Warga Palestina di Gaza memiliki beberapa alternatif untuk hidup di tengah konflik. Jika mereka tinggal di rumah, mereka rentan terkena bom. Mereka bisa mencari perlindungan di rumah sakit atau fasilitas dari PBB, namun mereka juga rentan terkena bom. Jika mereka pergi ke utara, di mana Israel mengatakannya sebagai zona aman, mereka juga rentan terkena bom di jalan raya. Jika pergi ke selatan dengan menghuni kawasan-kawasan liar, mereka juga rentan terkena bom.
Tragedi kemanusiaan ini berlangsung berpuluh-puluh tahun dan memaksa seluruh dunia mendengar gemuruh perang mereka. Bencana kemanusiaan ini memancing negara-negara besar mengeluarkan pernyataan terkait posisi mereka di tengah konflik tersebut. Pun dalam tragedi Gaza yang pecah dalam sebulan terakhir ini.
Menariknya, beberapa negara-negara berpengaruh di dunia justru menampilkan dualisme sikap politik soal Israel-Palestina antara pemerintah dengan warga sipilnya. Amerika Serikat misalnya menegaskan secara publik bahwa Israel mempunyai hak untuk mempertahankan tanah mereka. Mengutip dari CNN, pemerintahan Presiden Joe Biden bahkan mengusulkan bantuan sebesar US$14 miliar atau sekitar Rp222 triliun untuk Israel, menyediakan senjata seperti rudal hingga kendaraan lapis baja. Hubungan kedua negara ini sangat akrab karena AS merupakan negara pertama yang mengakui pendirian Israel pada 1948.
Namun demikian, relasi kuat di tingkat elit ini berbanding terbalik dengan aksi warga sipil di akar rumput. Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di Washington untuk menuntut gencatan senjata di Gaza di mana ribuan orang telah terbunuh dalam serangan Israel. Demonstrasi tersebut dilakukan pada Sabtu (4/11). Dilansir Reuters, Minggu (5/11/23), para pengunjuk rasa membawa plakat dengan slogan-slogan seperti “Kehidupan Palestina Penting”, “Biarkan Gaza Hidup” dan “Darah mereka ada di tangan Anda”, ketika pemerintah AS terus menolak tuntutan untuk menyuarakan seruan gencatan senjata secara menyeluruh.
Perbedaan ini juga ditunjukkan oleh Inggris ketika Perdana Menterinya Rishi Sunak menyatakan bahwa Israel mempunyak untuk mempertahankan diri dari kekejaman teror Hamas. Sama seperti AS, Inggris merupakan sekutu lama Israel yang secara konsisten berkomitmen terhadap pendirian negara independen Israel. Namun di akar rumput, sekitar 300.000 orang turun ke jalan untuk menghadiri unjuk rasa besar-besaran pro-Palestina di London pada hari Sabtu (11/11/23).
Banyak polisi hadir di Hyde Park Corner di pusat kota London ketika para pengunjuk rasa meneriakkan “free, free Palestine” dan “ceasefire now”. Mereka juga terdengar meneriakkan kalimat yang menurut Polisi London kontroversial, “from the river to the sea, Palestine will be free!”. Tidak hanya di dua negara ini, fenomena serupa juga terlihat di Kanada, Eropa, dan Australia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina tidak perlu diragukan lagi. Indonesia membangun Rumah Sakit di Gaza pada tahun 2011. Monas juga menjadi saksi Aksi Damai Bela Palestina pada Minggu (5/11/23) yang diinisiasi Majelis Ulama Indonesia. Belum lagi aktivisme warganet Indonesia yang mendukung Palestina melalui unggahan-unggahan pribadi di media sosial.
Di Indonesia, dukungan Palestina datang melalui dua pihak sekaligus, yaitu elit dan akar rumput. Posisi ini memberikan nilai lebih bagi Indonesia di mata dunia sebagai sebuah kekuatan yang bisa mendorong dukungan negara-negara lain terhadap Palestina. Hal ini telah ditunjukkan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerja sama Islam (OKI) bahwa konferensi ini harus mampu menghasilkan hal-hal yang konkret sehingga kekejaman Israel di wilayah Gaza dapat segera dihentikan.
Fenomena dualisme sikap Barat terhadap Palestina ini sebenarnya bisa membantu komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara dalam dua bentuk. Pertama, hingga saat ini, Indonesia masih menjadi negara yang paling vocal terhadap nasib Palestina dengan sinergi yang luar biasa kompak antara pemerintah dengan warga sipilnya. Fenomena tersebut menegaskan konsistensi dukungan Indonesia terhadap Palestina di mata dunia di tengah jatuh bangun posisi Barat terhadap konflik tersebut.
Kedua, solidaritas warga sipil di Barat dapat membantu komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara dan merealisasikan 31 butir resolusi penghentian konflik Israel-Palestina di KTT OKI. Butir-butir tersebut misalnya berisi tentang kecaman agresi Israel ke Gaza. Kecaman ini bukan sebatas pada diplomasi lisan saja, namun juga aksi nyata. Solidaritas Barat terhadap Palestina kemudian bisa digunakan untuk menindaklanjuti kecaman ini. Misalnya dengan memberikan ultimatum kepada Israel untuk menghentikan agresi.
Perlu dicatat, solidaritas warga sipil ini muncul dari negara-negara Barat yang powerful secara kedudukan, seperti AS dan Inggris. Meski elit kedua negara tersebut jelas-jelas berpihak pada Israel, suara akar rumput yang masif tetap memiliki dampak signifikan, paling tidak memberi tekanan kepada dunia melalui media massa soal keberpihakan kepada Palestina. Mereka bisa menegaskan bahwa sikap pemerintah Inggris, misalnya, bukanlah representasi dari warganya. Dalam catatan sejarah, suara sipil tetap memiliki pengaruh dalam mempengaruhi arah kebijakan sebuah negara.
Aliansi “tidak langsung” ini mencerminkan upaya bersama untuk mengatasi dampak konflik dan mendukung upaya menuju perdamaian di kawasan tersebut. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara negara-negara tersebut, kerja sama ini menunjukkan upaya bersama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Israel-Palestina.