Setiap tahun, berdirinya Budi Utomo (BU) pada tanggal 20 Mei 1908 diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai hari kebangkitan nasional. BU mengadvokasi kebangkitan kebudayaan dan pendidikan. Namun, BU juga seringkali dikritik karena sangat konservatif dalam posisinya terhadap pemerintah kolonial Belanda, cenderung elitis, dan terbatas pengaruhnya pada bangsawan Jawa.
Dua anggota BU yang memiliki pemikiran dan sepak terjang yang radikal, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) bersama-sama dengan Ernest François Eugène (E.F.E.) Douwes Dekker mendirikan Indische Partij (IP – Partai Hindia) pada tahun 1911 (tahun 1912 menurut beberapa sumber) di Bandung (Glissenaar, 1999; Ricklefs, 2010: 369; Van der Veur, 2006; Kartodirdjo, 2014: 153).
IP dianggap sebagai pelopor organisasi politik di Hindia Belanda. IP mengusung ide-ide sosialis radikal dan organisasi politik ini juga adalah yang pertama mengklaim nasionalisme Hindia dan menuntut kemerdekaan. Jika kita selama ini terlalu sering mencurahkan perhatian pada BU, saya ingin mengajak kita semua untuk menaruh perhatian pada IP dan mengeksplorasi pelajaran-pelajaran yang dapat kita ambil dari organisasi tersebut bagi kondisi Indonesia saat ini di tengah maraknya polarisasi politik massa yang semakin menguat.
Sejarah IP
IP mempelopori nasionalisme orang-orang ‘Hindia’ (Indiërs) di tanah jajahan. Mereka adalah orang-orang Indo; orang-orang Eropa dan orang-orang asing lainnya yang mencari penghidupan di Hindia Belanda, dan orang-orang ‘pribumi’ (Van der Veur, 2006). Intinya, IP terbuka untuk semua kalangan.
Ketika pemerintah kolonial berencana mengumpulkan uang untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Cipto membentuk Komite Bumi Putera untuk meminta agar pembatasan kegiatan politik dicabut. Sementara itu, Suwardi melalui tulisannya yang terkenal “Als ik een Nederlander was” (Jika saya seorang Belanda) mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang membuat rakyat sengsara.
Karena dianggap secara eksplisit menentang diskriminasi rasial dan menuntut kemerdekaan dari Belanda, pemerintah kolonial membubarkannya dengan cara mengasingkan ketiga pemimpin IP ke Belanda pada September 1913. Walaupun ia berumur sangat pendek, namun sepak terjangnya yang mampu menghimpun kesadaran nasionalisme warga tanah jajahan untuk meraih kemerdekaan dianggap berjasa besar dalam meletakkan prinsip-prinsip politik yang tegas.
Pelajaran dari IP bagi Indonesia saat ini
Saya berpendapat bahwa IP memberikan kita banyak pelajaran untuk dapat membaca peta sosial-politik Indonesia saat ini. Mereka di antaranya adalah radikalisme dalam artian yang positif; konsepsi multikultural yang luas; kesetaraan etnis, ras, golongan, dan agama; dan perjuangan menuntut hak-hak citizenship (kewargaan).
Sejak Reformasi 1998, gerakan radikalisme dalam berbagai bentuk di Indonesia tumbuh dengan subur. Gerakan radikalisme seringkali dikaitkan dengan gerakan politik keagamaan dan terorisme. IP sebagai sebuah organisasi politik pada masa kolonialisme seringkali dianggap sebagai sebuah organisasi yang radikal. Tentu saja yang dimaksud adalah radikalisme yang positif.
Konsep yang seperti ini dalam kasus IP adalah suatu konsep di mana perjuangan untuk menentang kolonialisme dilakukan tanpa mengenal takut akan kolonialisme karena kolonialisme adalah sebuah bentuk tirani yang harus dilawan karena hal tersebut bertentangan dengan HAM yang seringkali didengung-dengungkan oleh Barat yang di saat yang bersamaan justru menerapkan kolonialisme.
Semangat IP yang radikal dalam perlawanan terhadap kolonialisme inilah yang perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dalam perjuangan melawan “penjajahan ekonomi” yang tidak terlihat tetapi dapat dirasakan begitu nyata.
Anggota IP yang terdiri dari beragam etnis, ras, agama, dan golongan adalah salah satu contoh penting bagaimana IP melihat konsep multikulturalisme dalam pengertian yang luas. Walaupun mayoritas anggotanya adalah orang-orang Indo, tetapi IP tidak eksklusif bagi warga Indo saja.
Di sinilah pelajaran penting yang dapat dilihat dari pengalaman IP sebagai organisasi multi etnis, ras, agama, dan golongan yang dapat kita terapkan. Salah satu permasalahan besar yang menimpa Indonesia saat ini adalah pertanyaan besar tentang identitas. Sejak Reformasi bergulir, pertanyaan tentang siapa yang dimaksud dengan pribumi dan orang asing belum dapat terselesaikan dengan baik.
Di sinilah kita harus belajar dari pengalaman IP yang tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan tersebut, tetapi justru berusaha menyatukannya untuk tujuan yang besar, yaitu nasionalisme Hindia dan kemerdekaannya.
Sejak merdeka hingga kini, Indonesia belum dapat sepenuhnya menyelesaikan permasalahan kesetaraan etnis, ras, golongan, dan agama. Prasangka sosial sebuah kelompok etnis tertentu terhadap kelompok etnis lainnya telah seringkali menghasilkan kerusuhan antar-etnis dan antar-agama, seperti kerusuhan Kalimantan antara etnis Dayak dan Madura, kerusuhan Ambon dan Poso, dan penyerangan terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah.
Beberapa negara Barat seperti Amerika Serikat, Australia, dan Inggris adalah contoh di mana perbedaan-perbedaan tersebut seringkali dipandang bukan sebagai pembeda, tetapi sebagai upaya untuk membuat kesetaraan. Memang benar pelaksanaannya tidak sempurna, tetapi, secara umum, negara-negara tersebut secara terus-menerus mengadvokasi kesetaraan dalam berbagai bidang.
Namun, kita sebenarnya tidak perlu melihat terlalu jauh ke negara-negara tersebut karena IP pernah menawarkan kesetaraan yang didasari oleh perbedaan-perbedaan tersebut, walaupun saat itu diskriminasi rasial masih sangat kuat pengaruhnya di seluruh dunia.
Salah satu permasalahan penting negara-negara berkembang adalah lemahnya pengakuan dan penerapan hak-hak citizenship (kewargaan). Di era demokratisasi ini, warga mulai memiliki kesempatan untuk melihat bagaimana kebijakan negara harus mampu memberdayakan mereka dan bagaimana negara dapat berfungsi dengan baik dalam good governance.
Namun, secara umum, permasalahan kewargaan belum banyak menyentuh warga sebagai sebuah subjek yang mandiri secara optimal. Bahkan, secara umum, konsep hubungan warga dan negara sebagai sebuah ruang politik tempat pertemuan antara berbagai kepentingan pun belum banyak diatur secara formal oleh negara, apalagi diimplementasikan secara gamblang dalam kehidupan sosial-politik sehari-hari.
IP sebagai pelopor organisasi politik di Hindia Belanda telah memberikan kita pengalaman bagaimana mereka memperjuangkan hak-hak citizenship bagi warga tanah jajahan, padahal saaat itu konsep citizenship pun belum dirumuskan dengan baik oleh negara-negara Barat. Dari sinilah kita dapat belajar kepada pengalaman IP memperjuangkan hak-hak bagi warga (citizen).
Dengan demikian lebih dari seratus tahun yang lalu IP telah mengajarkan kita banyak hal tentang makna nasionalisme dan kemerdekaan. Kini tinggal bagaimana kita yang hidup di era yang jauh berbeda dengan mereka mau belajar untuk memperkokoh makna-makna tersebut dalam bingkai keindonesiaan agar tidak rusak dari ancaman polarisasi politik massa.