Ia menampik segala kerjaan yang tidak ada hubungannya dengan dunia menulis, dan tahan berhari-hari dalam kelaparan yang, menurutnya, membuat perutnya senantiasa melilit, serta sanggup bergelimang kemiskinan tiap detiknya. Seolah menantang jalanan Cristiania (Sekarang Oslo, Norwegia) itu dengan kemampuannya sebagai seorang pengarang.
Ia pun menulis dan terus menulis, dimanapun dan kapanpun tanpa ada yang bisa melerai. Dan untuk segala aktivitasnya, ia harus rela menjual pelbagai barang yang melekat–dan ia miliki–untuk dijual ataupun dilego guna memenuhi hasrat purba yang ingin ia buang sejauh-jauhnya; rasa lapar. Bahkan ia pun selalu lari kala induk semangnya menagih uang sewa tinggal.
Sebegitu miskinnya si tokoh ‘aku’ dalam cerita ini hingga ia pun harus menjual selimut, baju dan kancing baju untuk mendapatkan beberapa krone (mata uang Norwegia) dah dibelanjakan makan ataupun lilin untuk ia bisa menulis malam hari.
Jalanan Cristiania, tempat tokoh aku ini begitu banyak gelandangan yang tersebar, dari taman-taman hingga kantor walikota. Tempat-tempat ini pula yang kerap dipakai penulis kala lari dari pelbagai tagihan induk semangnya dan ruang berkreasi tempat sekitar sebagai inspirasi tulisannya.
Sosok ini juga digambarkan begitu murung dan mudah iba kepada orang-orang yang sejenisnya; yang tidak punya makanan, tidak punya tempat tinggal, tidak punya harapan. Bahkan ia pun beberapa kali memberikan uangnya–walaupun ia sendiri kerap tidak punya–kepada kaum ini. Tapi ia juga berwatak keras, dan keras kepala, bahkan cenderung kasar. Satu hal yang patut dicatat adalah, tokoh ini juga teguh pada pendirian dan pemalu.
Kisah hidupnya begitu buruk, atau jika enggan dikatakan sangat suram dan nyaris tanpa masa depan yang jelas. Beberapa tulisannya memang berhasil menembus koran dan dipuji redaktur, hingga ia dapat uang 10 krone sebagai imbalan. Tapi hal itu tidak bertahan lama, ia dicampakkan redaktur.
Bukan karena tulisannya buruk, tapi lebih pada sifatnya yang acap pongah. Bayangkan, ia selalu dan selalu mengirim tulisannya yang terkadang kacau ke redaktur, dan selalu datang ke tempat mereka, serta membuat para redaktur ini marah. Ujungnya, tokoh ini dihempaskan begitu saja dan tulisan-tulisannya ditolak.
Tentu akibatnya sudah bisa ditebak, hidupnya akan kacau. Ia pun pernah masuk penjara, dan untuk memudahkan dan untuk mendapatkan makan gratis, ia mengaku sebagai wartawan di Morning Times. Sekali dua, ia pun pernah mengibuli pelayan restoran untuk bisa mendapatkan roti.
Karirnya yang amburabul ini berbanding lurus dengan kehidupan cintanya. Ia gagal menjalin cinta dengan seseorang yang ia sebut ‘nona’. Perempuan yang telah memberikan genggaman tangannya di suatu malam–dan ia terus menerus memikirkannya sepanjang hayat. Tapi, kembali lagi, kehidupannya dari menulis takkan mampu bertahan, apalagi untuk hubungan yang serius, dan perempuan itu mengerti betul. Bahkan ia mengiriminya beberapa krone untuk ia bertahan hidup.
Namun si tokoh aku ini merasa tersinggung dan enggan menerimanya. Bahkan ia pun meniadakan kesempatan terakhir menjadi penulis setelah ia tidak menyelesaikan tugasnya untuk membuat naskah drama. Tamatlah riwayatnya, dan ia diusir dari kontrakan.
Di akhir cerita ia meningalkan dunia menulis dan melamar sebagai seorang kelasi pada sebuah perahu untuk berlayar ke Eropa.
Lalu, mari kita simak di novel kedua: Victoria.
Ada seorang penulis puisi bernama Johannes, putra dari pemiliki pabrik kecil yang memproduksi jagung, dan kesalahannya jatuh hati pada anak juragan kastil bernama Victoria. Keduanya terpisah karena status ekonomi dan keluarga yang tidak mengijinkan.
Bedanya dengan sosok penulis di Hunger, Knut Hamsun melukiskan Johannes sebagai penulis yang cukup sukses. Bahakan mampu membuatnya dipanggil pihak kastil untuk makan malam selepas buku-buku terbitannya ramai diperbincangkan.
Kisah cinta keduanya pun bermula dari sini, dari Johannes yang suka menulis puisi dan dibaca banyak orang, termasuk Victoria. Tapi semuanya soalah purna, kesuksesannya berbanding terbalik, ia tetaplah dianggap sebagai anak orang biasa dan tidak sederajat dengan Victoria.
Bahasa di novel ini juga liris, hal ini menunjukkan tingkat kehidupan penulis yang digambarkan Knut Hamsun yang memang seorang penyair, dan negara tempatnya, berbeda dengan Cristiania, yang tampaknya tidak begitu menghargai dunia menulis. Ia pun segera terjerambab pada kesedihan yang tak terkira.
Harusnya, dengan segala popularitas yang dimiliki, ia mampu menggaet Victoria. Tapi apa lacur, ia harus menerima undangan pernikahan Victoria dengan seorang letnan pilihan dari keluarga perempuan, keluarga yang bangsawan.
Cintanya pun pupus, dan kehidupan penulis itu hancur. Ia tidak tahu berbuat apa, dan terus berkarya yang diperbincagkan orang, tapi hidupnya tidak, ia tidak pernah mengerti karya-karyanya seolah bukan ia yang menulis. Bahkan ia akhirnya berhenti.
Di akhir cerita, ia harus menerima sebuah surat panjang yang salah satu isinya begini;
Johannes, Sayang!
Ketika kau baca surat ini aku tentu sudah mati. Segala sesuatunya kini tampak begitu ganjil; aku tak merasa malu lagi untuk menulis surat padamu, dan aku menuliskannya seolah-olah tak ada sesuatu kejadian yang pernah menghalangiku untuk berkirim surat padamu. Sebelumnya, ketikak diri ini masih benar-benar hidup, lebih kupilih menderita siang dan malam daripada berkirim surat denganmu; namun kini mulai sekarat…
……
……
Selama berbaring di sini aku harus memikirkan kata-kata terakhir yang kuucapkan padamu. Kata-kata yang kuucapkan di hutan itu pada suatu malam. Tak terlintas di benakku itu akan menjadi kata-kata terakhir
…..
…..
Johannes sayang, sungguh aneh memikirkan bahwa semua yang berusaha kulakukan adalah hadir ke dunia dan mencintaimu dan kini melambaikan tangan selamat tinggal pada kehidupan
…
Kini tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diriku untuk menulis. Selamat tinggal, Kekasiku.
Begitulah akhir cerita muram seorang penulis di Victoria yang dikisahkan Knut Hamsun ini; menyedihkan.
Lalu, untuk menjawab pertanyaan saya di atas tadi, kenapa Knut Hamsun begitu pesimistis dengan dunia rekaan seorang penulis yang dibangunnya itu? Saya belum bisa menjawabnya.
Satu hal yang pasti, dua kehidupan penulis menurut Knut Hamsun ini akan terus abadi, seperti halnya tulisan-tulisannya, sebab dunia menulis dan orangnya selalu akan jatuh pada dua hal di atas; karyanya ditolak seperti halnya kehidupan penulis yang pertama atau karyanya diterima khalayak seperti halnya Johannes.
Dan tulisanmu nanti–jika memutuskan untuk menulis–apakah jadi manusia yang pertama atau kedua? Sila jawab sendiri.