Kedatangan bulan suci Ramadhan yang seharusnya disambut dengan penuh kegembiraan, di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Bukan dengan kerukunan dan persatuan, hadirnya Ramadhan malah diwarnai dengan aksi kerusuhan di Jakarta pada aksi 22 Mei kemarin.
Entah doktrin agama mana yang mereka pegang sehingga begitu mudah merusak, merusuh bahkan ada yang ingin membunuh? Padahal agama tak pernah mengajarkan kekerasan. Islam sendiri juga tak pernah mengajarkan kekerasan. Bahkan Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah selalu legowo meski dikasari oleh para penentangnya.
Allah SWT telah mengingatkan dalam Quran Surah An-Nahl ayat 125 yang artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Allah juga telah mengingatkan agar umat Islam dapat berprilaku adil dalam menjalankan perintah-Nya.
Sebagaimana firman-Nya dalam Quran Surah Al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Isyarat bahkan maklumat bahwa agama Islam mesti didakwahkan dengan cara yang tidak memaksa dan dilaksanakan dengan penuh keadilan.
Untuk itu, Ramadhan kali ini patut kita jadikan ajang refleksi dan internalisasi nilai-nilai multikultural sebagai upaya menjaga negara yang sudah pasti menjaga agama pula. Sudah sepatutnya puasa di bulan Ramadhan tidak hanya ibadah antara hamba dan Tuhan-Nya tetapi juga ibadah untuk menjalin relasi kerukunan antar sesama manusia.
Lalu apa saja yang dapat dilakukan sebagai upaya menginternalisasikan nilai-nilai multikultural dalam ibadah puasa kita?
Pertama, menyadari dan menghargai. Salah satu penyakit sosial yang harus dibersihkan adalah sikap egois yang mengarah pada sikap paling benar sendiri, baik dalam urusan pribadi, sosial, maupun agama. Sehingga fenomena saling menghujat, membid’ahkan, mengkafirkan sesama menjadi tak lagi menjadi kebiasaan. Sudah sepatutnya kita saling mengasihi, saling mengisi satu sama lain, dan bersama-sama saling terbuka.
Kedua. Menghargai perbedaan, menjaga kerukunan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara Indonesia adalah negara yang berbhineka, masyarakatnya hidup dalam perbedaan baik suku, etnis, agama dan golongan.
Perbedaan yang ada, jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan benturan dan konflik baik dalam bentuk kekerasan, kerusuhan, dan berbagai perilaku destruktif lainnya, termasuk pengeboman.
Maka Ramadhan kali ini patut diikhtiarkan untuk menjaga kerukunan ditengah perbedaan demi kehidupan masyarakat yang lebih harmonis. Perbedaan yang ada tidak dipertentangkan melainkan dijadikan bahan untuk saling memahami sekaligus memperkaya warna kehidupan bersama.
Ketiga, Membiasakan Maaf. Gampang di ucapkan namun sulit dilakukan. Tetapi mau tidak mau harus dijadikan kebiasaan, meminta dan memberi maaf. Meski sederhana, namun kata maaf memberi nuansa keakraban dan kebersahajaan, dan juga menempatkan orang dalam posisi terhormat.
Terbiasa memafkan dan meberi maaf adalah ciri umat muslim. Sebab dengan maaf-memaafkan akan terjalin komunikasi yang baik dengannya pula akan menjadikan realitas bermasyarakat yang harmonis.
Keempat, Menjauhkan Iri Hati. Iri hati bisa jadi adalah dosa tertua dalam sejarah manusia. Bisa kita lihat dari peristiwa pembunuhan Habil yang dilakukan Qabil. Beda dulu beda sekarang, Itu dulu, pengekspresian iri hati dilakukan dalam bentuk menebarkan fitnah kepada masyarakat, menebar ujaran kebencian lewat media, dan yang mengerikan adalah penyebaran hoax.
Sebagai muslim sudah sepatutnya menjauhkan diri dari iri hati. Sebab dapat menghancurkan pribadi, agama, dan negara.
Keempat nilai-nilai multilultural tersebut meski sederhana namun jika dapat dilakukan secara serius dan konsisten dalam laku ibadah puasa, maka menjadi mungkin spirit moderasi Islam menjadi ciri keislaman di Indonesia. Semoga ibadah puasa kita dapat berimplikasi pada kemajuan dan keharmonisan dalam masyarakat.
Wallahu a’lam.