Dunia islam pekan ini diawali dari kisruh yang terjadi di salah satu wilayah Suriah. Daerah itu adalah Ghouta yang kini sedang dilanda krisis dan peperangan. Tentu saja, hal itu membuat publik internasional simpati, Indonesia salah satunya.
Tagar #SaveGhouta pun ada di mana-mana, tidak hanya di media sosial belaka. Tagar itu bisa dengan sangat mudah kita jumpai di jalan-jalan, khususnya di Jabodetabek. Hampir tiap tikungan dan jalan kita berjumpa dengan ajakan menyelamatkan Ghouta, dengan dibumbui ajakan untuk menyelamatkan muslim.
Salah satu yang terdepan untuk membuat gerakan donasi dan kampanye adalah Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang menyisir tempat langsung ke Suriah dan tentu saja ke Ghouta. Bahkan, ia membuat konferensi pers terkait Suriah. ACT juga membuuat beberapa gerakan kampanye untuk suriah, seperti kapal kemanusiaan untuk Suriah dan lain sebagainya.
Terkait Ghouta, ia memberi deskripsi begini:
#SelamatkanGhouta #StopSuriahMemerahDarah lebih dari 730 tewas, 1500 luka-luka dan ratusan ribu menanti bantuan kita
Imbauan itu tentu saja membuat dada bergemuruh. Ditambah, ada foto-foto muslim Ghouta yang memprihatinkan. Tapi, apakah memang sudah tepat ACT memberi ke Ghouta, Lalu, mengapa cuma Ghouta, bukan daerah lain di Suriah yang juga konflik?
Terkait hal ini, Perhimpuna Pelajar Indonesia (PPI) Suriah dan Ikatan Alumni Syam (Alsyami) meragukan bantuan ACT tersebut bisa masuk ke Ghouta. Pasalnya, serdadu pemberontak kerap menimbun sebagian bantuan untuk kepentingan mereka sendiri.
“ACT masuk ke Suriah secara ilegal alias tanpa izin pemerintahan,” tutur Ketua PPI di Suriah, Muhammad Arief Rahman.
Hal senada juga diakui oleh Najih Arromdhoni, Sekjen Alumni Persaudaraan Alumni Syam (Alsyami). Menurut Gus Najih, begitu ia biasa disapa, banyak kabar bantuan itu disusupi kiriman senjata dari pemberontak.
Apalagi mitra ACT di Turki, IHH, pernah dilaporkan keamaan setempat karena kepergok membawa senjata dan dibantah oleh mereka. Tapi, hal ini merupakan indikasi yang perlu diperhatikan.
Najih juga bertanya, mengapa kok cuma Ghouta, padahal kota lain seperti Afrin juga terdampak konflik yang hampir sama. Tidak ada tagar #SaveAfrin atau hal lainnya yang dilakukan.
Lembaga kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee atau MER-C bahkan malah memilih tak mengirim relawan ke Suriah saat ini. Mereka memilih untuk tidak ikut kampanye Save Ghouta dan lebih memilih berfokus ke pendirian Rumah Sakit Indonesia di jalur Gaza, Palestina.
Joserizal Jurnalis, Presidium Mercy, mengungapkan bahwa bantuan Ghouta tampaknya hanya sepotong saja dan cenderung pilih kasih. Padahal, upaya kemanusiaan tidak seperti itu dan hanya tebang pilih kelompok saja.
“Mengapa tidak ada #SaveAfrin padahal warga Kurdi juga diperlakukan sama oleh Turki?” tanya Joserizal, keheranan.
Joserizal menduga munculnya kampanye #SaveGhouta dipicu terjepitnya kelompok militan tertentu di sana.
Selain itu, di Indonesia masih ramai terkait Muslim Cyber Army. Ternyata, meskipun sudah ditangkap oleh kepolisian, Muslim Cyber Army (MCA) masih terus bergerak di internet dan menebar kebencian.
Aktivitas itu dilaporkan oleh Jaringan Relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara atau yang biasa disebut SAFEnet, Selasa (20/4). Laporan itu diberi tajuk Memindai Aktivitas MCA dalam Kontestasi Sosial-Politik di Indonesia.
SAFEnet melakukan monitoring dan aktivitas MCA ini sejak bulan Januari 2017 hingga sekarang. Data ini didapatkan oleh relawan dalam bentuk wawancara korban hingga menggunakan mesin seperti Social Network Analysis.
“Tujuan dari monitoring ini bukan untuk menghambat kebebasan berekspresi dan berkumpul netizen sesuai agama dan pilihan politik, melainkan memastikan siapa dari jaringan MCA yang terlibat dalam sejumlah tindak pidana online harrashment, hate speech sampai doxing,” tulis laporan itu.
Laporan tersebut juga menyebutkan ada lebih dari 100 orang warganet yang mengalami persekusi.
“Sekalipun polisi telah menangkap 14 orang yang diduga MCA lewat serangkaian aksi hukum belakangan ini, MCA masih bergerak,” lanjut laporan tersebut.
SAFEnet pun melanjutkan bahwa MCA nii ada yang memilih untuk berkamuflase dan mengganti nama mereka supaya tidak mudah terdeteksi. Meski begitu, jejak digital pun masih tampak di beberapa akun yang terafiliasi dengan beberapa kelompok.
Sejumlah akun MCA di Instagram berdasarkan monitoring terakhir dengan kata kunci “Muslim Cyber Army” pada 15 Maret 2018. Source by SAFEnet
Satu hal menarik dalam pindaian MCA ini adalah keterkaitan dengan politik. Dalam laporan tersebut diterakan tentang akun-akun yang diduga MCA ini mulai bergerak untuk masuk ke ranah politik, khususnya ketika musim Pilkada mulai marak seperti hari ini.
“Secara kolektif MCA tampak jelas sedang bermain di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, tiga provinsi yang dalam waktu dekat akan mengadakan Pilkada Serentak 2018,” lanjutnya.
SAFEnet juga memindai di media sosial terkini dan menunjukkan bagaimana akun-akun MCA yang kebanyakan berupa robot atau bot (istilah dalam media sosial yang digerakkan mesin dan terkadang anonim-red)d an bergerak mendukung salah satu paslon di Jawa Barat tepat sesudah pengumuman di media massa.
“Selagi aktor-aktor politik di balik MCA tidak diungkap agak susah bagi kami untuk membayangkan masyarakat akan merasa aman di tahun-tahun politik mendatang,” tutupnya.
SAFEnet sendiri adalah jaringan penggerak kebebesan berekspresi online di se-Asia Tenggara. Organisasi ini memiliki misi untuk mempromosikan dan melindungi kebebasan ekspresi, baik individu maupun organisasi. Terkait laporan ini, sila klik di sini.
Hal menarik dalam dunia islam ini adalah kata calon presiden dari Gerindra Prabowo terkait hancurnya Indonesia tahun 2030. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin pun membantahnya dengan keras.
“Kalau orang mengatakan Indonesia bubar, itu dari mana tandanya? Justru RI semakin kuat,” ujar Kiai Ma’ruf Amin, Kamis (22/3) di Jakarta.
Beliau pun mempertanyakan, dari mana data yang dipakai untuk menyatakan bahwa Indonesia bubar di tahun tersebut. Fakta yang terjadi justru sebalinya.
Menurut beliau, tanda-tanda Indonesia bubar malah tidak ada sama sekali. Bahkan, kalau situasi terus begini, Indonesia akan kiat di tahun 2030 mendatang.
Salah satu bukti yang paling kuat adalah, mulai banyaknya Indonesia dijadikan rujukan Dunia Islam internasional sebagai percontohan negara moderat islam. Sebuah negara dengan mayoritas islam dan plural tapi mampu mengelola perbedaan itu sebagai sebuah kekuatan.