Dua hal layak menjadi catatan terhadap kehendak politik pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pertama menyangkut prosedur hukum. Kedua, yang lebih krusial, menyangkut alasan.
Dalam prosedur hukum, pernyataan Menko Polhukam Wiranto pada Senin (8/5) lalu belum bisa diartikan bahwa HTI telah resmi menjadi organisasi ilegal. Tidak seperti yang menjadi judul berita di sebagian media, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum resmi dibubarkan, jika “resmi” berarti keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Yang disampaikan oleh Menko Polhukam itu paling maksimal dibaca sebagai pernyataan sikap politik pemerintah, bahwa pemerintah akan “mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI”.
Mengikuti UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), prosedur membubarkan ormas bukan hal mudah dan tahapannya panjang. Sesuai yang digariskan UU itu, persisnya di Bab XVII tentang sanksi, empat tahap harus dilalui: (a) peringatan tertulis; (b) penghentian bantuan dan/atau hibah; (c) penghentian sementara kegiatan; dan/atau (d) pencabutan status badan hukum. Sebelum empat tahap ini pun pemerintah harus melakukan persuasi dulu. Tahap peringatan tertulis disampaikan tiga kali. Sanksi penghentian sementara untuk ormas skala nasional mewajibkan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Dan pencabutan status badan hukum harus melalui pengadilan negeri. Belum kalau yang bersangkutan mengajukan kasasi. Pendek kata, prosesnya puanjang.
HTI pernah terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2006 hingga 2012 (lihat data Direktori Ormas Kemendagri 2009 pada nomor 51 dan 101). Setelah munculnya UU Ormas 2013, HTI mendaftar ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan mendapat pengesahan sebagai badan hukum pada 2014 dengan nama “Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia”.
Terlepas apakah, saat HTI didaftar, kedua kementerian itu sepenuhnya sadar akan ‘bahaya’ ideologi khilafah bagi Pancasila dan NKRI atau itu merupakan kecelakaan, yang jelas, karena terdaftar dan telah mendapat status badan hukum, rangkaian proses di atas mesti dilalui. Kalau tak, justru pemerintah yang melanggar prosedur pembubaran ormas sebagaimana digariskan UU.
Ketertiban
Menyangkut alasan pembubaran yang diungkapkan Menko Polhukam, ada bagian yang bersifat relatif (dalam pengertian tergantung pada relasi kuasa); ada bagian yang menyasar secara substansial.
Alasan bahwa aktivitas HTI “nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat” dan karena itu mengancam keamanan, ketertiban masyarakat, dan keutuhan NKRI berlaku relatif terhadap siapa yang sedang dalam posisi dominan.
Alasan semacam itu, yang berlandaskan pada paradigma “ketertiban”, adalah alasan yang pernah dipakai untuk membatasi hak atau mengusir orang-orang yang dipandang “sesat”, seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Di antara alasan utama mengapa Syiah “direlokasi” dari Sampang ke Sidoarjo ialah untuk menjaga ketertiban; dan di antara alasan mengapa hingga 5 tahun di pengungsian orang-orang Syiah Sampang tak kunjung dikembalikan ialah untuk “menghindarkan benturan” dengan kaum Sunni di Sampang. Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2008 membatasi aktivitas Ahmadiyah antara lain karena keberadaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dipandang “dapat mengganggu ketenteraman kehidupan bermasyarakat”. Ditarik dari sudut pandang yang berjarak; menjaga keutuhan NKRI akan menjadi justifikasi negara menghadapi gerakan “separatis”; sementara di mata penggerak gerakan “separatis”, perjuangan mereka adalah upaya memperoleh kemerdekaan. Pledoi Soekarno Indonesia Menggungat pada 1930 dipandang makar oleh penguasa Hindia Belanda.
Poinnya: alasan menjaga ketertiban pada umumnya akan muncul dari pihak yang lebih kuat dalam relasi kuasa tertentu. Termasuk kepada HTI.
Benar bahwa organisasi ini besar sekali klaimnya: ingin menyatukan lebih dari 1 milyar umat Islam sedunia dalam naungan satu panji al-liwa’ dan ar-rayah. Keras juga suaranya—kabarnya berani menghimbau tentara untuk merebut kekuasaan. Tapi kecil jumlah anggotanya. Jumlah yang hadir pada Konferensi Khilafah Internasional pada 2007 di Stadion GBK dan dihadiri sejumlah elite ormas Islam arus utama itu diestimasi sekitar 80ribu-100ribu. Kalau kita lipatgandakan untuk mengestimasi jumlah pengikut HTI, katakanlah 500ribu, itu masih sangat jauh dibanding jumlah anggota ormas Islam terbesar negeri ini, Nahdlatul Ulama, dengan warganya yang, menurut exit poll LSI 2013, ada sekitar 91,2 juta.
Maksud dari pemaparan soal jumlah ini ialah, klaim bahwa HTI akan makar, meski benar secara ideologis (yakni, ada tujuan untuk mengubah Pancasila dan NKRI), ia belum benar dalam tindakan nyata yang sedemikian signifikan sehingga bisa disebut makar. Jumlah tak sedemikian besar itu, dengan banyak anggotanya adalah para mahasiswa yang masih minta sangu kepada orang tuanya, lalu mau mengumandangkan revolusi mengubah dasar negara bukan hal yang realistis. (Satu analogi untuk dipikirkan: kalau sebagian warga Yogyakarta ingin mengubah sistem ‘monarki’ di Yogyakarta dengan mengusulkan referendum, seperti pernah terjadi di awal dekade ini, dan usulan ini disampaikan dengan tanpa kekerasan, bolehkah itu disebut makar?)
Lagi pula, sejauh yang saya tahu, HTI belum pernah secara langsung dan sendirian melakukan tindakan vigilantisme dengan kekerasan. Kalau pun ada, HTI sifatnya mendorong di belakang bersama ormas-ormas lain dan ikut bersuara lantang di media sosial—seperti yang terjadi dalam rangkaian Aksi Bela Islam lalu.
Kalau pertimbangannya adalah “ketertiban” dalam bermasyarakat dan bernegara hukum—sekali lagi kalau ini yang menjadi pertimbangan utama—bukankah justru ormas-ormas Islam vigilantis yang tidak jarang memakai intimidasi dan kekerasan dan jumlah anggotanya lebih banyak seharusnya mendapat prioritas yang lebih tinggi untuk dibubarkan? Saya menduga kuat, yang terakhir ini susah terjadi, sebab “imam besar” salah satu ormas yang suka melakukan tindakan main hakim sendiri adalah “kawan lama” Menko Polhukam sendiri.
Instrumentalisasi Pancasila
Alasan yang paling substansial dalam pernyataan Menko Polhukam itu ialah bahwa HTI “terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.” Ini alasan yang, dengan multitafsirnya Pancasila, bisa menjadi pedang bermata dua: berpotensi menyerang ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Menjadikan Pancasila, dengan tafsir yang dimonopoli secara eksklusif, sebagai justifikasi untuk membubarkan/melarang ormas tertentu selaiknya mengingatkan kita pada zaman Orde Baru, yang dalam tingkat tertentu bahkan bisa ditarik hingga masa akhir Orde Lama.
Penetapan Presiden Sukarno (yang nantinya menjadi UU) No. 1/PNPS 1965, jika dilihat di batang tubuh dan terutama Penjelasannya, tampak menjadikan organisasi kebatinan atau aliran kepercayaan sebagai salah satu target, kalau bukan malah target utama. Aliran kepercayaan dipandang menodai agama, membahayakan “ketenteraman beragama”, dan Pemerintah harus “menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan yang Maha Esa”. Kalau tidak menurut setelah diperingatkan, Pemerintah “berwenang membubarkan organisasi itu dan menyatakannya terlarang”. Aliran kepercayaan dipandang belum sesuai dengan sila pertama, sehingga harus dibina dan ditertibkan.
Yang lebih besar dampaknya dalam instrumentalisasi Pancasila untuk melarang ormas ialah Orde Baru, melalui progam Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), penyederhanaan partai menjadi dua partai (PPP dan PDI) dan satu Golongan Karya sebagai realisasi struktural atas “Demokrasi Pancasila” pada 1973, dan, yang terpenting terkait ormas, politik “asas tunggal Pancasila” yang diundang-undangkan pada 1985 (nomor 3 untuk Parpol dan Golkar; dan nomor 8 untuk Ormas). Parpol yang menjadi target adalah PPP, agar mengubah asas dari Islam ke Pancasila. Ideologi yang dinyatakan eksplisit dalam UU Ormas sebagai bertentangan dengan Pancasila ialah komunisme/marxisme-leninisme. Korbannya juga termasuk ormas Islam (a.l. PII dan HMI yang pecah menjadi Dipo dan MPO). Sakralisasi Pancasila dan pemaksaannya ke bawah dengan tangan militer turut menyumbang pada represi terhadap mereka yang melawan asas tunggal Pancasila, yang berujung pada beberapa peristiwa: Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, dll. (Yang tertulis di akta organisasinya, asas yang dimiliki HTI adalah “Islam”. Bagaimana mempertentangkan asas Islam dengan Pancasila?)
Pasca-Reformasi, dengan masuknya klausul Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Amandemen UUD 1945, disahkannya UU 39/1999 tentang HAM, diratifikasinya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (UU 12/2005), parpol dan ormas berkecambah dan tak harus berasas tunggal Pancasila. HT masuk, berkembang, mendapat pengikut banyak, atau mungkin terbanyak sedunia, bahkan mampu menyelenggarakan konferensi skala internasional dengan aman.
Dinilai dari sudut pandang HAM, UU No. 17/2013 tentang Ormas, yang merevisi UU No. 8/1985, sebenarnya mengalami kemajuan. Yang semula ormas harus berasas tunggal Pancasila menjadi “tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”. Prosedur pembubaran Ormas juga dibuat sulit. Satu kekurangannya dari sudut pandang HAM ialah masih dinyatakannya ateisme, komunisme/marxisme-leninisme secara eksplisit sebagai “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” pada penjelasan atas Pasal 59 Ayat (4).
Satu poin yang hendak disampaikan di sini ialah, pembubaran ormas dengan dasar “bertentangan dengan Pancasila” berpotensi mengaktifkan satu sisi pedang yang ke arah yang lain. Hari ini yang kena satu kelompok di satu sisi spektrum politik, lain hari bukan mustahil yang kena kelompok di sisi spektrum yang berlawanan. Hari ini HTI; besok bisa jadi kelompok yang berkecenderungan marxis, atau liberal, atau kelompok sekuler lain dengan varian ideologinya.
Mungkin ini terdengar alarmist. Namun jika mengingat, misalnya, banyaknya pembubaran acara “kiri” yang sudah faktual terjadi dan menjadi yang terbanyak dalam rekaman aksi-aksi vigilantisme di tahun-tahun mutakhir, kekhawatiran di atas adalah valid.
Garis Merah
Bila diperas, yang menjadi pokok persoalan layakkah HTI dibubarkan di sini berada pada titik mana kita bisa menarik garis merah yang fair, adil, dan tidak multitafsir dalam membubarkan ormas.
Andai saya memiliki kuasa legislatif, saya akan mengusulkan untuk mengganti bingkai (frame) pembubaran ormas bukan dengan dasar “bertentangan dengan Pancasila”. Pembatasan kebebasan sebaiknya dilakukan pada tingkat individu, dan batasannya dipancangkan pada ujaran yang menghasut pada kekerasan (incitement to violence). (Contoh konkret hasutan kekerasan: ucapan “bunuh Ahmadiyah!” dan “Ahmadiyah halal darahnya!” dari petinggi FPI Sobri Lubis.)
Termasuk kepada HTI; fokus prosekusi bukanlah pada ormasnya, melainkan pada tindakan individunya. Pembubaran pada level ormas bisa dilakukan ketika, dalam posisinya sebagai ormas, HTI sudah secara aktual mengangkat senjata untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Batasan kebebasan ini juga dapat diperdebatkan, yang penting adalah paradigma yang mendasarinya, yaitu menjaga prinsip fairness, keadilan, dan menghindari ambiguitas alasan. Pengalaman negara-negara bisa berbeda-beda dalam pembubaran ormas; kadang terkait erat dengan sejarah masing-masing (seperti Nazi di Jerman), termasuk tingkah-polah HTI di negara yang bersangkutan.
Lalu Bagaimana?
Lalu bagaimana mengurusi HTI? Usul saya adalah dengan memainkan—meminjam istilah Iqbal Ahnaf (2017)—“politik ruang”: menggerakkan civil society dalam koridor demokrasi untuk mempersempit gerak HTI di ruang publik, tapi tetap dalam koridor demokrasi dan dengan cara-cara yang sipil (membubarkan diskusi/konferensi nirkekerasan adalah cara yang uncivil). Di level negara, pemerintah hendaknya menyokong gerakan civil society untuk memperkuat demokrasi dan mendeligitimasi propaganda khilafah. (“Negara” secara aktual bukanlah institusi netral; ia selalu merupakan arena kontestasi kepentingan politik. Yang bisa menjadi masalah adalah ke mana manuver politik negara mengarah.)
Di luar negara, penyempitan “ruang” HTI dilakukan oleh elemen civil society. Dalam angka di atas kertas, jumlah pengikut HTI tidak besar. Artinya, justru konsolidasi ormas-ormas besar untuk menindak HTI adalah ancaman bagi HTI, bukan malah sebaliknya. Kalau HTI dianggap lebih well-organized dan lebih lihai bermain di dunia maya, ya, itu bagian dari pekerjaan rumah civil society itu sendiri. Secara normatif, demokrasi seharusnya sudah menyediakan ruang yang setara bagi setiap warga negara dan kelompok ideologis untuk berkompetisi merebut dominasi di ruang publik dan arena politik, bukan?
*) Tulisan ini adalah versi Indonesia dan dua kali lebih panjang dari tulisan sebelumnya dalam bahasa Inggris yang dimuat di Jakarta Post, 12/5/2017.