsip-prinsip yang pernah menjadikannya kekuatan kuat dalam demokrasi Indonesia. Meskipun tantangan saat ini berbeda, mempertahankan prinsip-prinsip ini secara konsisten menjadi lebih penting dari sebelumnya. Jika NU terus berada di jalur saat ini, ia berisiko mengasingkan anggotanya dan kehilangan peran historisnya sebagai mercusuar keadilan. Kini saatnya bagi NU untuk menegaskan kembali independensinya dan komitmennya kepada rakyat sebelum pengaruhnya terkikis.