Mobilisasi politik membutuhkan energi, baik yang bersifat wadag seperti uang, kendaraan, senjata, dan bukan wadag seperti kepentingan, wibawa, sentimen, dll. Sejarah memperlihatkan, kebencian merupakan energi instan yang paling populer dalam gerakan-gerakan politik, karena dalam kantong daging setiap manusia ada waduk kebencian dibelakang dam yang rapuh. Seorang panglima politik hanya perlu menemukan kemasan agitasi yang tepat untuk meluapkan kebencian sebanyak mungkin orang.
Bahan baku agitasi yang paling potensial menyeret banyak orang itu adalah SENTIMEN agama. Karena sentimen agama membangkitkan imajinasi bahwa kebencian itu mulia. Sentimen. Kalau bisa disusun konstruk argumentasi yang valid, syukur. Kalau tidak, sentimen saja sudah cukup, walaupun konstruknya peyang-penjol.
Sekali banjir bandang kebencian berhasil ditumpahkan, logika tak penting lagi. Apalagi hati nurani. Akal pun ambyar laksana buih.
Lebih-lebih jika kebencian itu dianggap sebagai tiket sorga.
Lihatlah: dengan apa orang memelihara konsolidasi politik selama 1400 tahun? Dengan kebencian. Dengan apa orang bisa didorong untuk membunuh dan memusnahkan secara acak, bahkan terhadap sanak-saudara, junjungan, ibu kandung sendiri? Kebencian.