Sepakat atau tidak, sikap militan dalam beragama justru dapat menghancurkan agama itu sendiri. Sabda Rasulullah SAW tentang “segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik” bukanlah sesuatu yang main-main. Nasihat itu rupanya tidak hanya relevan diterapkan dalam konteks kehidupan dunia saja, namun juga secara spiritual. Orang yang “mabuk” agama, istilahnya, bisa menghancurkan orang lain, dirinya sendiri, bahkan agama itu sendiri.
Tulisan ini bermaksud menggugat prilaku sebagaian kita yang mungkin masih beragama secara fanatik dan tidak mengindahkan kebaikan bersama. Ketika menyebut “umat Islam” dalam tulisan ini, saya tidak mempunyai tendensi untuk men-generalisir semua Muslim. Otokritik ini berlaku bagi mereka yang masih brutal dalam hal beragama.
Definisi brutal di sini ialah, berpikiran kaku, berparadigma tekstual, dan bersifat eksklusif. Di Indonesia, banyak kasus sosial yang berawal dari keegoisan umat Islam dalam beragama. Mulai dari kasus Jama’ah Tabligh di Gowa di awal pandemi lalu, kasus toa masjid yang sempat menyeret seorang perempuan dalam kasus pidana, hingga narasi menentang protokol kesehatan.
Celotehan seperti, “Kami tidak takut pada Corona. Kami hanya takut pada Allah”. Atau, “Bukannya mati itu sudah ketentuan Allah. Kita semua pasti mati. Kenapa harus takut mati karena Corona?” Plus, ada pula yang bercetus “Jangan tinggalkan Masjid meskipun ada Corona.”, menjadi indikasi fanatisme beragama kita.
Dalam kasus toa masjid misalnya, saya sempat dicurhati oleh guru saya yang Katolik bahwa ia mengeluhkan suara toa masjid yang ada di sebelah tempat tinggalnya yang begitu mengganggu, terutama ketika menjelang shubuh. Saya sempat menyarankan untuk lapor kepada takmir masjid tersebut. Namun, melihat pernah ada kasus pemidanaan terkait pelaporan seperti ini ini, nyali guru saya keburu ciut sehingga mengurungkan niatnya. Saya merasa bersalah akan hal ini. Betapa keegoisan umat Islam sangat berdampak pada psikologi umat non-Islam. Sikap eksklusivitas ini menyandera hak-hak suara minoritas yang harusnya bisa mereka ekspresikan.
Sebenarnya, menyampaikan keresahan seperti itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Hanya saja, kedangkalan pikiran kita kadang langsung mengkaitkan itu dengan penghinaan terhadap Islam. Kasus Meiliana misalnya, akibat kritiknya terhadap toa masjid, massa mengamuk dan membakar tiga wihara, delapan klenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjung Balai. Sebagian umat Islam di kawasan sana rupanya tidak terima pada complain yang diajukan Meiliana. Masyarakat bahkan mengggiringnya pada isu SARA yang berujung pidana.
Kebisingan atau polusi suara ini yang dilarang dalam agama. Jangankan pakai pengeras suara. Tadarus tanpa pengeras suara lalu mengacaukan konsenstrasi orang sembahyang jelas dilarang agama sebagai keterangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin. Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan lebih lanjut bahwa tadarus Al-Quran, zikir, atau semacamnya hingga membuat polusi suara bukan saja dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang bersembahyang. Semua itu dilarang dan karenanya harus dihentikan atau dikurangi volume suaranya karena dapat mengganggu sebagian orang lain bahkan mengganggu orang istirahat.
Pandangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi ini bukan tanpa dasar. Sebuah riwayat menceritakan bagaimana Rasulullah yang sedang beritikaf menegur orang yang membaca Al-Quran dengan suara lantang sehingga ibadah itikafnya terganggu sebagaimana hadis berikut ini:
“Dari Abu Said, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW melakukan itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jamaah) membaca Al-Quran dengan lantang. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud).
Dalam isu lain, pandemic misalnya, banyak sekali para pendakwah agama yang mencoba memasuki ranah yang notabene di luar keilmuannya. Sebut saja, Ustadz Ihsan Tanjung yang mempertanyakan status masker sebagai konspirasi Yahudi. Padahal masker merupakan protokol utama dalam upaya memutus rantai penyebaran virus corona. Belum lagi Ustadz Abdul Somad yang keberatan dengan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) terkait penutupan masjid sebagai tempat ibadah.
Seorang ahli agama berbicara tentang medis? Boleh saja, kita pernah punya Ibnu Sina, seorang teolog yang juga ahli di bidang medis, ia bahkan dijuluki “Bapak Kedokteran Modern”. Namun di situlah justru keyword-nya, “ahli”. Ahli agama di Indonesia yang berbicara di luar bidang keilmuannya justru berpotensi menciptakan banyak chaos baru; pertama, makin banyak hoaks yang diproduksi oleh orang yang tidak kompeten; kedua, makin sulitnya penanganan covid-19 di Indonesia akibat ulah narasi-narasi yang merongrong kebijakan medis; ketiga, semakin menegaskan sikap beragama kita yang konservatif; keempat, dapat merugikan umat agama lain, baik secara moril atau materiil, akibat keegoisan kita. Ber-Islam dengan egois merupakan sebuah paradox. Bagaimana bisa Islam yang menyebarkan kasih sayang untuk semua makhluk, justru menjadi sumber petaka karena sikap individualistis para pemeluknya.
Terakhir, mengomentari sesuatu bukanlah hal yang dilarang. Namun yang perlu diingat, semua harus berangkat dari pertimbangan akal sehat yang bisa dipertanggungjawabkan, apalagi jika sebagian kita merupakan public figure di masyarakat. Jangan sampai apa yang kita nyatakan justru memicu perselisihan dan memecah belah umat. Dalam konteks pandemic, marilah kita bantu upaya medis dan pemerintah untuk menghapus pandemic dari negeri ini dengan cara taat terhadap kebijakan yang telah ditetapkan. Tidak ada satupun manusia yang berhak menghakimi yang lain, apalagi ia tidak memahami ilmunya. Hanya Allah yang berhak menghakimi siapapun. Wallahu a’lam bisshowab …