Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab Lawami’ al-Bayyinat Syarh Asma’ Allah Ta’ala wa al-Shifat mengungkap hikmah melakukan dzikir dalam dua wajah.
#1 Firman-Nya dalam QS. Al-Ra’d: 28,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوب
Orang-orang yang beriman dan tenteram hati mereka dengan berzikir kepada Allah, Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Menurut Imam al-Razi terdapat dua ragam tafsir ayat ini. Pertama, segala selain al-Haq adalah mumkin lidzatih, wujud yang fana. Al-mumkin lidzatih ini butuh terhadap selainnya, sehingga ia menyesuaikan untuk dirinya akan tetapi tidak dengan selainnya dan untuk selainnya. Manusia pada hakikatnya bersikap menyesuaikan diri dengan lingkungannya adalah untuk dirinya sendiri, sebagai jalan pemenuhan terhadap kebutuhan pribadinya. Tidak akan seorang mengubah pribadinya dengan pribadi lain. Oleh karenanya ketika kita melihat pada al-mumkin dari setiap sudutnya ia akan terlihat tidak sesuai dengan kita. Keniscayaan al-mumkin lidzatih untuk bergantung pada yang lain tidak serta merta menjadikannya menyerupai pribadi lain.
Bagaimana dengan beberapa orang yang memiliki kesamaan pada beberapa hal sehingga menjadi mudah bagi mereka untuk seirama satu sama lain karena adanya kesamaan tersebut? Kesamaan ini dapat terjadi dalam hal prinsip maupun cabang namun tidak pernah alpa dari perbedaan. Dalam hal prinsip misalnya, dua orang yang sama-sama suka membaca Al-Qur’an akan berbeda dalam memahami maknanya. Sementara dalam hal cabang contohnya adalah dua parpol yang sama-sama mengajukan satu tokoh politisi namun mereka memiliki tendensi masing-masing yang telah dikalkulasi.
Mengingat al-mumkin lidzatih sama halnya dengan mengingat segala perbedaan yang dibungkus dengan penyesuaian yang terkadang ilusif. Adanya kekurangan dalam diri kita ketika melihat perbedaan dapat menjadikan rendah diri, iri, atau bahkan dengki. Pun ketika meilhat kelebihan diri dalam suatu perbedaan akan membuat kita tinggi hati.
Sementara al-wajib lidzatih, tiada yang dapat menyerupai-Nya. Dia tidak pernah butuh terhadap yang lain. Justru Dialah yang memenuhi setiap kebutuhan, tidak bergantung pada yang lain. Setiap pencari membutuhkan karunia-Nya, pun segala hajat akan turun terpenuhi dalam ketergantungan akan-Nya. Dialah al-Haqq yang mustahil kepalsuan ada pada-Nya. Mengingat-nya adalah jalan utama untuk menenteramkan jiwa.
Kedua, arah keinginan seorang hamba tiada terbatas sementara makhluk-makhluk terbatas adanya. Tiada nisbat bagi yang terbatas kecuali kepada Yang tiada batas. Ketika hajat seorang hamba tiada akan terpenuhi dengan segala makhluk maka menjadi niscaya menghadiratkan hajatnya kepada Yang tiada batas kemuliaan dan kekuasaanya yakni al-Haqq SWT. Sehingga menjadi tenteram hati seorang hamba yang mengingat Allah SWT.
#2 Hikmah dzikir yang selanjutnya menurut Imam al-Razi adalah berkaitan dengan QS. Al-A’raf: 201,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذا مَسَّهُمْ طائِفٌ مِنَ الشَّيْطانِ تَذَكَّرُوا فَإِذا هُمْ مُبْصِرُون
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa ketika apabila mereka dibayangi godaan dari setan, segera mereka berzikir sehingga ketika itu juga mereka dapat melihat.
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa faedah berzikir dapat menghilangkan kegelapan kemanusiaan. Oleh karena selain al-Haq adalah mumkin lidzatih yang ketika ia ditnggalkan oleh-Nya maka ia senantiasa berada di atas ketiadaan dan ketiaadaan adalah sumber kegelapan. Setiap yang selain Allah hakikat zatnya adalah gelap, sementara Wajib al-Wujud li Dzatih maka hadirat-Nya adalah sumber segala cahaya. Tidak diragukan lagi menurut Imam al-Razi bahwa bersibuk dihadirat Yang Maha Suci dan di sisi Yang Maha Luhur menjadikan sampainya segala cahaya alam al-Rububiyyah ke dalam batin, dan hilanglah segala kegelapan manusiawi dari ruh dan hati