Sebagian besar kita mungkin pernah membaca atau mendengar kalimat “meresahkan masyarakat”. Ia satu dari sekian kalimat yang memiliki daya magis, yaitu dapat merangsang tindakan kolektif yang diskriminatif, terutama kepada yang liyan.
Mungkin kita pernah membaca orang atau kelompok yang mendapatkan perlakuan diskriminatif, karena dicap “meresahkan masyarakat”. Tdak sedikit yang dirugikan secara materi, bahkan ada yang harus mendekam di penjara.
Entah sudah berapa kali kalimat tersebut digunakan oleh mereka yang merasa terganggu, baik itu pribadi, kelompok atau penguasa. Kalimat tersebut hanyalah cap stempel atau legalisasi atas perilaku diskriminatif, padahal perlakuan berbeda pada orang lain karena perbedaan identitas biasanya lahir dari rasa bersama (common sense).
Biasanya, dari sana kita malah jadi terjebak pada bias mayoritas. Dan saat terjebak maka biasanya mendaulat diri sebagai pembela bagi mayoritas tersebut. Akibatnya, penindasan terhadap yang minoritas (seolah-olah) menjadi dimaklumi.
Dari persoalan ini, kita belajar bahwa sebuah kalimat dapat memiliki peran kunci dalam sebuah relasi diskriminatif di masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus tertentu bisa melompat lebih jauh yakni terjerumus pada ekstrimisme.
Sebab tujuan dari segala tindakan ekstrim adalah membangun masyarakat yang homogen sesuai dengan ideologi atau agama tertentu. Menariknya, tak jauh berbeda dengan perilaku diskriminatif yang tumbuh dari ada perasaan bersama, ekstrimismepun dapat muncul dari daya magis sebuah kalimat atau stigma yang dilekatkan pada orang lain.
Perlu kita ketahui, ekstrimisme yang semula berupa pemikiran, sikap, dan tindakan orang atau kelompok orang yang menuntut suatu perubahan serta menentang struktur masyarakat atau negara yang diungkapkan secara keras, termasuk penyebaran stereotipe negatif, paksaan, intimidasi baik individu atau kelompok berorientasi pada pembentukan kelompok mayoritas yang homogen.
Bisa dibayangkan ketika pemikiran, sikap, dan tindakan ekstrim bisa disandarkan hanya pada sebuah kata. Sebuah Kata ini bisa menyihir siapapun untuk menyebarkan stereotipe negatif hingga intimidasi atas orang lain yang berbeda identitas.
Di antara kata yang dapat melahirkan tindakan ekstrimisme adalah “Tentara Allah”. Kalimat ini sering merujuk pada kelompok yang mendaulat diri sebagai pembela agama Islam. Sayangnya, ia lebih bermakna negatif ketimbang positif.
Diksi “Tentara Allah” bisa kita lihat tersebar luas di dunia maya, di antaranya Instagram. Saya mendapati ada sekitar 20 ribuan lebih postingan yang menggunakan diksi “tentara Allah” sebagai fondasinya, entah itu caption atau tagar (tanda pagar).
Mengapa diksi “tentara Allah” di aplikasi media sosial yang sahamnya dimiliki diantaranya oleh Mark Zuckenberg tersebut menjadi menarik diperbincangkan? Bagaimana tidak, hampir setiap perbincangan terkait diksi tersebut mencantol dinamika geo-politik di belahan dunia lain, terutama yang melibatkan kelompok muslim sebagai korban atau pihak yang kalah.
Misalnya, yang digunakan akun @akhy_salman37 atau @sang_surya.id yang memposting bagaimana heroisme yang dibangun dari kehebatan kemenangan perang di salah satu wilayah, seperti Palestina atau Syiria. Mereka jelas sekali memosting video dari kelompok tertentu sebagai glorifikasi “kemenangan Islam”.
Menariknya, jika diksi “tentara Allah” biasanya mengarah pada geo-politik, maka kalau kita kembali pada kata “meresahkan masyarakat” biasanya lebih bersifat lokal tertentu. Namun kedua kalimat tersebut hanya sebagian kecil dari daya magis antara kekuatan kata dan citra yang dapa memainkan emosi masyarakat. Di ranah media sosial bisa didapati dengan sangat mudah beragam contoh lainnya.
Misalnya, kasus Meliana adalah fakta terdekat yang bisa kita akses, untuk mengulik bagaimana sebuah kasus yang dianggap “meresahkan masyarakat” bisa berimbas ke aksi pengrusakan. Atau, kasus perang ISIS di perbatasan Syiria dan kasus Palestina yang biasanya menyeret imaji tentang “tentara Allah”.
Apa efek dari kalimat diskriminatif tersebut jika disebarluaskan di media sosial?
Berawal dari konflik di sebuah wilayah malah bisa melompat jauh hingga memancing aksi vandalisme di masyarakat, jika tanpa bantuan media pendengung seperti media sosial. Bukan waktunya untuk kita heran, sebab tidak lagi aneh jika media sosial sering digunakan untuk menyerang orang lain, terutama kelompok minoritas.
“Internet adalah seluas jiwa manusia, ia secara alami mampu menampung seluruh manifestasi paling gelap dari kejahatan yang bisa dibayangkan. Misalnya, setiap bentuk penghinaan terhadap martabat manusia dan perilaku antisosial, dari kebencian rasial dan ideologi ….. hingga ekstremisme…” tulis Terrence Berg, Hakim asal Amerika, di artikelnya berjudul “Confronting Evil on the Internet”
Bisa dibilang kehadiran media sosial turut mempengaruhi dinamika ekstrimisme itu sendiri, terutama di sisi tindakan. Bisa dibayangkan jika ekstrimisme bisa memiliki daya dengung semakin besar dan jangkauan yang semakin jauh karena bantuan internet. Tentu hal itu bisa menjadi mimpi buruk bagi kemanusiaan.
Masalah ekstremisme tidak lagi berkutat pada potensi dari agama mana pun untuk menghasilkannya, tetapi juga dengan fenomena reaksi terhadap perilaku ekstremisme yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Paul Bocij, penulis TI asal Inggris, mempercayai bahwa teknologi memungkinkan dan mengundang partisipasi dalam perilaku kriminal atau antisosial dari orang yang biasanya atau tidak mungkin menjadi bagian dalam kegiatan kriminal tersebut.
Dalam artikelnya berjudul “Cyberstalking: The Technology Of Hate”, Bocij menjelaskan bahwa argumen sosial dan teknologi dari Internet berkelindan untuk menurunkan hambatan dan membentuk norma-norma baru, sehingga bisa menjadi “legalisasi” untuk perilaku ekstrim tersebut.
Misalnya, anonimitas yang ditawarkan oleh Internet memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan seperti mendorong kekerasan terhadap orang lain dengan sedikit rasa takut akan pembalasan dari korban.
Kasus di Indonesia, sebagaimana dijelaskan di atas, aneka stigma terhadap kelompok minoritas sering dijadikan senjata serang kepada mereka, entah itu hanya olok-olok hingga kekerasan fisik.
Bisa dibayangkan bagaimana cerita cekcok di sebuah kampung bisa berubah menjadi isu Nasional hanya karena alasan “meresahkan masyarakat”. Ruang lingkup masyarakat malah menjadi bertambah luas akibat bantuan internet.
Kekerasan virtual seperti menguntit, ejekan hingga pelecehan secara virtual menjadi sangat rentan terjadi, sering kita lihat di linimasa seseorang yang dianggap “meresahkan masyarakat”. Jadi, ancaman kekerasan fisik tidak lagi satu-satunya pilihan, ketika orang ingin melakukan tindakan ekstrimisme.
Selain anonimitas, lingkungan yang homogen atau filter bubble, yakni algoritma yang mengelompokkan informasi yang sering kita akses, akibatnya rentan menggiring isi kepala kita menerima informasi hanya dari satu arah saja.
Memang, Islam menyuruh kita untuk melakukan tabayyun namun seringkali niat melakukannya tertutupi dengan emosi, sebab biasanya kabar terkait agama yang sering ditekuk-tekuk hanya untuk mendramatisir kasus yang sebenarnya.
Ekstrimisme bernada agama sudah seperti belut saja, lantaran media sosial yang menjadikannya tidak saja makin luas jangkauannya dan lantang suaranya namun juga semakin anonim yang menjadi aktor pelakunya. Masyarakat kita yang heterogen memang tidak terhindarkan ada gesekan dan friksi, namun seringkali ditanggapi berlebihan oleh orang-orang yang tidak memahami permasalahan intinya.